Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Dilema Perempuan Bekerja

Dilema Perempuan Bekerja

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Di Indonesia  jumlah angkatan kerja wanita yang aktif meningkat dari 6.869.357 pada tahun 1990 menjadi 36.871.239 pada tahun 2000 (BPS, Data komposisi angkatan kerja,1990 & 2000). Kecenderungan ini terus meningkat seperti ditunjukkan oleh data di  DKI Jakarta pada tahun 2002 terdapat 1.062.568 wanita yang bekerja tahun 2004 naik menjadi 1.117.620 jiwa. Pada 2006 naik menjadi 1.137.410 jiwa.

Sementara itu ILO merilis laporan yang menyatakan bahwa jumlah angkatan kerja di Indonesia diperkirakan sebesar 125,3 juta pada Februari 2014, atau naik 5,2 juta dibandingkan Agustus 2013 atau 1,7 juta dibandingkan bulan Februari 2013. Tingkat partisipasi angkatan kerja diperkirakan sebesar 69,2 persen dan jumlah orang yang bekerja pada Februari 2014 mencapai 118,2 juta. Peningkatan partisipasi angkatan kerja ini didorong oleh peningkatan jumlah perempuan di perkotaan yang masuk dalam angkatan kerja.

Mengapa Perempuan Harus Bekerja?

Perempuan bekerja dilatarbelakangi oleh beberapa hal, di antaranya:

  1. Mengaktualisasikan diri. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa keberadaan diri perempuan haruslah nampak dalam dunia kerja yang diakui khalayak umum.
  2. Tekanan ekonomi. Dalam kasus ini, perempuan bekerja untuk memenuhi kebutuhan sementara kaum pria penanggungjawabnya tidak mampu (sepenuhnya atau sebagian) memenuhi kebutuhan tersebut.
  3. Mengamalkan ilmu untuk kemanfaatan yang lebih luas. Perempuan memiliki ilmu yang dapat bermanfaat bagi selain keluarganya.

Dari ketiga latar belakang itu di Indonesia nampaknya latar belakang pertama dan kedua mendominasi. Pada kondisi pertama, konsep eksistensi diri perempuan didominasi oleh pemikiran materialisme yang menganggap “nilai” kehadiran seseorang bergantung kepada seberapa besar ia menghasilkan materi. Hal ini terjadi seiring rendahnya penghargaan terhadap profesi ibu rumah tangga atau manajer domestik.

Kondisi kedua lebih merupakan keadaan yang mendesak di mana kebutuhan hidup tidak terpenuhi akibat kemiskinan sehingga kaum perempuan dipaksa untuk turut serta menjadi penanggung nafkah keluarga. Inipun tidak lepas dari rendahnya pemahaman tentang siapa yang wajib mencari nafkah dan lemahnya pengelolaan ekonomi sehingga berakibat pada rendahnya lapangan kerja bagi kaum pria.

Kondisi ketiga seyogyanya merupakan kondisi ideal di mana perempuan bekerja seperlunya dengan tidak menguras energi dan waktunya sehingga tetap dapat menunaikan kewajiban-kewajibannya.

Dilema Ibu Bekerja

Bagi perempuan lajang, sepertinya tidak terdapat masalah berarti dalam pilihan hidup bekerja. Akan tetapi persoalannya menjadi lain jika pilihan (keterpaksaan) untuk bekerja dihadapkan pada perempuan menikah, terlebih yang memiliki anak. Hal ini berkenaan dengan  budaya Indonesia yang umumnya menempatkan perempuan sebagai penanggungjawab urusan rumah tangga, sementara pria (suami) bertanggungjawab pada urusan nafkah. Dalam budaya seperti ini, seorang perempuan bekerja tetap menangungjawabi urusan rumah tangga seperti kebersihan rumah, penyediaan makanan dan pakaian serta berbagai urusan anak seperti mengasuh dan merawat anak. Kondisi ini secara otomatis menuntut perempuan bekerja untuk menjadi “superwoman” yang tangkas di tempat kerja dan tuntas menunaikan tanggungjawabnya di rumah. Tak jarang hal ini menimbulkan stress pada perempuan bekerja, sebagai akibat akumulasi berbagai persoalan di antaranya:

  1. Pengelolaan rumah tangga terlalaikan
  2. Pengasuhan anak terabaikan
  3. Hubungan dengan suami/keluarga kurang harmonis
  4. Gejala penyakit psikosomatis akibat kelelahan fisik dan mental.

