Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Menembus Takdir Kemenangan

Menembus Takdir Kemenangan

Ilustrasi. (aspacpalestine.com)
Ilustrasi. (aspacpalestine.com)

Dalam sirah Nabi Muhammad –shallalLâhu ‘alaihi wa sallam– ada sebuah periode yang dikenal dengan sebutan “âm al-huzn” (tahun kesedihan). Di tahun tersebut dua penopang dakwah utama beliau meninggal dunia. Khadijah, istri yang setia dan telah memberikan segalanya untuk mendukung dakwahnya dengan penuh totalitas. Paman beliau –yang meskipun tidak beriman pada risalahnya-, Abu Thalib, tetap memberikan dukungan melebihi dari sekedar melindungi seorang keponakan. Demikian halnya saat beliau mencari suaka ke sebuah kabilah yang dikenal ringan membela sang mazhlum dan memerangi kezhaliman, Bani Tsaqif di Tha’if. Nyatanya bukan suaka dan pembelaan yang didapat, melainkan sambitan batu dan kata-kata kasar penuh ejekan dan pelecehan.

Kesedihan Rasulullah –shallalLâhu ‘alaihi wa sallam– terkumpul dalam doa kepasrahannya. Ia keluhkan kepada Dzat yang mengutusnya. Ia sandarkan segala tidakberdayaannya. Ia letakkan segala lemahnya. Kepada Dzat yang Maha Kuat dan selalu tahu cara menolong hamba-Nya.

Kesedihan yang manusiawi, karenanya pada tahun tersebut dikenal sebagai tahun kesedihan. Namun, tak sekalipun sejarah mencatat di tahun tersebut juga di tahun-tahun lainnya ada sebuah periode yang disebut dengan tahun ketakutan “âm al-khauf”. Karena seorang mukmin yang juga manusiawi mungkin sedih terhadap musibah yang dijumpainya, suatu harapan yang tak sesuai dengan realita. Tetapi hal tersebut tak menjadikannya takut. Karena seorang mukmin hanya takut kepada murka Allah. Murka yang tiada seorang pun sanggup menanggungnya dan mampu bertahan di dalamnya.

Maka, untuk menguatkan mental pada saat sedih dan dilanda musibah yang mengguncang jiwa, Allah mengingatkan Nabi Muhammad dan umatnya, “Janganlah kamu bersedih oleh perkataan mereka. Sesungguhnya izzah itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yunus [10]: 65)

Dicurigai dan diintimidasi, terstigma negatif dengan berbagai hal yang buruk bisa jadi menyebabkan kesedihan yang mengguncang jiwa. Tapi, Allah tak memberi ruang bagi rasa takut dalam diri hamba-Nya yang beriman. Jika seseorang merasa takut karena hal tersebut maka sesungguhnya ia memiliki masalah pada keimanan dan keyakinannya. Lihatlah orang-orang sebelum kita saat mereka diteror, “orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”.” (QS. Ali Imran [3]: 173).

Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah bukti kekuasaan Allah yang merekayasa perpindahan dari sebuah periode kesedihan, kesempitan hidup, kelemahan, ketidakberdayaan, terzhalimi; menuju sebuah periode baru. Kekuatan, kesejahteraan, kemapanan, mengayomi dan membangun peradaban. Maka Allah kuatkan mental Nabi-Nya dengan sebuah perjalanan penuh keberkahan. Dari sebuah orbit keberkahan (Masjid al-Haram) menuju orbit keberkahan lainnya (Masjid al-Aqsha), sebelum menaiki periode baru menerima titah kemenangan dari suatu tempat yang tidak diketahui di atas sidratil muntahâ.

Berikut analisis sederhana dari sebuah perjalanan penting di atas yang terdapat di permulaan surat al-Isra’:

1.       Allah transitkan beliau ke Masjid al-Aqsha, padahal Allah sanggup memperjalankan beliau langsung ke sidratil muntaha.

Penyebutan lafazh Masjid al-Aqsha mengindikasikan perhatian Allah pada masjid ini. Masjid yang dirintis oleh Adam dan kemudian dibangun oleh Ibrahim ini adalah amanah yang harus terus dijaga. Tempat suci tersebut harus dipelihara dari segala bentuk penistaan dan kezhaliman. Amanah yang diberikan kepada beliau untuk diteruskan kepada umatnya.

