Topic
Home / Berita / Perjalanan / Hilwa Nur Syahbaniyah, Problem Kelahiran di Pulau Rote

Hilwa Nur Syahbaniyah, Problem Kelahiran di Pulau Rote

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Meski baru 14 hari hadir di dunia, Hilwa sudah menjalani hidup yang sangat luar biasa, sebuah perjuangan penuh tangis. Kelahiran Hilwa adalah sebuah cermin dari minimnya pelayanan kesehatan masyarakat dan situasi laut yang turut menentukan nasib di Pulau Rote.

Hilwa Nur Syahbaniyah, hari ini, Minggu 14 Juni 2015 ini genap dua minggu usianya. Sebagai ungkapan rasa syukur atas kehadiran buah hati mereka, sekaligus menjalankan sunnah Rasulullah SAW, orangtua Hilwa mengadakan acara ‘Cukur Rambut’ utuk putrinya itu. Cukur Rambut adalah sebutan untuk acara aqikah bagi masyarakat Muslim di NTT, termasuk di Pulau Rote.

Seperti tradisi aqikah di tempat lain, acara Cukur Rambut di Pulau Rote juga diisi dengan pembacaan Barzanji, yang ketika sampai pada bacaan Asyrakal, hadirin berdiri. Saat itulah, si bayi yang di-aqikah-kan dibawa ke depan, lalu digunting ujung rambutnya oleh pemimpin acara. Setelah itu si bayi dibawa ke semua hadirin untuk diusap kepalanya. Di belakang orang yang menggendong si bayi, ada yang iringi sambil menyemprotkan minyak wangi ke baju hadirin atau membagikan pandan wanggi. Setelah pembacaan Barjanji acara Cukur Rambut dilanjutkan dengan pembacaan tahlil. acara kemudian diakhiri dengan makan bersama dengan menu utama daging kambing tentunya.

Jika di tempat lain, menu aqikah, yakni satu ekor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor untuk anak laki-laki cukup dengan memesan pada jasa penyedia masakan daging kambing, maka di Pulau Rote masih dikerjakan oleh keluarga dari orang tua si bayi. Saat itulah, terlihat ramai di rumah karena semua keluarga dari orangtua si bayi berkumpul dan berbahagia. Anggota keluarga yang jauh juga ikut hadir berbagi kebahagiaan. Oleh karena itu, tak cukup satu atau dua ekor kambing dibunuh tapi lebih dari itu. Beruntung kambing di Pulau Rote masih mudah dan murah didapat, cukup tigaratus ribu sudah bisa dapatkan kambing yang layak utuk aqikah juga layak untuk kurban. Ini tentu berbeda dengan daerah lain yang harga seorang kambing sudah menyentuh angka satu atau dua juta.

Meski masa dua minggu kehadiran Hilwa di muka bumi adalah waktu yang masih sangat pendek, namun bayi ini sudah melewati masa-masa yang sangat sulit dan berat. Dia harus melewati satu puskesmas di Eahun (ibukota Kecamatan Rote Timur), satu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Ba’a, ibukota Kabupaten Rote Ndao dan satu rumah sakit bersalin di Kupang, Ibukota Provinsi NTT. Hilwa menempuh jarak 55 km dari Papela ke Ba’a dengan ambulance puskesmas, kemdian menempuh 50 mil laut menantang besarnya gelombang musim angin Timur menyeberang Selat Pukuafu untuk ke Kupang. Setelah melewati proses persalinan yang dramatis di Kupang, Hilwa harus kembali ke Pulau Rote dengan kembali menerjang Selat Pukuafu. Dua kali dalam seminggu dihantam gelombang Selat Pukuafu adalah sebuah pengalaman yang tidak mengenakkan bagi orang yang tak biasa dengan pelayaran.

Ayah Hilwa adalah Rahmat Mayar, sarjana jebolan Universitas Muhammadiyah, Kupang. Lelaki berkulit gelap ini berasal dari Pulau Alor dan kini menjadi guru kontrak pada SMP Negeri 3 Rote Timur. Ibunya, Nurhayati, adalah alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Attaqwa (STAI) Attaqwa, Ujunghrapan, Bekasi. Nurhayati adalah guru tetap pada Madrsah Tsanawiyah Al Muhajirin Papela, satu-satunya madrasah tsanawiyah di Kabupaten Rote Ndao.

Meski Rahmat dan Nurhayati adalah sarjana dari kota, namun keduanya tak bisa menghindar dari kebiasaan-kebiasaan ibu hamil yang dalokoni masyarakat Rote. Dukun Beranak, masih berperan penting di sini. Seorang ibu hamil mulai tergantung pada dukun beranak ini sejak dia mulai terindikasi hamil. Berbagai terapi urut dalam skala waktu tertentu dalam satu periode kehamilan, berbagai jenis ramuan tradisional adalah ritual-ritual yang mau tak mau harus dijalani si ibu hamil. Memang, ada juga ibu hamil yang terpelajar segan mengikuti segala tradisi ini, namun pada saat yang sama dia juga tak bisa menolak permintaa ibu dan ibu mertuanya untuk menerima tradisi ini.

