Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Bagaimana Bentuk Ketaatan Kita Kepada Pemimpin?

Bagaimana Bentuk Ketaatan Kita Kepada Pemimpin?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: blogspot.com)
Ilustrasi. (Foto: blogspot.com)

dakwatuna.com- Di dalam Alquran, kita mendapati perintah untuk taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan ulil amri (pemimpin). Tapi tentu saja ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya berbeda dengan ketaatan kepada pemimpin.

Allah SWT mustahil melakukan kesalahan, jadi kita mutlaq taat. Rasulullah saw adalah Al-Ma’shum, artinya dijaga dari kesalahan, maka kita juga mutlaq taat. Lalu, pemimpin di antara kita tentu saja manusia biasa seperti kita yang tak lepas dari salah.

Maka Rasulullah saw memberikan batasan ketaatan itu di dalam haditsnya, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk (dalam hal ini; manusia) dalam hal pembangkangan terhadap khalik (Pencipta).”

Nah, kita taat bila pemimpin kita memerintahkan atau menetapkan aturan yang tidak menyebabkan kita menjauh dari Allah dan tidak membuat kita bermaksiat kepada Allah. Bila ketetapan atau perintah pemimpin kita melanggar hal ini, tentu saja kita tidak wajib menaatinya.

Sikap sebagai seorang Muslim tidak sebatas sampai di situ. Kita tidak diajarkan untuk membenci saja. Tapi yang pertama sekali harus dilakukan adalah mengingatkan. Justru kalau tidak ada lagi budaya saling mengingatkan antara pemimpin dgn yang dipimpin, merebaklah kerusakan di negeri itu. Demikianlah, Islam mengajarkan budaya saling menasihati di antara kita.

Permasalahannya lain lagi kalau memang pemimpin sudah tidak berkenan lagi menerima nasihat. Itu kita bahas lain kali. Tapi kali ini kita cukupkan saja dulu untuk berprasangka baik. Sebab kalau su’udzhan telah mendahului husnudzhan, itu juga pertanda minimnya kearifan.

Akhir-akhir ini, kita mendengar banyak sekali benturan-benturan pemahaman dan pernyataan yang terlontar dari pemimpin-pemimpin kita dengan pemahaman keberagamaan kita. Di sini kita mesti melakukan upaya-upaya perbaikan keadaan yang sesuai dengan tuntunan.

Pertama, tabayyun (meminta penjelasan). Kita minta penjelasan yang lengkap kepada pembuat pernyataan. Kedua, klarifikasi. Kita teliti kebenarannya. Bukan kebenaran menurut perspektif kita sendiri, tapi kebenaran yang diajarkan oleh Islam. Ketiga, nasihat. Ini kita lakukan sebagai upaya ishlah (perbaikan keadaan). Siapa pun wajib menerima dengan lapang dada nasihat yang diberikan kepadanya. Kalau hati telah keras untuk menerima nasihat, yang terjadi adalah kerusakan bertabur.

Demikianlah. Mudah-mudahan yang sedikit ini membawa manfaat dan keberkahan untuk kita semua. Amiin.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa S1 Ilmu Keperawatan USU. Ketua �Al-Fatih Club�. Murid. Penulis. Beberapa karyanya yang sudah diterbitkan; Istimewa di Usia Muda, Beginilah sang Pemenang Meraih Sukses, Cahaya Untuk Persahabatan, dan lain-lain

Lihat Juga

Lelah dalam Ketaatan

Figure
Organization