Topic
Home / Pemuda / Cerpen / The Journey Pangandaran-Qatar: Gadis Pujaan

The Journey Pangandaran-Qatar: Gadis Pujaan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Aneysha Nizwa)
Ilustrasi. (Aneysha Nizwa)

dakwatuna.com – Langit biru membentang seolah tanpa batas. Bayangan pepohonan sudah mulai setumbak. Mentari mulai menyengat. Embun masih bertengger di sela dedaunan. Hawa pagi menyegarkan. Kokok ayam jantan bersahutan. Burung-burung menari-nari di ranting pohon belimbing. Para petani di desa Batubodas mulai berbenah. Berbondong-bondong ke sawah menyiangi benalu-benalu di setiap dapuran padi. Pesawahan semakin menghijau tua. Sebentar lagi padi hamil. Bulir-bulirnya akan menyeruak membangkitkan asa dan harapan para insan. Hari Ahad bulan Februari tahun 2002 yang sangat cerah. Masa millenium yang dinanti-nanti kaum muda. Periode penuh semangat.

Aku tak sabar mengeluarkan kuda besinya. Suara mesin Tornado meletup meraung-raung. Asap kebiruan mengepul dari knalpotnya. Setelah pamitan kepada kakek-nenekku, kutancap gas melaju menuju Sindanglaya yang berjarak 15 menitan ke arah Barat. Parman sohibku 11 tahun bersama-sama. Mulai SMP hingga masuk STIKES (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan). Bisa dibilang Parman dan aku saling berlomba di dalam prestasi. Aku yang pernah mendapat beasiswa ketika duduk di bangku SMA membuat Parman terkadang iri hati. Apalagi prestasiku menjadi Juara Umum di tahun 1996 dengan nilai tertinggi, membuat rasa kesal Parman menjadi-jadi.

Meski perubahan sikap Parman yang merasa tersaingi tidak menjadikanku memutuskan tali persaudaraan. Hal yang memperburuk keadaan ketika gadis pujaan Parman di Kampus jatuh hati samaku. Ami gadis tinggi langsing berkulit putih sering bertandang mengunjungi rumahku. Dengan alasan mau pinjam buku kuliahlah atau hanya sekedar bersilaturahmi.

Ami yang terus terang akrab bersamaku sering memperlihatkan rasa sukanya dengan mengajakku membeli bubur ayam ke perempatan Kampus. Pagi itu Ami mengenakan kerudung coklat berhiaskan motif bunga mawar. Baju salur-salur berbahan beludru mencetak tubuhnya yang semampai. Kakinya dibalut jeans ngatung di bawah lutut berbahan corduroy memperlihatkan jenjang betisnya yang keputihan. Aku memakai T-Shirt putih dan memakai celana kulot. Ami sengaja berjalan berdampingan bersamaku supaya dilihat teman-teman sekampusnya. Jadi selebritis kampus gitu lho. Kebetulan Parman tiap hari bersama gengnya ngumpul sarapan bubur di tempat itu. Parman bertubuh pendek kekar (pendekar), hitam, berwajah angker, dan berambut keriting. Sambil duduk di bangku panjang mengenakan kain sarung.

‘’Mang, pesen bubur dua mangkok!’’ Ami sambil memegangi pergelanganku.

‘’Bubur kalau ditumpahin segerobak berapa Mang? Hehehehe…..’’ Sipat tengilku muncul lagi.

‘’Lima ratus rebu…. Hehehehe.’’ Tukang bubur membalas guyonanku sambil tersenyum.

‘’Sombong sekali kamu, Sep!’’ Parman menghardik sambil bersungut-sungut.

‘’Hehehehe….Sombong kenapa, Man? Itu bubur belepotan di cocotmu.’’ Aku mencibir.

Ami termehek-mehek melihat bibir Parman yang belepotan bubur sampe ke dagu.

‘’Sebelum sarapan bubur, mandi dulu dong!’’ Ami sambil menyunggingkan senyum ke Parman.

Amarah Parman menjadi-menjadi. Dia berdiri menghampiri Ridwan dan Ami. Ridwan menatap tajam kawannya itu.

‘’Apa maumu, Man?’’ Intonasiku meninggi.

