Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Dokter Shalih

Dokter Shalih

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Sudah sering kali aku injakkan kaki di kota ini, dan bukan suatu hal asing bagiku melihat kota ini. Sebuah kota yang padat meskipun tak sepadat di Ibu kota, dengan cuaca yang terbilang panas dan gersang karna di penuhi rumah dan bangunan-bangunan mewah dan besar yang berdiri kokoh sebagai sarana mencari hiburan bagi mereka yang memilki kepenatan hidup. Kota ini menyimpan banyak kenangan bagiku, karna di kota ini kutemukan teman, cinta, dan cerita lainnya. Aku berhasil menyelesaikan S1 di kota ini, tapi kali ini ada hal yang membuat semuanya menjadi berbeda dari biasanya.

“udah lama nunggu?” sepasang sepatu kini berada tepat di pandanganku

Aku yang sedang mengamati sebuah undangan pernikahan, segera mengalihkan pandangan ke pada sosok yang berdiri di depanku. Wajahnya tetap cantik dengan senyum yang khasnya dan kaca mata yang selalu melekat sejak aku mengenalnya. Ku peluk dia, Amna merupakan salah seorang teman baikku waktu kuliah dulu, kami juga merupakan rekan di organisasi yang sama.

“Maaf ya Ra, buat dikau menunggu”

“Gak kok Na, baru juga tack off. Harusnya Aira yang makasih udah repot-repot jemput ke Bandara. Udahlah jauh, ya kan?”

“Heemm, tapi kenapa baru ini minta jemput. Ada apa?”

“Gak ada, lagi pengen aja”

Amna kemabali tesenyum, namun kali ini disertai dengan gelengan kepala. Aku juga tak tau, entah kenapa aku ingin di jemput olehnya, padahal selama ini aku lebih senang datang dan pergi sendiri. Ternyata Amna tidak datang sendiri, melainkan dengan putrinya Aisyah yang kini telah menginjak usia 3 tahun, anak yang cantik secantik ibunya. Amna memang telah menikah sekitar 4 tahun lalu dengan seorang pria yang banyak diidamkan wanita, pria yang shalih, cerdas, penyayang dan berwibawa, namun kali ini tidak ikut serta seperti biasanya.

“Loh cuma berdua aja?” aku baru menyadari

“Iya Ra, abinya Aisyah masih di kantor”

“Umii.. ayo pulang” suara gadis kecil itu terdengar manis sekali, dengan mata indahya dia seperti masih keheranan denganku.

“ini Aisyah ya?” aku menunduk mendekatinya

“Tante ini teman yang barusan umi ceritakan. Tante yang punya istana dongeng”

“Tante Aii..laa itu ya mi?”

Aku tak tahan menahan senyum di hadapannya, seolah kalimat yang terucap dari bibir mungilnya keluar dari lisanku dengan aksen cadel yang telah lama melekat.

Di mobil kami menceritakan banyak hal, mulai pekerjaan, rutinitas harian, sampai bernostalgia dengan kehidupan kampus dulu. Kami memang jarang bertemu sekalipun aku sering berkujung ke kota ini, namun karena kesibukan masing-masing menyulitkan kami untuk bertemu. Amna sering kali sibuk dengan bironya dan mengurus keluarganya ketika aku berada di kota ini, dan aku sering kali datang secara mendadak dan pulang tak tentu.

“Kamu yakin Ra gak mau nginap di rumah kami?”

“Gak usah Na, udah janji dengan dua pangeran tuh” aku memandang kedua adik sepupuku yang berdiri di depan pintu rumah

“Ya udah, pamit Ra. Assalaamualaikum..”

Rumah ini tak banyak berubah, hanya saja lebih indah dnegan warna cat yang tampak lebih sejuk. Seperti biasanya jika ku datang Haikal harus merelakan kamarnya untukku, karna rumah ini hanya memiliki 3 kamar. Haikal terpaksa menumpang di kamar adiknya Hafidz, tapi adik-adikku tak pernah merasa keberatan dengan perlakuan yang sering merepotkan mereka dan itulah yang menyebabkanku begitu senang datang ke rumah sederhana ini.

“Haikal, mau ambil baju dulu ya kak”

“Mau kemana kal?” ku perhatikan wajahnya yang tersenyum

“Biasalah, anak muda. Hehehe”

“Istirahat aja dulu Ra, paman lagi dinas luar kota. Ibu mau keluar dulu, nanti jangan lupa makan, adik-adik udah pada makan itu” ibu (istri paman) memang selalu memperhatikan ku seperti anaknya

“Ibu mau kemana? Rapi amat”

“Ada arisan ibu-ibu komplek. Ikal… ayo, antarkan mama”

Yang dipanggil keluar dengan cepat dari kamar dengan senyum yang masih tersungging di wajahnya.

“Katanya mau ketemu.. hehehe” aku kembali mengejeknya

“Ishh, gak percayalah. Memang mau ketemulah ni kak. ketemu dosen pembimbing”

Sepeninggal haikal dan ibu, aku merebahkan badan yang serasa hampir putus, sayup-sayup pandangan kian lama kian redup rasa kantuk tak tertahankan kesejukan AC membuat kantuk kian menjadi, benar-benar tak dapat ku tahankan lagi, dan tepat ketika mulai memasuki dunia baru sebuah panggilan membangunkan kantukku. Dengan segera ku jawab, meskipun beum sepenuhnya aku tersadar.

“Ini siapa?”

“Assalaamu’alaikum bidadari puitis…” suara di seberang terdengar riang

“Ohh, maaf. Wa’alaikum salaam. Ini siapa ya?” aku mulai tersadar sambil melihat layar Hp memastikan suara di seberang, namun kontak baru yang tak ku kenali

“Di mana sekarang?”

“Di rumah, kenapa rupanya?”

“Hehehe. Emang ya lu Ra, dari dulu kagak berubah. Gua lagi di Medan ini”

“Iya, Aira juga. Kenapa, ada perlu apa?”

“Ihhhh.. kelewatan elu. Belum tau juga ini suara siapa?”

“Tau, TKW yang baru minggat dari Malaysia kan? Kemana aja Zah? Hehehe”

“Asem lu.. panjang ceritanya. Ahad datang kan? Kita ketemu di sana dan cerita di sana, oke?”

“Gak janji lah ya..”

Hampir 1 jam kami bercerita dan bergurau, Zahra tak banyak berubah. Tawanya tetap renyah dan kalimat-kalimat khasnya masih membekas, cara bicaranya yang terkesan cerewet dan banyak tanya spertinya telah menjadi lebel untuknya, namun Zahra jauh lebih dewasa, dan darinyalah aku mulai mendapat suatu profesi yang baru “dokter shalih”. Sejak kuliah dulu, zahra selalu mengidamkan suami yang berprofesi sebagai dokter, namun yang juga taat pada Allah. Dan dia menyebutnya dengan “Dokter shalih”.

Sewaktu kuliah, aku mempunyai 4 orang teman baik, Amna yang kini telah menikah dan mempunyai seorang putri yang cantik, yang dulunya mengidamkan seorang suami dari suku jawa dan sangat ingin ke Jogja dan alhamdulillah termakbul. Yuni si wanita cantik yang kekanak-kanakan, dan penyayang telah menikah dan sedang menanti kelahiran anak pertamanya. Risa orang yang paling baik karena tidak pernah bisa menolak padahal ingin sekali menolak dan mengatakan tidak, tapi bukan Risa namanya jika hal itu tetap saja dilakukan, kini telah menanti hari bahagianya. Dan karenanyalah aku sampai di kota ini. dan terakhir zahra, yang mengidamkan suami dokter shalih, entah sudah ditemukan atau sedang menantikan, aku tak pernah tau, karna tak ada undangan dan tak ada kabar darinya sejak 2 tahun lalu.

