Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Yaa Rabbi, Ini Jihadku

Yaa Rabbi, Ini Jihadku

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet/hdn)
Ilustrasi. (inet/hdn)

dakwatuna.com – Malam itu tepat di Estacion Canfranc, Aku melihat para monster-monster itu membabibuta menghabiskan nyawa pemuda itu, Aku merekam jejak-jejak pertikaian mereka hingga jatuhnya darah di bumi Tuhan.

Estacion Canfranc adalah stasiun kereta api terbesar ketiga di Eropa. Letaknya di Spanyol, dekat perbatasan Prancis, di sekitar kota yang disebut Canfranc Estacion, stasiun ini ditutup pada tahun 70-an saat terjadinya kecelakaan kereta yang menghancurkan jembatan di sekitar stasiun karena keluar dari jalur. Saat itu Aku diutus ke Spanyol dalam rangka English Deabate Competition mewakili kampusku, Aku baru kali pertama ke Spanyol. Malam itu Aku sengaja berjalan kaki, langkahku terhenti kerena melihat pembantaian terhadap pemuda yang berkulit putih, berbadan ideal, berwajah tampan, dan memiliki sedikit jenggot, pada saat itu pemuda tersebut masih memakai baju koko dengan celana tidak menutupi mata kaki sesuai dengan Sunnah Rasul.

Tiga pemuda berbadan tegap, berkulit gelap bermata tajam membabibuta menghantam benda tajam ke pemuda itu, bak seekor binatang buas yang melihat mangsanya lalu diterkam. Oh, Aku benar-benar tidak tahu melakukan apa saat itu, sungguh Aku melihat peristiwa yang nyaris membuatku tak sadarkan diri. Gemetar, panas, dingin, sekujur tubuhku mengeluarkan energi-energi berupa gumpalan keringat yang membasahi gamis dan jilbabku yang tebal, Aku tak sanggup melanjutkan perjalanan hingga ke tujuan yang sebelumnya sudah Aku rencanakan. Terlihat sepasang kaki yang berjalan ke arahku, Aku tak mampu mengangkat kepala melihat siapa sosok itu.

Aku pikir perjalananku sudah berakhir sampai di sini, Aku khawatir itu salah satu pemuda berbadan tegap, Allah..Allah..Allah..hatiku selalu menjerit nama Rabbku. Tubuhku gemetar hebat namun tak jua pingsan, Aku mengharapkan saat itu Aku tak sadarkan diri sebelum pemuda itu datang.

“ Balqis apa kabar, kenapa bisa di sini?” . Terdengar suara dari arah depan, ternyata dugaanku salah. Aku mencoba mengangkat kepala meskipun berat, ternyata itu Salman yang satu kampus denganku tetapi beda jurusan, namun ia sudah lama tidak terlihat di kampus.

“ Alhamdulillah sehat Man, kenapa bisa di sini Man?”

“ Harusnya Aku yang nanya Balqis, kenapa bisa di sini. Aku sudah lima bulan menetap di Spanyol semenjak pindah tugas Papa, makanya kami sekeluarga menjadi penduduk sini. Wah, sekarang Aku tahu Balqis pasti ikut English Deabate Competition.”

“Hem, kamu tau saja Man. Tapi ada yang ingin Aku ceritakan padamu.”

Sambil melihat ke arah kejadian tadi, namun tampaknya ketiga pemuda bertubuh tegap dan pemuda yang menjadi korban tidak ada lagi di lokasi.

“Man kau tahu, kehilangan satu nyawa seorang Muslim itu lebih berarti dari dunia dan seisinya, kenapa di sini nyawa merupakan barang murah yang mudah saja dihilangkan.”

“Ya, benar”, Jawab Salman singkat.

“Lantas kau hanya diam, mendengar, melihat saudara seimanmu dibunuh tanpa dosa-dosa mereka, di mana hati nuranimu?”

“Sudah, akan ku ceritakan semuanya Balqis tapi jangan di sini. Mari ke rumahku, jangan khawatir Papa dan Mama ada di rumah.”

Malam yang kelabu, tampaknya bukan hanya Aku yang sedih atas peristiwa itu namun alam juga demikian. Langit yang dihiasi dengan bintang-bintang mulai berubah menjadi gumpalan awan hitam kelam lalu meneteskan rintik-rintik air hujan, dinginnya malam mulai menusuk ke tulang-tulang, gemuruh bersahut-sahutan, gemericik air hujan mulai membasahi teras rumah Salman. Tak satupun yang mau mengawali percakapan, suasana begitu mencekam padahal awal Aku melangkah kaki bintang-bintang masih mengintip dari langit bersandingkan bulan membuat indah malam yang gelap.

