Topic
Home / Narasi Islam / Resensi Buku / (Garuda Alexandria: Mengangkat Budaya Negeri Melalui Seruling

(Garuda Alexandria: Mengangkat Budaya Negeri Melalui Seruling

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Cover buku Garuda Alexandria
Cover buku Garuda Alexandria

dakwatuna.com – Persahabatan yang akrab tidak akan dipisahkan melainkan dengan kematian. Sahabat adalah seorang yang selalu ada ketika kita ingin berbagi cerita, pengalaman, inspirasi, dan, ada ketika kita membutuhkan. Sahabat adalah mereka yang membantumu bangkit untuk percaya diri; berlari mengejar mimpi, ketika orang lain berusaha menjungkalkanmu dan meremehkanmu, sahabat adalah mereka yang mengerti masa lalumu, percaya masa depanmu, dan menerima kamu apa adanya. (Garuda Alexandria, hlm. v)

***

Owen Putra, penulis novel sensasional Dua Sahara yang seolah merangkul kita berpetualang ke kota Giza hingga Thursina 2013 silam, kini kembali menyapa pembaca dengan suguhan yang tak kalah spektakulernya. Jika novel Dua Sahara menyuguhkan budaya dan kearifan lokal penduduk Mesir, novel kali ini, Garuda Alexandria, justru sebaliknya. Sebuah persahabatan sejati mampu membawa budaya yang dipandang sebelah mata oleh Negeri ini, sontak menjadi kebanggaan yang justru diakui kancah Internasional. Bagaimana bisa? Tentu akan penasaran. Ya, pasti. Pasalnya, rasa penasaran masih akan merundung pembaca sekalipun telah mengkhatamkan novel yang hanya 224 halaman ini.

Berangkat dari sebuah persahabatan kokoh antara Ipal Setiawan dan Karim Amrullah yang merintis persahabatan hingga usianya sudah tiga tahun di Al-Azhar, kisah-kisah melelehkan hati itu bermula. Melalui hiruk-pikuknya kehidupan, sepasang sahabat yang sekaligus rival belajar itu saling menguatkan agar mampu menghadapi tantangan di perantauan yang tenyata jauh dari persepsi keindahan. Maka tak heran bila Owen kontan menyelipkan berbagai distingsi dalam karya-karyanya agar pembaca tidak mudah terbuai dengan keindahan, khusunya oleh negara lain. Di sinilah sebuah persahabatan yang saling berdekapan, bertualang hidup bersama dalam suka duka. Ada canda, tawa, petualangan, inspirasi, cinta, persahabatan yang saling brpacu melampaui mimpi-mimpi, yang seluruhnya dikemas secara apik dalam sebuah kisah yang begitu mengharupilukan.

Kisah berlanjut hingga detik-detik kepergian Karim ke Kota Alexandria yang diduga Ipal ingin mengubur impiannya yang belum tersampaikan, yakni persoalan cintanya kepada Lathifa Az-Zahra yang masih menggantung hingga Lathifa tamat kuliah. Bersamaan dengan hal itu, Ipal yang juga tengah menemukan cintanya, justru bungkam padahal sudah jelas sasarannya adalah Amira Qatrunada. Maka bisa dibilang, kepergian Karim ke Kota Alexandria yang disusul Ipal itu untuk menemukan impian-impian agar mampu terbang tinggi layaknya burung Garuda.

Hal yang membuat novel ini menarik ialah bahwa penulis, Owen, tidak hanya memadukan antara persahabatan dan cinta semata, melainkan juga sejarah, serta budaya Indonesia dalam setiap racikan ceritanya yang dikemas dengan takaran yang pas tanpa muluk-muluk pada setiap alurnya. Pada novel ini juga disuguhkan dengan panggilan misterius sang Ambasador KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) berkait dengan komunitas bentukan Karim; Indonesian Community of Alexandria yang sempat menarik perhatian para bule melalui salah satu alat musik Indonesia yang terbuat dari bambu, yakni suling.  Lewat aerofon tersebut sahabat karib itu mampu mengangkat dan memperkenalkan budaya Indonesia hingga ke Alexandria, Kairo, Turki, bahkan sampai ke India.

Namun sayang, ketika membaca novel ini hingga tuntas, judul yang dipilih sepertinya kurang sinkron dengan isi ceritanya. Penulis seolah memaksakan diri untuk mengalihrupakan judul. Di satu koridor, Karim memang menjadi ikon Budaya Indonesia yang dibanggakan di Alexandria. Namun pada koridor yang berbeda, Ipal dan Karim disebut-sebut sebagai Garuda Indonesia karena telah memperkenalkan budaya Tanah Air bukan hanya ke Alexandria, tetapi hingga ke panggung Internasional. So, judul yang pas apa nih? Garuda Alexandria, Garuda Indonesia, atau Garuda-Garuda yang lain? Tapi hal itu tak perlu dirisaukan, karena di mana pun Garuda tetap Garuda. Garuda mampu terbang dengan begitu luar biasa. Lagipula, judul adalah hak penulis karena terkadang penulis menyimpan pemaknaan tersendiri terhadap judul yang dipilih.

Nah, yang menimbulkan sedikit kejemuan saat menuntaskan novel ini bukan terletak pada judul pastinya, melainkan pada penempatan plot. Alur yang maju dan monoton sering terlihat dalam karya Owen yang satu ini. Hal itu terlihat ketika Ipal berhasil menjebol koran nasional, hingga mengikuti sayembara menulis KBRI yang menjadi juara pertama adalah Ipal, pembaca dapat dengan klop menebak alurnya. Meskipun demikian, novel ini tetap berhasil menghipnotis pembaca dengan setiap percikan yang tak terduga, terutama keberuntungan-keberuntungan yang dialami tokoh Ipal dan Karim dalam setiap segmennya. Tak hanya itu, mengangkat sebuah budaya yang nyaris tak diperhatikan di negeri ini, yakni suling, justru mampu menjadikan sebuah kebanggaan di negeri orang karena berhasil mengharumkan nama Tanah Air Indonesia. (idayatul/dakwatuna)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswi S1 di Universitas Negeri Semarang.

Lihat Juga

Karya Kreator Muslim Perlu Miliki Dua Kriteria Ini

Figure
Organization