2.       Allah tegaskan misi menebar keberkahan dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha serta ke berbagai tempat lainnya. Lafazh “الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ” mengindikasikan banyak hal. Pertama, makna keberkahan yang non fisik. Karena kesuburan, buah-buahan dan keberkahan materi juga ditemui di lain tempat. Maka selain keberkahan materi dan fisik berarti ada keberkahan non fisik yang Allah maksudkan. Sebagaimana saat kita memohon doa keberkahan saat sebelum makan, agar supaya suapan yang masuk ke dalam mulut kita tak hanya sekedar dinikmati lidah dan kemudian mengenyangkan perut, tetapi menghasilkan keberkahan yang akan menjadi energi kebaikan bagi seorang mukmin. Kedua, di beberapa ayat lain keberkahan disebut dengan redaksi (الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا) – [QS. Al-A’raf: 137], [QS. Al-Anbiya’: 71, 81], [QS. Saba’: 18] – yang mengindikasikan keberkahan “di dalamnya”. Dalam kisah, Luth, Dawud dan Sulaiman di empat tempat tersebut membawa misi keberkahan saat mereka berkuasa dan memimpin kaumnya memakmurkan negeri tersebut diasaskan pada titah dan risalah tauhid Allah. Maka makna “حَوْلَهُ” yang berarti di sekitarnya, Allah menghendaki Nabi Muhammad –shallalLâhu ‘alaihi wa sallam– untuk mengemban masuknya misi keberkahan di dalamnya. Ini untuk menghibur beliau yang saat itu sedih bahwa tempat ini sebagaimana dulu pernah dipimpin nabi-nabinya dan membawa keberkahan, maka beliau pun punya misi sama dan kelak akan terwujud. Sekaligus sebagai nubuat bagi umatnya yang kelak akan menaklukkan tempat ini. Meski saat itu dikuasasi oleh kekuatan adidaya di zamannya, Romawi dan Persia secara bergantian.

3.       Allah lakukan misi ini pada waktu malam, waktu yang dimuliakan Allah dari waktu-waktu lainnya. Di waktu malam, Allah turunkan al-Quran. Di malam hari, Allah “turun” ke langit di sepertiga malam terakhir untuk mengabulkan setiap permohonan orang-orang yang tak didengar manusia, yang terzhalimi, yang bertaubat dari segala khilaf dan salahnya, yang memerlukan bantuan dan pertolongan serta semua hajat manusia.

Agar di waktu malamlah seharusnya kita menapak jalan kemenangan yang Allah bentangkan. Dengan bermunajat di waktu malam, berarti seorang mukmin mengikuti perjalanan mi’raj Rasulullah –shallalLâhu ‘alaihi wa sallam– menembus langit dan sidratil muntaha, menjemput kemenangan dan kemuliaan. “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’ [17]: 79)

Malam yang disebut lebih mengesankan pembekalan internal lebih banyak dari hiruk pikuk pemberitaan. Malam yang hening lebih mengedepankan silent operation, dalam setiap langkah pemenangan. Agar sandaran kepada Allah melebihi segala sandaran materi, manusia dan berbagai hal yang kasat mata yang sering diandalkan oleh musuh-musuh Islam.

Kemenangan yang dihadiahkan Allah di perang Badar dan peperangan-peperangan berikutnya, merupakan proses panjang yang direkayasa Allah dalam takdir-Nya. Agar umat Islam sadar bahwa Allah-lah Sang Penguasa tunggal yang sanggup berbuat apa saja. Agar umat Islam sadar bahwa sebelumnya terdapat periode penuh jihad yang berat selama tiga belas tahun lamanya. Sebagaimana supaya umat Islam pun tak terlena saat mereka mendapatkan kemenangan pada saat Fathu Makkah. Maka di saat ada sedikit disorientasi pada perjuangan dan sedikit salah persepsi tentang makna materi, Allah menegur keras pada perang Hunain yang jumlah umat Islam tiga kali lipat menghadapi Ghatafan dan Tsaqif. Namun, mereka nyaris kalah dan tercerai berai. Allah kembalikan kemenangan untuk mereka setelah kembalinya orientasi dengan benar.

Dengan peringatan Isra’ dan Mi’raj ini umat Islam sudah seharusnya segera bangkit dari tahun-tahun kesedihan dan mengikis semua bentuk ketakutan. Saatnya sesering mungkin mengakrabi malam-malam untuk menembus takdir kemenangan dan meraih kemuliaan yang Allah janjikan. Saatnya menapak jalan mi’raj Nabi Muhammad –shallalLâhu ‘alaihi wa sallam– dengan sesering mungkin menengadahkan harapan ke langit-Nya.

Di saat semua keluh tersendat…

Di saat semua sedih membuat nyeri…

Di saat malam makin pekat…

Di saat kezhaliman makin merajalela…

Di saat orang-orang yang membela dinistakan…

Di saat para pembenci dan pendengki berkumpul…

Ketahuila,h bahwa Allah hanya menghendaki saatnya kita bersimpuh mengetuk segala kebesaran-Nya untuk memurnakan janji-Nya, sirnakan kezhaliman dan turunkan kemenangan untuk umat Nabi-Nya.

Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

 

Redaktur: Muh. Syarief

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumni Program S3 Jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Quran, Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir. Ketua PPMI Mesir, 2002-2003. Wakil Ketua Komisi Seni Budaya Islam MUI Pusat (2011-Sekarang). Ketua Asia Pacific Community for Palestine, di Jakarta (2011-Sekarang). Dosen Sekolah Tinggi I�dad Muallimin An-Nuaimy, Jakarta (2011-Sekarang), Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) (2013-Sekarang), Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta (2011-2013)

Lihat Juga

Opick: Jangan Berhenti Bantu Rakyat Palestina!

Figure
Organization