Mata Parman tak kuat melihat tatapanku yang tajam. Seperti tatapan elang mau menerkam anak ayam. Badannya berbalik ke tukang bubur. Merasa kalah perang psikologis, kompensasi Parman jadi grogi.

‘’Mang, pesen bubur ayam lagi dua mangkok!’’ mulut Parman tambah manyun.

‘’Eh, enak aja maen serobot. Kita duluan yang pesan!’’ Ami sewot.

‘’Biarin aja, Mi!’’ Aku menarik lengan Ami.

Parman melahap habis dua mangkok bubur ayam tadi. Setelah bayar, dia langsung pergi bersama kedua kawannya Suhada dan Wendi dengan hati yang panas. Parman merasa ditampar-tampar wajahnya. Dadanya bergemuruh seperti parade Drum-Band 17 Agustusan. Karena gadis gaetannya jatuh hati ke pangkuanku.

‘’Hahahahaha….Cinta ditolak, makan bubur 3 mangkok. Persis orang kesetanan!’’ Ami cekikikan.

‘’Hush, nggak boleh gitu! Siapa tau Parman menjadi jodohmu kelak.’’ Aku sambil memicingkan matak kananku.

‘’Enak aja….Lebih baik aku ngejomblo seumur hidup daripada harus sama dia!’’ Ami mencibir.

Lamunan bersama Ami di kampus dan Parman yang sewot menghilang dari pikiranku ketika Tornado membelok ke rumah Parman. Di depan rumah joglo itu ditanami sayur-mayur. Sejenis bayam, kacang panjang dan katuk. Ada pagar bambu menjadi pembatasnya. Di belakang rumah Parman rimbun dengan pohon bambu dan pohon nangka. Sesekali terdengar suara kambing mengembik di samping rumahnya.

‘’Assalaamu alaikum. Parman esih pak? (Parman ada Pak?)’’ Aku nanya di balik pintu rumah kawannya itu.

Seorang bapak yang keseharian bekerja sebagai Petugas Penyuluh Lapangan itu (PPL) keluar dengan mengenakan kaos oblong dan memakai kolor. Dengan logat Jawa Banyumasan/Ngapak dia menjawab sambil menyalamiku. Sedikitnya aku terpapar bahasa Jawa Ngapak karena faktor geografisnya di perbatasan Jabar-Jateng. Banyak suku Sunda dan Jawa saling berdampingan dan saling memahami bahasa mereka. Perbauran ini yang menjadikan dialek khas daerah peradaban Sungai Citanduy. Tak ayal kesenian daerah ini menjadi beragam; di samping kesenian khas orang Sunda (wayang golek, kendang pencak, calung, reog) juga kesenian Jawa berkembang pesat semisal; kuda lumping, ketoprak, lais, ronggeng menjadi daya tarik Kabupaten Ciamis yang didirikan Raden Aria Koesoemadiningrat pada tahun 1879 itu.

‘’Parman ora nana, wis kerja nang Jakarta. Gajine rong juta. (Parman nggak ada, udah kerja di Jakarta. Gajinya dua juta).’’ Pak Karto menjawab dengan bangga.

‘’Wah hebat dong Pak. Kok nggak ngajak-ngajak saya ya?’’

‘’Nggak tau tuh, dia memang orangnya mandiri. Cari-cari info sendiri. Pergi ke Jakarta berbekal nekad saja. Alhamdulillah dapat kerjaan.’’

‘’Syukurlah kalau Parman udah dapat kerjaan, siapa tau saya bisa ikut. Dia kerja di Rumah Sakit atau gimana?’’

‘’Dia katanya Home Care. Jadi, kalau ada orang yang sakit di rumah saja. Khusus dia datang ke rumah-rumah orang kaya.’’

‘’Oya, alamatnya di mana Pak?’’

‘’Bentar saya tulis.’’

Pak Karto pergi ke belakang hendak mengambil kertas dan pena. Dadaku terasa sesak dan ada sedikit iri juga.

