Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Hikmah Atas Titipan Sebuah Rasa

Hikmah Atas Titipan Sebuah Rasa

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Bismillahirrahmanirrahiim. Bukankah telah Allah taburkan limpahan hikmah pada setiap jengkalku dan jengkalmu?

Dan bukankah taburan hikmah itu adalah harta yang jika ditemukan maka diperintahkanlah kita untuk bersegera mengambilnya?

Suatu ketika seseorang berkisah kepadaku. Kisah tentang sebuah rasa yang aku yakin kamu pun tahu tentangnya bahkan mungkin pernah merasakannya. Sebuah rasa yang telah Allah titipkan jauh-jauh hari. Dan suatu saat nanti sebagai Sang Pemilik, Ia pun kelak akan bertanya padamu, tentang titipan rasa itu.

Ah, skenarioNya memang selalu saja indah. Indah. Mengharu biru di hatiku. Sebab, betapa lagi dan lagi hanya kasihNya saja yang mampu kulihat. Termasuk saat Ia redupkan kembali rasa yang sempat menyeruak di hatimu kala itu, perlahan demi perlahan. Damai.

Kisahnya suatu ketika padaku.

***

Saat itu, ada rasa berbunga-bunga dalam hati, namun tak jarang rasa cemas justru terselip di sana. Terkadang tersenyum-senyum sendiri, disusul istighfar yang kembali menyadarkannya. Rasanya lucu dan menggemaskan. Ya. Gemas pada perasaan diri sendiri. Sambil terus meyakinkan bahwa apa yang dialami adalah wajar adanya dan tidak melebihi batas menurut ukuranNya.

Sebab, bukankah ini fitrah?

Ya. Bukankah ini fitrah?

Dan pertanyaan itulah yang kerap didengungkan pada diri sendiri seolah menjadi senjata ampuh yang selalu mampu membenarkan apa yang sedang dirasakan. Dan dari sanalah semua bermula. Kebahagiaan sementara yang kemudian bermuara menjadi sebuah bentuk penyesalan yang teramat sangat. Sebab, kenikmatan beribadah yang telah dikaruniakanNya selama ini akhirnya harus terberangus begitu saja.

Namun, selalu saja ada berjuta alasan yang (lagi-lagi) mampu membenarkan semua perasaaan ini. Selama ia masih terjaga di dalam hati, tidak diungkapkan dan tidak diekspresikan secara berlebihan, sah-sah saja menurutku, sebab ia tidak melanggar batas-batas syariat. Tapi ternyata aku mengabaikan satu hal, suara hati yang menginginkannya tetap tidak boleh begitu. Dan begitulah adanya. Padahal, bukankah Allah pun justru menilai apa yang ada di dalam hati hambaNya? Dan kini semakin kusadari bahwa semua itu hanyalah pembenaranku saja.

Hari-hari pun terus berlalu. Sejak pertemuan pertama itu, tidak pernah terpikir bahwa decak kagum ini akan berubah menjadi simpati yang kemudian melahirkan rasa yang tidak biasa pada diri. Bahkan berulang kali sempat bertanya pada hati, benarkah begini? Seolah tidak percaya, sebab hanya untuk memastikan dan mengeja rasa itu saja sebenarnya masih terlalu ragu dan takut.

 

Saat decak kagum itu kali pertama hadir, kubiarkan saja ianya mengalir tanpa mengusiknya selama beberapa waktu. Karena kupikir, barangkali kekaguman itu hanya sementara saja dan akan beranjak dengan sendirinya seiring berlalunya waktu. Benar saja begitu. Hampir satu tahun sejak pertemuan itu, memang tidak pernah terbersit untuk menengok kembali rasa yang sempat hadir di pertemuan itu. Dulu.

Sampai akhirnya seseorang memaksaku untuk menengok kembali rasa kagum itu.

Ibu. Ya, Ibulah yang memaksaku untuk mengingat kembali pertemuan satu tahun yang lalu. Pertanyaannya tentang ketertarikanku pada seorang ikhwan yang kuharap kelak akan menjadi Imam hidup dan teman berjuangku, yang Ibu anggap sudah sewajarnya untuk hadir.

Dan mulailah mengalir padanya cerita bagaimana awal mula kekaguman itu hadir. Ibuku hanya tersenyum dan berkata, “Mintalah pada Allah dan berusahalah sekuat tenaga untuk terus memperbaiki diri”.