Di Papela, tempat tinggal oran tua Hilwa, memang sudah ada puskesmas, dokter, bidan bahkan posyandu. Sayangnya, keberadaan perangkat-perangkat kesehatan masyarakat itu belum bisa membantu mengurangi ketergantungan ibu hamil pada dukun beranak. Memang, diakui atau tidak, penanganan dukun beranak pada ibu hamil dan melahirkan cukup membantu. Buktinya banyak kelahiran yang bisa selamat, bayi dan ibunya juga sehat. Hanya saja, jika si dukun bernanak salah melakukan penanganan maka akibatnya bisa fatal, dan hal ini juga tak jarang terjadi. Misalnya, karna salah melakukan urut maka posisi bayi dalam kandungan akan salah, akibatnya si ibu akan kesulitan dalam melahirkan. Jika ini yang terjadi, maka jelas dukun beranak tak bisa menangani. Hal ini lah yang terjadi pada Nurhayati.

Ahad (31/6) siang, Nurhayati mendapatkan tanda-tanda dia akan melahirkan. Hanya sesaat, ibunya, dukun beranak, saudara dan tetangganya datang membantu. Melihat tanda-tanda akan mengalami kesulitan, keluarga membawa Nurhayati ke puskesmas. Di sana dia ditangani oleh dokter Ahyar Harabiti, satu-satunya dokter yang melayani dua puskesmas di dua kecamatan, Kecamatan Rote Timur dan Kecamatan Landuleko. Satu malam menangani Nurhayati di Puskesmas, dokter Ahyar Harabiti menyarankan pasien dibawa ke RSUD di ibukota kabupaten Ba’a. Menurut dokter yang juga putra asli Papela ini, posisi bayi dan plasenta dalam kandungan Nurhayati tidak idial sehingga perlu dibawa ke RSUD untuk penanganan lebih lanjut. Senin (1/6) dini hari dengan ambulance puskesmas Nurhayati dibawa ke Ba’a. Oleh dokter di RSUD itu, Nurhayati diputuskan untuk menjalani operasi caesar, dan itu hanya bisa dilakukan di Kupang. Akhirnya, dengan tangisan yang tak henti-henti, Nurhayati ditumpangkan ke Bahari Expres, sebuah kapal penyeberagan cepat ke Kupang. Di meja operasi Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Dadari di Kupang, Hilwa Nur Syahbaniah lahir dengan selamat dan sehat, begitu juga dengan ibunya.

Proses kelahiran Hilwa telah membuka mata kita pada kondisi rumah sakit daerah di Rote Ndao. Rumah sakit umum milik pemerinrah daerah Rote Ndao itu tak lebih dari sebuah tempat membuat rujukan untuk pasien penanganan khusus untuk selanjtnya dibawa ke Kupang. Sebuah sumber di pemerintahan Rote Ndao pernah menuturkan kepada penulis, bahwa untuk melengkapi rumah sakit itu dengan peralatan yang mamadai bisa saja dilakukan, tapi itu akan mengerus dana APBD. Itu karena APBD Kabupaten Rote Ndao masih kecil sedangkan pos pengeluaran untuk pembangunan lain juga besar. Begitu juga dengan tenaga dokter yang sangat sedikit di rumah sakit ini. “Hanya dokter yang punya idialisme tinggi, yang mau mengamalkankan ilmu dan kemampuannya tanpa mengharapkan imbalan, yang mau memberikan obat paten dengan harga terjangkau, yang bisa bertahan di Rote,” kata dokter Ahyar Harabiti kepada penulis pada suatu kesempatan.

Rabu (3/6) atau keesokan harinya setelah Nurhayati dibawa ke Kupang, otoritas pelabuhan di Kupang melarang semua pelayaran melintas Kupangg-Rote maupun sebaliknya. Larangan itu dikeluarkan akibat kencangnaya tiupan angin dan tingginya gelombang laut. Pelayaran baru bisa dibolehkan pada enam hari kemudian. Bisa dibyangkan, jika sesaat saja Nurhayati terlambat dibawa ke pelabuhan Bahari Express yang akan membawanya ke Kupang untuk jalani operasi, maka tulisan dalam artikel ini akan berbunyi lain, mungkin saja bernada duka.

Selasa (9/6) siang, Hilwa dan ibunya tiba di Papela setelah empat jam berada di kapal fery yang menyeberangkan mereka di tangah hempasan gelombang tinggi Selat Pukuafu. Di Papela, sudah menunggu teman-teman guru dan puluhan murid MTs Al Muhajirin Papela, menyambut Hilwa dan mamanya dengan tangisan bahagia. Ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi ini melengkapi kebahagiaan Rahmat dan Nurhayati, pasangan guru agama Islam di Pulau Rote ini. (usb/dakwatuna)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Papela, Kec. Rote Timur, Kab. Rote Ndao. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan Bahagia, Bekasi. Pernah di redaksi Majalah Warnasari (Pos Kota Group) dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization