Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Berbagai Jiwa Dalam Satu Tubuh, Itulah Penulis

Berbagai Jiwa Dalam Satu Tubuh, Itulah Penulis

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

Abstrak

dakwatuna.com – Sejak usia dini kita sudah diraba dengan membaca dan menulis, dua pekerjaan yang tidak bisa dipisahkan ibarat kedua sisi logam. Betapa pentingnya membaca, hingga wahyu Allah yang pertama turun di muka bumi ini adalah tentang membaca. Sudah sepatutnya sebagai seorang mahasiswa menjadikan membaca adalah sebagai suatu kebutuhan bukan kewajiban. Tetapi masih banyak mahasiswa yang sering menyepelekan akan pentingnya membaca dan menulis, padahal seorang penulis bukanlah dilahirkan tetapi mereka dibentuk oleh berbagai kolaborasi bacaan yang mereka lahap setiap waktu. Niat, tekad keras dan etos sangat diperlukan oleh seorang calon penulis, hanya seorang pecundanglah yang cengeng dan mudah patah arang karena hasil tulisannya ditolak oleh media massa. Teruslah bangkit penulis muda! Teruslah berkarya! Apapun yang terjadi dalam episode menulismu, yakinlah Allah akan memberikan hasil yang terbaik untumu.

 

Setiap hal pasti memiliki permulaan, begitu juga dengan menulis yang mana harus distimulasi dahulu dengan sering membaca. Let’s begin!, di abad ke-21 ini tak ada satupun pekerjaan yang membuang peranan membaca dan menulis. Dari tingkat penjual jamu hingga pejabatpun tak akan lepas dari pekerjaan satu ini. Seorang penjual jamu mungkin harus menuliskan bahan-bahan ramuan jamunya agar tidak salah dalam proses pembuatan sehingga didapatkan jamu yang berkhasiat tinggi. Bisa dibayangkan betapa pentingnya membaca dan menulis, di atas merupakan contoh sepele dari seorang tukang jamu yang masih butuh gendongan dari membaca dan menulis. Apalagi kita sebagai seorang mahasiswa, sang pelajar yang memiliki predikat level tertinggi dari segenap pelajar.

Ketika kita pertama kali menancapkan langkah di dunia pendidikan, pasti menu pembuka yang diberikan oleh Bu Guru adalah bagaimana cara membaca dan menulis yang baik dan benar. Ketika itu saya dituntut untuk bisa membaca. Walaupun terbatah-batah dalam membaca sebuah kata atau kalimat tapi lidah ini terus berucap apa yang tertulis pada bacaan, dan terkadang saya merasa capek dan kesal karena sering salahnya dari pada benar, mendingan main saja pikir saya saat itu. Tapi semua itu terbalaskan dengan berbagai macam apresiasi dan senyum sang malaikat yang melahirkan kita ke dunia (ibu). Masih teringat dalam pikiran ini pertama kalinya saya mengenal apa itu alfabet dan angka, tak terlalu sulit bagi seorang anak berusia dini untuk mengingat sesuatu, termasuk 26 macam alfabet yang kemudian dirangkai menjadi berbagai kata hingga tersusun menjadi sebuah kalimat apik. Saat seperti inilah peran kedua orang tua si kecil sangat diperlukan demi meningkatnya kemampuan sang buah hati dalam membaca dan menulis. Masih teringat dahulu ketika umur saya masih sekitar 5 tahun, seusai maghrib pasti ibu mengajari saya menulis berbagai huruf dengan berbagai macam cara. Dari memegang tangan saya dan menuntunnya hingga terbentuk sebongkah huruf, begitu indah bisa menciptakan kolaborasi goresan seorang anak dan ibu dari sebuah titik ke garis dan akhirnya berujung menjadi sebuah huruf yang siap diolah menjadi rentetan kata hingga kalimat.

Membaca merupakan cara terbaik dalam belajar, karena dengan membaca kita akan bisa membuka berbagai gerbang ilmu dari Sang Maha Memiliki Ilmu. Bukankah lima ayat pertama yang diturunkan oleh Allah ke dunia ini adalah tentang kewajiban untuk membaca?

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Maha Pemurah. Dia mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.”(QS.Al-Alaq [96]: 1-5)

Membaca bukan hanya membaca Alquran saja, namun lebih dari itu. Kita berkewajiban untuk ‘membaca’ alam semesta, ‘membaca’ tentang proses kehidupan manusia, ‘membaca’ khazanah ilmu pengetahuan, dan ‘membaca’ berbagai hal lainnya. Membaca adalah kunci untuk membuka cakrawala segala ilmu pengetahuan Sang Maha Pencipta. Sudah pernah membuktikan pentingnya membaca?, Walaupun dengan membaca mungkin hanya menyisakan sekitar 15-20% dalam otak ini tetapi setidaknya ada hal yang kita tahu tentang ilmu tersebut dari pada tidak sama sekali. Alangkah lebih baiknya jika kita dapat konsisten dalam membaca, ini sangat terasa pada jiwa seorang mahasiswa yang sangat memerlukan berbagai campuran ilmu dan pengetahuan demi tercapainya suatu pemahaman studi yang luar biasa.

Hanya karena membaca sebuah kisah tentang pengalaman BJ.Habibie di luar negeri, saya bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan teman saya mengenai mata kuliah civic education. Sederhana bukan?, Suatu hal yang kita anggap berat akan terasa ringan ketika kita banyak membaca. Karena saat kita membaca secara tidak langsung ada beberapa data yang tersimpan dalam harddisk otak ini. Kemudian ketika kita sedang membutuhkan, itu menjadi keuntungan tersendiri yang mungkin jarang orang sekitar kita mengetahui ilmu tersebut. Di sini seorang pembaca memiliki poin tambahan dibandingkan mereka yang tidak pernah membaca. Betapa bermanfaatnya membaca, semakin sering kita membaca maka semakin banyak pula ilmu dan pengetahuan yang bisa kita keruk di dunia ini.

Sudah menjadi makanan wajib seorang mahasiswa dalam menyelesaikan makalah, esai, laporan praktikum, dan sebagainya. Berbagai tugas tersebut tak akan lepas dari peran menulis. Kemampuan mahasiswa dalam menyampaikan ide atau pemikiran dalam tulisan haruslah mudah untuk dimengerti oleh pembaca agar tidak terjadi salah pengertian, jadi seorang mahasiswa tidak hanya dituntut untuk dapat menyampaikan pendapat secara oral, namun harus diimbangi dengan kemampuan menulis. Sadar tidak sadar, terkadang ada beberapa mahasiswa yang masih menyepelekan pentingnya menulis. Suatu ketika saya pernah mendengar keluhan teman “ aduh aku nggak bisa nulis latar belakang nih, kamu aja deh” dan keluhan seperti itu bukan hanya sekali atau dua kali namun lebih dari itu dan dari teman yang berbeda. Saya terkadang heran jika menemukan mental mahasiswa yang seperti itu, karena pasti saat mereka membuat skripsi mau tidak mau seorang mahasiswa dituntut untuk dapat menulis apa yang ada dalam pikirannya secara baik dan dapat dimengerti. Pada intinya, berlatilah menulis mulai saat ini sebelum kita (mahasiswa) dihadapkan dengan tugas akhir kuliah yang menuntut kita untuk dapat mencurahkan berbagai ide dan pemikiran kita yang segar ke dalam suatu tulisan dengan baik dan benar.

Sungguh risau melihat keadaan mahasiswa saat ini, yang kurang akan minat baca- tulis. Belum lagi kecilnya wadah bagi seorang mahasiswa dalam menyalurkan keahlian menulisnya. Begitu juga dengan kurangnya pemanfaatan perpustakaan di kampus yang tidak digunakan secara optimal oleh kalangan mahasiswa. Oleh karena itu, tidak salah jika ada penelitian yang menunjukan bahwa masyarakat Indonesia belum mempunyai budaya membaca apalagi menulis. Kita bisa melihat dari survei UNDP 2013 yang menyatakan, Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2012 menduduki peringka ke 121 dari 187 negara dengan skor 0,629. Sementara untuk ASEAN IPM Indonesia masih dibawah Malaysia, yang menempati peringkat 64 dengan skor 0,769, Singapura 18 (0,895), Thailand 103 (0,690), dan Brunei Darussalam di posisi 30 (0,855) (Sindonews.com, 18/9/2013)