Dan hari ini, entah angin apa dia menelpon. Tapi bukan Zahra namanya jika tidak pernah membuat kehebohan. Pastinya dia telah merancang suatu kehebohan untuk pertemuan kami nanti. Tapi akankah Yuni datang, dengan kondisinya yang tengah hamil 5 bulan. Karena suami Yuni tipe orang yang khawatiran, itu yang ku tangkap dari ceritanya beberapa bulan lalu.

“Nanti, haikal jemput kak jam berapa?”

“Nanti kak kabari ya, ikal hati-hati nyetirnya”

“Aman bos. Masuklah kak, kalo mau pulang jangan lupa bilang ikal ya kak!”

Aku hanya membalas dengan senyuman.

Haikal memang sosok yang sangat unik, sampai saat sekarang ini dimataku dia masihlah Haikal yang kecil dan kekanak-kanakan, terkadang telah bersikap cuek, tiba-tiba merajuk, cemburu, dan kadang buat jengkel tapi juga bersikap dewasa dan manis seperti sekarang ini.

Aku sibuk mencari orang yang ku kenali di runagan ini, namun aku belum juga menemukan. Ketika tengah sibuk mencari, seseorang menarik baju yang kukenakan, dan spontan aku menoleh.

“Aisyah..? uminya mana nak?”

“Itu…” aisyah menunjuk ke arah pintu

“Kita kesana yok..” aisyah hanya mengangguk, dan membiarkan tangannya berada dalam genggamanku

Risa sungguh berbeda hari ini, dia terlihat anggun, dan sangat cantik dengan gaun biru indah yang menutupi auratnya. Risa yang tomboy dan sering ngebut di jalanan kini telah duduk manis dengan senyum yang merekah di hadapan tamu undangan perempuan. Wailimahan (pesta pernikahan) Risa memang mengusung tema Syar’i, jadi tamu pria dan wanita berbeda tempat.

Ada rasa cemburu dan iri melihat Risa yang telah duduk di pelaminan, namun bukankah Allah telah menetapkan siapa dan kapan kita dipertemukan dengan pemilik rusuk yang hilang itu?. Tatkala pikiran dipenuhi hayalan dan bayang-bayang masa depan, seseorang telah duduk di sampingku. Sempat kesal karna menghalangi pandanganku pada Risa, seperti mengerti orang tersebut menoleh kepadaku, dan tanpa sadar ku cubit pipnya yang kian cubby.

“Ishhh, sakit lah”

“Ke mana aja sih? Hilang entah kemana, gak ada kabar lagi”

“Gak enak kan digituin, makanya jangan gituin orang. Hehehe”

“Ehhh, udah. Gak malu klen diliatin Aisyah?” amna menengahi kami

“Hai Aisyah.. masih ingat sama tante Zahra kan?”

“Sok manis lu” aku kembali mengarahkan pandangan ke pintu masuk

“Yuni??? Itu yuni kan?”

Orang yang tak kusangka akan datang, ternyata bisa berada disini. Kehebohan demi kehebohan mulai tercipa, mulai Zahra yang sibuk menertawai dan mengejek Risa, sampai tingkah lucu dari Aisyah yang ternyata sangat ekspresif dan nyatu dengan Zahra.

“Aisyah emang gini ya Na?”

“Baru ini aja, mungkin karena liat kalian kali”

“Elu kan, emang dari dulu penyebar virus”

Zahra tak peduli dengan candaanku, dia kian asyik dengan Aisyah untuk menggoda Risa. Bahkan Aisyah naik ke pelaminan dan minta di gendong atas suruhan Zahra.

“Jadi kapan lagi Ra? Mau nunggu apa lagi?” Amna menatapku tajam

“Apa? Nunggu apa?”