Kalimat itu, terus terngiang di benakku. Sejak saat itu, aku memastikan bahwa ini memang bukan rasa kagum yang biasa.

Ya. Bukan ‘lagi’ rasa kagum yang biasa maksudku. Ada hal lain yang membuatnya semakin menguat saja.

Namun, selama beberapa waktu aku mencoba menepis semuanya. Sebab, seringkali muncul angan-angan yang aku khawatirkan akan sangat berefek buruk. Dan semakin kusadari betapa ia telah sedikit demi sedikit mengikis prinsip hidupku yang selama ini telah kupegang dengan erat.

FirmanNya, bahwa “boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyenangi sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” pun kembali menjadi pengingat dan penguat diri.

Sekuat tenaga berusaha menghalau semua rasa yang mendera. Bisikan-bisikan bahwa hal ini wajar adanya sebab merupakan bagian dari fitrah yang telah Allah karuniakan pun terus muncul. Namun, mengapa seringkali juga rasa tidak nyaman dan kecemasan justru hadir mengiringinya? Maka kusadari bahwa itu semua hanyalah pembenaranku saja. Hingga sekuat tenaga pula terus kubangun pertahanan diri dari serangan perasaanku sendiri. Aku tahu. Allah melihat semua usahaku. Aku tahu. Allah mendengar semua doa-doaku.

Namun, ketika Ibu kembali bertanya, mengusik perasaan yang selama ini sudah kusimpan dengan rapi, seolah semua pertahanan yang telah kubangun kembali goyah. Sebab, jujur kuakui, kekaguman, rasa simpati atau apapun itu namanya, masih saja ada. Hanya aku tak mau keberadaannya justru mengacaukan segalanya.

Maka kubiarkan Allah saja yang kelak akan mencabutnya atau justru menumbuhkannya.

Berharap bahwa prinsip ini bisa seterusnya kupegang erat, hingga Allah benar-benar pertemukan dengan seseorang yang halal bagiku. Imam hidup dan teman berjuangku. Sebabnya, kukembalikan setiap resah, bimbang dan keraguan dalam hati tentangnya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi kesudahanku setelah ini.

Siapapun itu, bukan lagi dia yang namanya sempat terpaut di hati dan pikiranku, yang kuharap. Siapapun itu, asalkan Allah ridha terhadapnya dan terhadapku. Aku pun ridha.

Dan doa inilah yang terlantun kemudian, “Rabb, andainya Engkau karuniakan pasangan yang hamba memiliki kecenderungan kepadanya, mampukan hamba untuk mengendalikan segenap rasa hamba, agar rasa cinta dan rindu kepadaMu tak akan pernah tertandingi… dan andainya Engkau karuniakan pasangan yang hamba belum memiliki kecenderungan padanya, maka lapangkanlah hati ini untuk menerimanya dan tumbuhkanlah ianya semata-mata karena kecintaan hamba kepadaMu… Jangan pernah biarkan hamba terlena dan terpenjara karena keduanya Yaa Rabb”

***

Allah, ada sesuatu yang berdesir di sini. Di dalam hati ini. Sebagai manusia normal, bukankah rasa itu memang benar adanya? Namun, tak semua orang ternyata mampu merawatnya dengan baik. Membiarkannya bertumbuh sesuai dengan fitrahnya diciptakan.

Kala mendengarkan kisahnya, bukankah begitu indah skenario yang telah dirancangNya? Betapa selalu kasih sayangNya ia tunjukkan pada hambaNya. Dan saat kembali merenungkannya, betapa akal dan hati ini kemudian berkata bahwa satu hal yang mampu buat hidup ini begitu berharga adalah saat kita mampu temukanNya dalam setiap helaan nafas, dalam setiap detakan jantung, pun dalam setiap debaran hati.

Barangkali hal yang sering terdengar adalah kisah bagaimana seseorang menemukan Allah dalam kondisi terpuruk, terancam, kemalangan, kegelisahan dan lain sebagainya. Namun bagaimana dengan kondisi saat kita terbuai, terlena dengan semua pernak-pernik dunia? Akankah semudah saat kita berada dalam kondisi terzhalimi?

Allah… jika bukan karena kasih sayangMu, jika bukan karena karuniaMu, jika bukan karena rahmatMu. Tak akan pernah ada yang mampu selamatkanku, Laa hawlaa wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzhiim…

Pun hal lain yang mampu kuatkan kita tuk bertahan merawat rasa yang dititipkanNya, adalah tersebab betapa Islam punyai sosok-sosok hebat pengukir sejarah yang kisah hidupnya abadi sepanjang hayat.

