Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Di Bawah Titisan Air Hujan

Di Bawah Titisan Air Hujan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Heriyanto)
Ilustrasi. (Heriyanto)

dakwatuna.com – Selama dua hari berturut-turut kampung di Ciherang diguyur hujan tanpa jeda, mulai dari malam hingga malam lagi, begitulah kondisinya selama dua hari berturut-turut, keadaan ini sering kali membuat guru-guru di daerah pengabdianku tidak masuk sekolah, karena jarak dari rumah ke sekolahpun cukup jauh, di samping itu kondisi jalan yang sangat licin dan hancur ketika musim hujan, membuat pelajalan kaki dan pengendara roda dua agak kesulitan, tapi bagiku masalah guru jarang masuk sudah menjadi hal biasa di tempat ini, sehingga setiap hari aku selalu menyiapkan teknik dan langkah pembelajaran yang tepat untuk mewanti-wanti guru yang tidak masuk, di luar Rencana Pembelajaran yang wajib aku buat setiap hari. Untuk teknik ini aku menyebutnya dengan Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR).

Pagi itu tepatnya di hari sabtu, hujan masih terus mengguyur perkampungan dengan sangat deras, sementara waktu sudah menunjukkan pukul 07.20, sambil menunggu hujan reda aku duduk di depan rumah sambil memperhatikan anak-anak yang pergi ke sekolah di bawah guyuran hujan yang sagat deras, berharap hujan segera redah dan aku bisa segera berangkat, setelah beberapa menit aku duduk, nampaknya hujan tidak kunjung reda juga waktu hampir menunjukkan pukul 07.30, segera kuambil payung yang tersimpan rapi di bawah tempat tidur dan menerobos hujan yang sejak tadi subuh tidak kunjung reda, ketika tiba di sekolah suasana kantor masih terlihat sepi, pintu masih tertutup rapat , anak-anak masih riuh di luar sambil menikmati titisan air hujan, kuhampiri kelas satu persatu dan mengecek kondisi ruang belajar, nampaknya semua ruangan basah karena atapnya bocor terutama kelas 1, 2, 3 dan 4. Melihat kondisi ini aku menarik nafas panjang dan menghembusnya perlahan-lahan.

Aku kembali diperlihatkan dengan kondisi yang pernah aku saksikan tiga bulan yang lalu saat pertama kali aku mengajar di sekolah ini, ruang kelas penuh dengan lumpur karena air hujan masuk melalui dinding-dinding ruangan kelas yang robek di bagian belakang, karena dinding bagian belakang hanya terbuat dari bambu ditambah lagi atap yang bocor sehingga ruang kelas terlihat basah dan tidak bisa digunakan, apalagi dipakai untuk belajar, bagi murid-muridku keadaan ini sudah menjadi hal yang biasa setiap kali musim hujan turun, aku menyaksikan dengan sabarnya murid-muridku membersihkan lumpur di dalam kelas mereka dan mengelap sisa-sisa air di atas bangku belajar mereka.

Hingga jam 08.00 tidak seorang pun guru yang datang, hanya aku sendiri yang menemani anak-anak belajar hingga mereka pulang, bersyukur malamnya aku sudah menyiapkan teknik untuk menghadapi masalah yang sudah sangat sering terjadi, yang aku sebut dengan Pelajaran Kelas Rangkap (PKR), kali ini aku tidak menceritakan tentang bagaimana pembelajaran kelas rangkap, tapi aku akan menceritakan pengalamanku hari ini.

Setetelah semua siswa dikondisikan, pembelajaran kelas rangkap dimulai, saat itu aku memulai dengan mengajar kelas 1 dan 2, kebiasaan anak-anak kelas satu dan dua setiap kali melihatku melintas di depan kelas mereka walaupun hanya sekedar lewat saja mereka langsung duduk siap berharap aku masuk di kelasnya, tapi hari itu aku benar-benar akan masuk, kerena guru kelasnya sedang berhalangan, saat aku masuk dan mengucapkan salam terlihat aura keceriaan, di balik mata mereka yang berbinar dengan senyum setengah malu aku melihat harapan-harapan baru yang akan mengantarkan mereka kepada sebuah kesuksesan kelak. Kebiasaanku sebelum aku memulai pembelajaran di kelas ini satu persatu siswa aku tatap dengan senyuman hal ini sering mengundang rasa haru yang mendalam, sambil menatap mereka dalam hatiku berkata “Nak semoga kalian menjadi orang-orang besar nanti”, kemudian baru kulanjutkan dengan mengajak mereka berdoa dan bermain untuk memberikan motivasi.

Hari itu, aku mengetes kemampuan membaca mereka dengan menggunakan teks bacaan yang sudah aku siapkan, baik kelas 1 maupun kelas 2. namun cara memperlakukannya berbeda-beda, saat kegiatan akan dimulai mereka sangat senang terutama siswa yang sudah memiliki kemampuan membaca yang cukup bagus, aku mengawali dengan kelas dua, sementara kelas satu aku bagikan kartu abjad yang nantinya akan aku gunakan untuk bermain game, untuk itu siswa kelas 1 mempelajari dulu abjad yang telah aku bagikan, sementara kelas dua sudah tidak sabar untuk segera mendapat giliran, sehingga terlihat sedikit ribut, tapi tenang saja karena aku memiliki senjata andalan bagaimana menenangkan mereka, cukup dengan tepuk 1,2,3, seketika mereka langsung hening.

Satu persatu siswa kelas dua aku suruh maju, sementara siswa yang lainnya berebutan mengambil posisi paling depan, agar tidak bererebutan aku suruh mereka berbaris sesuai dengan no urut absen, saat asyik—asyiknya kegiatan berlangsung air hujan kembali mengguyur dengan sangat deras, sehingga titisan air hujan yang masuk melalui atap yang bocor semakin deras, salah seorang anak nyeletus “Pak Heri basah…” sambil datang menghadap, aku sambut dengan senyum dan mengajak siswa berkumpul di bagian yang tidak bocor.

Walaupun kami belajar di bawah titisan air hujan dan semua bangku basah dan tidak bisa digunakan lagi tapi anak-anak tetap semangat untuk belajar, bahkan tak jarang mereka bisa merasakan duduk nyaman di kelas lebih-lebih jika musim hujan tiba seperti sekarang ini, selama mereka duduk di bangku kelas 1 dan 2 mereka tidak akan pernah merasakan duduk nyaman di kursi sebagaimana siswa di sekolah-sekolah lain pada umumnya, tak banyak yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa berdoa semoga sekolah yang kini menjadi tempat kumengabdi segera mendapatkan bantuan dan diperhatikan pemerintah, aku berusaha mengajarkan mereka dengan segenap kemampuanku, jarang mereka pulang lebih awal jika aku masuk di kelasnya, aku biasanya membuat jam tambahan setelah pulang sekolah, yang mau ikut belajar aku layani mereka dengan sepenuh hati dan yang ingin pulang aku biarkan mereka untuk pulang. Di samping itu setiap hari senin, selasa dan rabu telah aku buatkan jadwal belajar terutama untuk siswa yang belum bisa membaca sama sekali, aku berharap selama satu tahun berada di tempat ini minimal mereka bisa membaca.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Relawan Pendidikan, Sekolah Guru Indonesia-Dompet Dhuafa (SGI-DD).

Lihat Juga

Konflik Air Antara Ethiopia, Sudan, dan Mesir

Figure
Organization