Pada prakteknya pengelolaan rumah tangga seperti kebersihan, penyediaan makanan dan pakaian mungkin bisa dialihkan kepada asisten rumah tangga, akan tetapi pengasuhan anak adalah hal penting yang tidak bisa begitu saja dialihkan kepada orang lain. Kelelahan di tempat kerja yang terbawa ke rumah dapat mengakibatkan melemahnya peran ibu sebagai pengasuh dan pendidik anak dan peran istri sebagai sahabat suami. Kelelahan berkepanjangan terakumulasi menjadi penyakit.

Bagaimana Seharusnya?

Masalah perempuan bekerja adalah masalah sosial. Ia tidak boleh dipandang sebagai masalah perempuan semata akan tetapi harus dipandang sebagai permasalahan manusia secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena masalah ini menyangkut kehidupan manusia secara keseluruhan. Tidak seharusnya segala permasalahan perempuan bekerja ditanggung dan diselesaikan oleh perempuan sendiri melainkan oleh seluruh komponen masyarakat. Dalam hal ini Islam memiliki seperangkat aturan tentang kehidupan manusia terkait keberadaan perempuan bekerja, di antaranya:

Pertama: jaminan terhadap kehormatan.  Islam telah menjaga perempuan agar kehormatannya terlindung melalui hukum-hukum yang menyangkut pergaulan antarlawan jenis. Islam mewajibkan perempuan untuk menutup aurat, mengenakan jilbab dan kerudung ketika keluar rumah, menundukkan pandangan, disertai mahram dalam bersafar lebih dari sehari-semalam harus, tidak ber-tabarruj (berdandan berlebihan), tidak berkhalwat,  dan lain-lain.  Semua hukum-hukum tersebut bukanlah untuk mengekang kebebasan perempuan. Bahkan sebaliknya, dengan aturan tersebut perempuan dimuliakan karena dapat beraktivitas tanpa ada ancaman sebab mereka yakin bahwa Allah akan melindungi perempuan karena mereka telah taat menjalankan aturan Allah.

Dalam hukum-hukum tentang pernikahan, pelanggaran kehormatan, kekerasan domestik dan penganiayaan terhadap istri adalah perkara-perkara yang dilarang oleh Islam. Bahkan untuk menjaga kehormatan perempuan, Islam juga mengharamkan beberapa jenis pekerjaan yang mengeksploitasi keperempuanan, misalnya bintang film, model iklan, penari, penyanyi, SPG (Sales Promotion Girl) dan lain-lain.

Kedua: jaminan kesejahteraan.  Ketika perempuan mendapatkan tugas utama sebagai ibu serta pengatur dan pengelola bahtera rumah tangga, maka perempuan tidak dibebani tugas untuk bekerja menghidupi dirinya sendiri. Tugas tersebut dibebankan kepada lelaki; suaminya, ayahnya ataupun saudaranya. “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 233).

Namun demikian, perempuan tetap boleh bekerja dan memainkan peran lain dalam kehidupan bermasyarakat, selain peran dalam keluarga seperti yang telah disebut di atas.  Dokter, guru, perawat, hakim, polisi perempuan adalah beberapa profesi yang dapat ditekuni perempuan dan sangat penting bagi keberlangsungan masyarakat.

Islam juga telah memberikan hak kepada perempuan untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi.  Perempuan berhak ikut serta dalam perdagangan, pertanian, industri dan melangsungkan akad-akad, bermuamalah serta berhak untuk memiliki dan mengembangkan segala jenis kepemilikan.

Ketiga: jaminan untuk memperoleh pendidikan.  Dalam Islam menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang, laki-laki maupun perempuan. Bahkan sangat penting bagi perempuan muslimah untuk memiliki pendidikan Islami setinggi mungkin. Merekalah yang nantinya akan menjadi sumber pengetahuan pertama bagi anak-anaknya. Negara berkewajiban menjalankan sistem pendidikan agar seluruh warga negara (termasuk perempuan) mendapatkan pendidikan yang diperlukan bagi kelangsungan kehidupannya.