Kamu tahu maksudku? Ya, Mereka adalah wanita-wanita di masa kenabian yang turut serta berjuang melawan musuh di medan juang pun di medan pengabdian pada Rabbnya.

Dan bukankah potret-potret muslimah itu sudah nampak begitu nyata? Maka pelajarilah siroh mereka saudaraku. Siroh yang mampu teguhkan hatimu. Siroh yang mampu hantarkanmu pada sebuah keteladanan nan agung. Siroh yang mampu menuntunmu pada sebuah tujuan hakiki.

Tak cukup tertarikkah dirimu? Saat sosok-sosok yang sudah dengan jelas Allah jamin kedudukannya di surga memberikan keteladanannya bagimu? Keteladanan dalam mengendalikan dan merawat segenap rasa yang telah dititipkanNya selama ini pada mereka, sebagaimanapun saat ini Allah titipkannya padamu.

Bagaimana kemudian kelembutan, ketegasan, kecerdasan, kesantunan dan keluhuran akhlaqnya dalam mengendalikan dan merawat rasa itu, benar-benar mampu mempesonamu. Mempesona, tersebab darinyalah lahir sebuah kisah kasih nan syahdu yang terajut dalam mahligai rumah tangga suci nan mulia, yang meski telah belasan abad berlalu, kisahnya masih saja mampu membuatmu bergetar hebat.

Pernahkah kamu mendengar sosok-sosok wanita hebat seperti Asiah binti Muzahim? Maryam binti Imran? Khadijah binti Khuwailid? Fatimah binti Muhammad? Hajar? Ummu Sulaim binti Milhan? Ummu Salamah? Nusaibah binti Ka’ab? Ummu Aiman? dan sederet sosok-sosok lainnya yang mampu buat mereka, para penduduk langit, berdecak kagum bahkan kemudian memuji-mujinya.

Lantas aku bertanya, apa yang mampu buat mereka benar-benar begitu hebat di mata para penduduk langit? Apa yang mampu buat mahligai rumah tangga mereka begitu suci nan mulia bahkan abadi hingga ke surgaNya? Apa yang mampu buat mereka bertahan dalam kondisi apapun? Bagaimana dan dengan cara apa mereka melalui masa muda, masa yang begitu lekat dengan pernak-pernik duniawi? Bagaimana mereka mampu melalui masa-masa penantian yang begitu membuat sebagian wanita merasa gelisah? Rahasia besar apa yang sebenarnya mereka miliki?

Allah… sungguh nikmatMu yang mana lagi yang kami dustakan? Bahkan semuanya telah nampak begitu jelas. Bahkan semuanya telah Engkau tuntun dengan sempurna melalui mereka yang telah dipilih untuk menjadi tauladan bagi kami.

Sebagaimana 6000 ayat-ayatMu bercerita tentang kisah-kisah mereka yang Engkau karuniakan petunjuk dan mereka yang kemudian dimurkai. Seperti itulah inginnya Engkau meneguhkan hati kami atas apapun yang terjadi dan berlaku pada diri-diri kami agar mampu mengambil pelajaran.

Termasuk dalam mengendalikan dan merawat segenap rasa agar kemudian tak terjerumus pada nafsu syahwat semata.

Ah, indah. Dan benar-benar indah. Bahkan Kau mendidikku melalui takdir yang berlaku atas saudaraku. Bahkan Kau mendidikku dengan hikmah ini agar aku mampu mengendalikan dan merawat segenap rasa yang pun Kau titipkan padaku, tentu dengan caraMu.

Sebab, lapis-lapis berkah itu hanya mampu kuraih jika saja ianya tetap terjaga di jalanMu.

Dan sebab sejatinya, mahligai yang dibangun di atas keridhaanMu dan di atas hasrat untuk terus berjuang menegakkan syariatMu lah yang tak akan pernah berkesudahan.

Itulah yang akhirnya, aku dan kau yakini hingga detik ini, saudaraku.

Fabiayyi aalaa irabbikumaa tukadzdzibaan.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Muslimah kelahiran Tasikmalaya, Mei 1991. Merupakan anak pertama dari delapan bersaudara. Kuliah mengambil Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, di Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia. Saat ini sedang mendapatkan amanah sebagai santri karya Yayasan Daarut Tauhiid, Bandung.

Lihat Juga

Musibah Pasti Membawa Hikmah

Figure
Organization