Topic
Home / Narasi Islam / Life Skill / Melawan Risiko

Melawan Risiko

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (wallpaperpanda.com)
Ilustrasi. (wallpaperpanda.com)

dakwatuna.com – Untuk menjadi yang lebih baik, kita harus melakukan sesuatu yang baik. Hanya saja, ada rasa enggan atau takut, lantaran risiko-risiko yang harus diterima. Memang, melakukan kebaikan itu ada risikonya. Dapat kita analogikan, cahaya yang menerangi pohon dari sisi kanan, maka di sisi kiri akan tercipta bayangan. Jika cahaya kita ibaratkan kebaikan, maka risikonya adalah bayangan. Sama halnya dengan murid yang jujur dan cuek ketika ujian. Pasti ada komentar dan dibenci teman.

Tak perlu takut dengan risiko. Karena hidup itu memang berisiko. Shalat risikonya riya’. Belajar risikonya lupa. Olahraga risikonya capek. Minum obat risikonya pahit. Masak risikonya bau sangit. Memanjat pohon risikonya jatuh. Berkendara risikonya kecelakaan. Laptopan risikonya merusak mata. Jujur risikonya dibenci teman. Lantas, apakah ada kebaikan yang tidak berisiko? Tidak ada. Semua ada risikonya.

Meskipun demikian, bukan berarti kita tidak harus melakukan kebaikan, tapi hanya berdiam diri saja. Orang yang sukses itu berada di sekililing risiko. Berpindah dari tempat yang aman menuju tempat yang berisiko untuk menjadi yang lebih sukses. Mungkin, ketika menjadi karyawan gajinya tetap dan penuh kepastian. Tapi ketika keluar dan mendirikan perusahaannya sendiri, berapa banyak risiko yang akan dihadapi. Sangat banyak. Mungkin, tidak laku, tidak dipercaya orang, dan akhirnya bangkrut. Tapi jika berhasil dalam menjalankan usahanya, pastinya dia menjadi orang yang sukses.

Nah, di balik risiko, pasti ada kenikmatan atau kebaikan yang kita dapat. Asalkan kita mau berusaha terus menerus. Belajar memang risikonya lupa. Maka kita harus senantiasa untuk menutupi lupa. Shalat memang risikonya riya’. Bukan berarti kita harus berhenti shalat. Tapi kita berhentikan adalah sifat riya’nya. Fokus pada Allah. Memanjat memang risikonya jatuh. Tapi bukan berarti kita berhenti memanjat. Tapi yang kita lakukan adalah hati-hati agar tidak jatuh.

Karena risiko, kita boleh ragu. Tetap fokus dengan apa yang dilakukan. Seorang pemberani, tidak akan takut dengan risiko. Dia malah menantangnya dan hidup bersamanya. Hingga pada akhirnya dia menjadi seorang pemenang. Seorang pengecut saja yang tidak mau menghadapi risiko. Akibatnya, hidupnya begitu-begitu saja. Tidak ada yang berubah. Tapi tambah parah. Akhirnya, dia menjadi orang yang kalah.

Berada dalam keadaan yang aman, memang terasa nyaman. Tidak perlu meningkatkan keadaan. Hanya perlu diam dan menikmati keadan. Tapi lama-kelamaan akan menghancurkan. Karena waktu terus berjalan, dan semua orang akan berjalan melewati kita sambil menginjak-injak. Kalau kita hanya duduk diam, maka hancurlah diri kita. Makanya kita harus terus maju. Berjalan ke depan. Dan senantiasa meningkatkan diri kita. Meskipun, kita harus berhadapan dengan berbagai macam rintangan. Hal itu agaknya lebih lumayan, karena telah berjuang. Dari pada yang hanya duduk diam. Orang yang ikut lomba, belum tentu menang, bisa saja kalah. Tapi orang tidak berani ikut lomba, mustahil bisa menjadi juara.

Untuk meningkatkan kualitas diri, tentu saja dengan ibadah dan akhlakul karimah. Seperti rajin shalat, sedekah, tolong menolong, jujur, dapat dipercaya, ramah dengan tetangga, dan lain sebagainya. Tanpa keduanya, tidak mungkin kualitas diri kita lebih meningkat. Rasulullah pernah bersabda: “tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan amalan seorang mukmin di hari kiamat dari pada akhlak yang baik. Dan sesungguhnya, Allah membenci orang yang keci lagi kotor.” (HR. At-Tirmidzi, dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits shahih).

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Haniah: Perlawanan Merupakan Jalan Pintas untuk Membebaskan Al-Quds

Figure
Organization