‘Kok bisa si Parman dapat gaji 2 juta. Hari gini nyari duit segitu sangat sulit. Mustahil orang baru lulus dapat gaji jutaan. Ah! Bisa jadi Pak Karto itu sengaja berbual atau manas-manasin aku saja, Sep. Bathinku ngomong yang lain. Tau sendiri kan, baik Parman dan bapaknya itu nggak mau tersaingi? Jadi, omongonnya pasti campur bohong. Tapi, mungkin saja dapat penghasilan segitu. Kenapa harus pusing mikirin gaji orang? Yang penting sekarang gimana caranya aku dapat kerjaan yang layak. Udah suntuk tinggal di kampung. Kok bisa Parman nggak ngajak-ngajak ya? Padahal apa salahnya ngelamar bareng. Rejeki kan udah ada yang ngatur. Mmmh,,,,, masih saja wataknya nggak mau berubah. Nggak mau tersaingi. Mulai dari test masuk ke STIKES, Ujian Akhir Semester, Ujian Negara sampai nyari kerja pun nggak mau ngasih info.’ Celotehku dalam hati.

Lamunanku terus menerawang membumbung menerobos langit-langit rumah tatkala pertama kali dia membuka amplop dari pegawai Tata Usaha (TU) Puskesmas. Harapan dia bekerja di Puskesmas Pangandaran, selain mencari pengalaman dan bisa komunikasi Inggris dengan turis asing juga asumsiku kalau honor tenaga Sukarelawan (Sukwan) di kota wisata nomor wahid di Ciamis itu tentu akan jauh lebih besar ketimbang di Puskesmas daerah lainnya. Kenyataannya….

‘’Ini amplop berisi uang honor. Jangan dilihat berapa jumlahnya. Ini sebagai tanda kasih sayang kami terhadap dedikasi para tenaga honorer.’’ Pegawai TU sambil memberikan amplop.

‘’Terima kasih banyak, Pak.’’ Tanganku gemetar menerima gaji pertama. ‘Wah, pasti dapat dua ratus rebuan nih.’ Otakku mengira-ngira.

Amplop putih itu kurobek di ruang Balai Pengobatan.

‘’Hah, kok cuma dua puluh rebu???’’ Aku terperangah.

Tanganku mengibas-ngibas uang lembaran dua puluh ribu rupiah. Terus kumasukan ke dompet belel.

‘Alhamdulillah, ini juga rejeki. Nggak apa-apa. Semoga berkah. Lagian pengalaman kerja yang aku butuhin sekarang ini supaya bisa pergi ke Kuwait.’

‘’Ehm,…..Ini alamatnya, Sep.’’ Pak Karto membuyarkan lamunanku sambil menyodorkan secarik kertas.

‘’Patokannya dari arah mana Pak?’’

‘’Turun aja di terminal Blok M, ntar naik Kopaja jurusan Slipi. Turun di terminal Slipi, terus hubungi nomor Hp Parman. Kalau nggak lagi kerja, pasti dia mau menemui di terminal.’’

‘’Makasih pak kalau begitu. Saya pamit dulu ya.’’

Kuda besiku melesat menyeruak jalanan yang rusak aspalnya. Tangan kananku menarik gas. Kaki kiriku piawai memindah-mindahkan perseneleng. Rasanya aku ingin cepat-cepat menginjakan kakiku ke belantara Jakarta. Semangatku membuncah. Aliran darah ini mengalir begitu deras mengalahkan dahsyatnya aliran air di bendungan Manganti, Citanduy. Rasanya ingin sekali mengarungi rimba persaingan di kota Megapolitan itu. Menaklukan Sunda Kelapa seperti Fatahillah. Mengarungi dua pertiga dunia seperti Zenghis Khan. Menguasai kerajaan dari Barat ke Timur seperti Iskandar Zulkarnain. Secercah harapanku menyembul menderu-deru. Meski lebih dari 24 surat lamaran lebih aku layangkan. Sampai saat ini belum ada panggilan, siapa tau kali ini ada rejekiku di kota Jayakarta itu. Pak Karto berdiri di teras rumahnya melepas kepergianku sambil menyeringai puas dan merasa bangga akan Parman si anak sulungnya yang sangat cepat mendapatkan pekerjaan ketimbang diriku.

***

Doha, 31/03/2013

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Laki-laki Ciamis yang berdomisili di Doha, Qatar.

Lihat Juga

Qatar Kepada AS: Palestina Menanti Solusi Politik Yang Adil

Figure
Organization