Keempat: jaminan untuk berpolitik.  Islam memerintahkan perempuan untuk beraktivitas politik dan beramar makruf nahi mungkar kepada penguasa (Ali Imran: 104, At-Taubah: 71).  Perempuan dalam Islam memiliki hak untuk memilih khalifah, memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat, atau menjadi bagian dari partai politik Islam. Hanya saja, urusan yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintahan tidak boleh dijabat oleh perempuan.

Kelima: jaminan untuk kelangsungan keturunan. Melalui hukum-hukum tentang nasab (juga hukum-hukum pernikahan), Islam  telah memuliakan perempuan untuk memperoleh keturunan yang sah, bahkan kehidupan rumah tangga yang menenteramkan.  Melalui pernikahan syar’i, perempuan mendapatkan hak-haknya sebagaimana laki-laki (suami) mendapatkan hak-haknya dari istrinya. Kodrat perempuan adalah menjadi ibu yang menyayangi dan selalu mendampingi anak-anaknya. Ia bahagia dicintai dan dibutuhkan anak-anak. Ia mendidik dan menempa anak-anak untuk menghadapi hidup. Mendidik anak semacam ini tidak dapat dilakukan paruh waktu atau sambilan semata. Ia membutuhkan curahan waktu, pikiran, tenaga, usaha keras dan kondisi yang menunjang. Untuk menyempurnakan fungsi keibuan (motherhood) ini, Islam telah menetapkan serangkaian hukum-hukum praktis seperti hukum seputar kehamilan, penyusuan, pengasuhan, perwalian dan nafkah. Islam membolehkan perempuan hamil tidak berpuasa Ramadan untuk menjamin bayinya tumbuh sempurna.   Ibu yang sedang menyusui untuk menyempurnakan penyusuan dua tahun juga boleh tidak berpuasa. Namun, mereka wajib meng-qadha-nya nanti saat telah lapang dari kehamilan dan penyusuan. Pengasuhan anak merupakan hak sekaligus kewajiban ibu sampai anak menginjak usia tamyiz (sekitar 7-10 tahun). Dengan demikian anak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan dari ibu sehingga ia bisa tumbuh berkembang secara sempurna. Untuk bisa menjalankan tugasnya mengasuh dan mendidik anak dengan seoptimal mungkin, ibu dibebaskan dari berbagai kewajiban seperti shalat berjamaah di masjid, bekerja, berjihad dan hukum-hukum lain yang akan menelantarkan fungsi keibuannya. Karena itu shalat di rumah adalah lebih baik bagi perempuan. Mencari nafkah dibebankan kepada suami atau walinya, begitu pula perlindungan dan keamanannya.

Keenam: jaminan ketika perempuan berada di ruang publik.  Islam memuliakan perempuan dengan jaminan di bidang peradilan. Islam juga membolehkan perempuan untuk berjihad.  Islam juga memuliakan perempuan dengan membolehkan perempuan berkiprah di berbagai lapangan kehidupan, baik dalam struktur pemerintahan (yaitu selain penguasa dan qadhi  mazhalim) maupun aktivitas umum lainnya.  Semua itu tentu dilaksanakan dengan tetap menjaga pelaksanaan hukum syariah lainnya.

Meski mendapatkan banyak kesempatan berkiprah di ruang publik, Islam dengan hukum-hukum syariahnya tetap menjamin keamanan perempuan; baik harta, jiwa, akal maupun agamanya.  Di antara hukum-hukum itu antara lain kewajiban ber-mahram bagi perempuan bila keluar rumah lebih dari sehari semalam, meminta ijin suami bagi istri yang hendak keluar rumah, tidak ber-khalwat, menjaga penampilan, dan lain-lain.

Demikianlah jaminan Islam yang diberikan khusus bagi perempuan. Semua itu tidak lain agar perempuan menjadi makhluk mulia, terhormat di hadapan Allah SWT dan manusia lain. Penerapan hukum-hukum Islam secara sempurna dan menyeluruh akan mengurai permasalahan yang dihadapi perempuan, termasuk perempuan bekerja. Wallahu a’lam. (lismaryani/dakwatuna)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Ibu rumah tangga, mengajar di SMK

Lihat Juga

Empat Ciri Wanita Penghuni Surga

Figure
Organization