Ibarat tubuh manusia, dia butuh makan dan mengeluarkan sisa makanan tersebut. Begitu pula dengan seorang penulis, ada kalanya dia perlu membaca berbagai tulisan agar hasil tulisan yang didapat tersebut memiliki ruh tersendiri di jiwa seorang pembaca. Ketika kita dapat menghatamkan sebuah buku, maka sebuah paragraf yang indah akan lahir dari diri seorang penulis. Jadi bisa dibayangkan, berapa banyak buku atau suatu tulisan yang harus dibaca oleh seorang penulis handal?, Semakin sering kita membaca maka akan semakin banyak pula kosakata baru yang bisa kita dapatkan sehingga tulisan yang kita ciptakan akan dapat memikat hati seorang pembaca.

Ketika kita membaca berbagai macam buku, semisal kita membaca tentang geografis Indonesia, patofisiologi suatu penyakit, ilmu gizi, dan kita ingin mengkolaborasiakan berbagai ilmu tersebut dalam suatu tulisan. Hingga pada akhirnya terciptalah sebuah tulisan mengenai penyakit yang sering terjadi pada beberapa wilayah di Indonesia yang juga dikaitkan dengan asupan gizi apa saja yang kurang atau berlebihan sehingga dapat menyebabkan terjadinya penyakit tersebut. Sadar tidak sadar seorang penulis tingkat kakap selalu rajin membaca berbagi ilmu yang seharusnya bukan pada bidang mereka. Sehingga dapat tercipta sebuah tulisan yang kaya akan ilmu pengetahuan dan informasi terbaru di dunia ini. Kita harus menguasai ilmu pengetahuan karena apapun yang kita lakukan, semuanya harus dengan ilmu. Tanpa ilmu kita tidak dapat mengerti tentang arti, sehingga tidak dapat memberikan manfaat bagi diri dan juga masyarakat.

“Penulis bukan dilahirkan tapi dibentuk”, menjadi seorang penulis tak memerlukan banyak syarat, cukup dengan banyak membaca dan terus berusaha keras dalam menulis hingga pada akhirnya akan terbentuk satu tulisan yang akan memikat hati para pembaca. Kuncinya disini adalah penulis harus suka membaca, karena dengan membaca akan memudahkan anda dalam menggapai impian menjadi penulis hebat. Selain membaca, seorang penulis juga harus memiliki jiwa pantang menyerah. Sudah banyak pengalaman para penulis yang menceritakan bahwa dulu artikel mereka juga sempat ditolak beberapa kali oleh para redaktur koran, tapi hal seperti ini tidak menjadi hambatan mereka untuk menjadi seorang penulis mutakhir.

Terkadang semangat menulis seseorang pasang surut, maka diperlukan lingkungan dan situasi hati yang mendukung. Interaksi antar penulis diyakini merupakan suatu langkah yang manjur bagi seorang penulis pemula seperti saya selain itu agar jiwa menulis seseorang tidak tiba-tiba mandul. Karena sering kita temukan para kader penulis yang loyo di tengah jalan dan penyebabnya dikarenakan tulisan mereka belum bisa tembus dalam media massa selain itu ada juga yang sudah merasa puas dengan hasil tulisannya. Tidak tembusnya artikel atau hasil tulisan kita dalam media massa bukanlah akhir dari segalanya. Saat seperti itulah kebanyakan calon penulis berguguran di tengah medan perang, saya yakin kita bukannlah mental para pecundang yang seperti itu. Teruslah berbakti berkarya dan berarti demi majunya bangsa Indonesia.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswi Jurusan Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota FLP cabang Ciputat, Alumni MBI Amanatul Ummah Pacet-Mojokerto, Alumni MI, Mts Perguruan Mu�allimat Cukir-Jombang.

Lihat Juga

Belajar Membersihkan Hati

Figure
Organization