“Jangan pura-pura gak ngerti Ra, Risa udah, aku bentar lagi nimang anak, Amna udah lebih dulu punya Aisyah. Mau nunggu apa lagi?” kini Yuni yang berganti mengintimidasiku

“Halahh, itu dia aja belum, lagian rusuk itu gak pernah salah letaknya. Kalian liatkan Risa. Bagaimanapun dia nolak dan bilang gak dulu, tapi nyatanya tetap juganya sama mantan Ketum”

“Jangan banyak alasan”

“Ihh, ikutan pula lah, emang elu kapan? Mau nunggu dokter shalih lagi?”

“Ngapain nunggu, emang gua mau nikah dua kali apa?” dengan wajah yang menahan senyum, Zahra memalingkan wajahnya

Ternyata bukan hanya aku yang menatap heran padanya, tapi Yuni dan Amna juga. Walhasil kehebohan yang sebenarnya terjadi. Semua sibuk menanyainya, ternyata 1 bulan lalu Zahra baru melangsung akad nikah dan hal itu hanya diberitahukan pada Risa. Sungguh impian itu bukan hanya mimpi, tapi kini menjadi nyata Zahra dilamar oleh seorang dokter shalih yang dulu pernah dikenalnya dalam sebuah training.

Menurut kisah yang diceritakan Zahra akad nikahnya digelar dengan sederhana, karena pada mulanya ayahandanya kurang menyetujui sebab Zahra akan tinggal jauh dari kampungnya, selain itu ayahandanya memang menginginkan Zahra untuk menyelesaikan pendidikan S2 nya sebelum menikah. Namun, pada akhirnya batu yang keras itu mencair bagaikan tumpukan es yang disinari kehangatan mentari.

“Jadi sekarang tinggal kamu Ra? Mau ngunggu apa lagi?” semua mata mereka tertuju padaku, tak terkecuali Risa yang mengantarkan kepulangan kami

“Nunggu undangan dari Zahra. Hehehe”

“Nah, betul itu. Masa gak ada undangan atau jamuan makan? Yuni terpancing dengan omonganku

“Ummi.. kita pulang sekarang?” seorang pria dengan perawakan tinggi manghampiri kami

“Iya bi, tunggu bentar ya, jangan pulang dulu” Zahra tersenyum pada kami dan mendekat pada suaminya. Namun tak lama datang menghampiri kami, kali ini Zahra tidak sendirian, namun didampingi suaminya.

“Nah, ini untuk kalian, jangan rebutan ya. masing-masing dapat satu” zahra kembali tersenyum tanpa melepaskan gandengan suaminya

Dokter shalih kini bukan hanya sekadar bayang-bayang semu dan cerita hayalan bagi Zahra namun, Dokter shalih itu telah ada dan nyata untuknya. Jika dulu dokter shalih hanya gurauan semata, sekarang ini dokter shallih menjadi dokter idaman semua wanita. Zahra telah bahagia dengan dokternya, dan Amna bahagia dengan keluarga kecilnya yang dilengkapi Aisyah, dan Yuni bahagia dengan penantian menanti kelahiran anak pertama, sedangkan Risa bahagia menyongsong hidup baru bersama suami tercinta, dan aku masih bahagia dalam penantian menjemput janji ilahi.

Walimatul ‘ursy Zahra dilangsungkan beberapa hari berselang beberapa hari dari Risa, kami kembali dipertemukan dengan suasana yang lebih bahagia, dan insya allah akan semakin bahagia di hari-hari yang mendatang.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Anak ke 5 dari 5 saudara, mempunyai 3 kakak laki-laki dan 1 kakak perempuan. Sekarang sedang berkuliah di salah satu universitas swasta di Medan, dalam bidang psikologi. Bercita-cita bisa menjadi penulis yang sekaligus menjadi seorang psikolog.

Lihat Juga

Ilmuan Muslim yang Terlupakan

Figure
Organization