Setelah beberapa menit bahkan hampir setengah jam kami saling diam menundukkan kepala sesekali melihat kearah badan jalan yang basah kuyup. Sepertinya Salman sengaja tak mengawali pembicaraan entah apa sebabnya.

“Salman, hari semakin gelap Aku ingin pulang saja, tampaknya kau tak bisa jawab pertanyaanku di stasiun tadi atau kau sengaja melupakannya, ya sudahlah sepertinya tak ada yang bisa diharapkan darimu.”

“Jangan Balqis, baiklah. Aku sengaja diam, Aku bingung mau memulai pembicaraan dari mana, sebenarnya Aku sudah lama mengetahui pembantaian di kota ini, memang tak ada satupun yang berani melawan mereka, yang jadi sasaran biasanya para dai.”

“Astaghfirullah…jadi kau.”

“Jangan suudzan dulu denganku, Aku tetap dakwah di sini Balqis hanya saja sebatas area yang tidak diketahui.”

“Tidak!”

“Maksud Balqis apa?”

“Kau bukan Salman yang kukenal, laki-laki pengecut.”

Mengakhiri percakapan dengan pergi begitu saja, Aku tak menghiraukan pekikan Salman yang melarangku untuk berlari meninggalkan teras rumahnya. Entah apa yang membuatku begitu kasar malam itu. Hujan mulai reda tepat pukul 22.00 WIB Aku sampai di asrama tempat di mana mahasiswa utusan dari Universitas masing-masing. Handponeku berdering, dengan sigap Aku raih dari lemari yang tidak jauh dari tempat dudukku berharap dari Abi. Ternyata Salman yang berusaha menghubungiku dari tadi.

“Balqis sahabatku, perlu kamu ketahui di kota ini tak seperti kota kita gema dakwah semakin menggelegar bahkan sampai di pelosok daerah, namun hal nya di sini jauh berbeda.”

“Salman, ketika kita menolong agama Allah maka Allah akan menolong kita. Jadi apa gerangan yang membuat kamu takut? Bukankah kita harusnya Ittaqillaaha haitsuma kunta (bertaqwa di manapun kita berada).”

“ Jadi, apa langkah kamu selanjutnya.”

“Mencari tau sosok pemuda yang menjadi korban.”

“Ha…? Kamu benar-benar nekat Balqis.”

“Ya, kalau menolong agama Allah jangan setengah-setengah.”

Kumandang azan bersahut-sahutan, ayam jantan pun mengeluarkan suara merdu sementara jangkrik mulai diam, subuh pecah matahari mulai menyerakkan bara di langit timur, langkah kaki mungil berbalutkan kaos hitam pekat menyelusuri aspal nan tanpa batas. Resah, kalut, gemuruh di dada berkelebat, kepala menunduk, mata memerah meleleh tak karuan.

Siang pukul 13.00 WIB akan diadakan English Deabate Competition, perempuan cantik berkulit putih berbadan langsing bermata sayu lebih memilih untuk tidak hadir.

Umat ini membutuhkan pejuang yang benar-benar berjuang, pembela kebenaran yang tak gentar mati, saling berebutan menjadi garda terdepan dalam menegakkan Islam, perempuan dan laki-laki mempunyai kewajiban yang sama dalam hal membela Islam hanya saja punya metode yang berbeda dan memiliki prinsip masing-masing, bukan Aku ingin dipuji disanjung bahkan diabadikan dalam sejarah nanti, namun semata-mata Aku lakukan karena Ilahi, Rabb kita pernah berkata kalian adalah umat terbaik, yaitu mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, Aku sangat bangga memiliki teman sepertimu Salman, tapi jujur hari ini Aku kehilangan laki-laki yang cergas, tegas, cerdas dan pantas mengibarkan bendera Rasulullah, ya itulah yang dilakukan umat terbaik dahulu ketika menang melawan kafir mereka mengibarkan bendera kebanggaan kaum muslimin yang bertuliskan Laa ilaahaillallah muhammadarrasulullah. Jazakallah sebelumnya, mungkin ini adalah kehadiran terakhirku di hadapanmu dan maafkanlah jika kehadiran itupun hanya sepucuk surat dan sedikit tetesan air mata bersamaan tetesan embun pagi yang masih berbekas.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumni STMIK Hangtuah Pekanbaru Prodi Teknik Informatika. Pengajar Di Yayasan Tahfidz Andesta Pekanbaru Penulis di Beberapa Koran

Lihat Juga

Resolusi Jihad Resolusi Santri

Figure
Organization