Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Pemuda, Pembangun Peradaban

Pemuda, Pembangun Peradaban

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com –  Apa yang terlintas dalam benak dan terpikir dalam pikiran kita ketika disebut kata remaja dan pemuda? Mungkin banyak di antara kita yang berpikir bahwa remaja dan pemuda adalah masa-masa labil dan bergejolak, masanya mencari jati diri. Benarkah demikian?

Celakanya, kita, orang dewasa, membenarkan hal itu tanpa mengkajinya lebih mendalam, sehingga kita memaklumi jika remaja dan pemuda melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Kita mentolerir jika remaja dan pemuda ibadahnya tidak bagus dan akhlaknya tidak baik.

Salah satu faktor yang menyebabkan kita bersikap seperti itu bisa jadi karena teori yang kita jadikan rujukan. Kita banyak merujuk teori-teori dari Psikologi Barat tanpa membandingkannnya dengan teori dalam Psikologi Islam, bahkan lebih tegas lagi dengan Alquran dan Hadis. Data dari Barat memang menunjukkan hal itu bahwa remaja dan pemuda di Barat memang kacau; hedonis dan permisif. Hidupnya banyak hura-hura dan aktivitas yang tidak bermanfaat. Orang-orang Barat mentolerirnya sebagai masa pencarian jati diri.

Pertanyaannya adalah apakah kita mau ikut-ikutan pola pikir mereka? Konyol sekali menurut saya. Akankah kita menjadikan anak-anak dan murid-murid kita hari ini menjadi korban pendidikan ala Barat? Saya tidak menafikan ada hal-hal positif dari Barat. Tetapi, poin yang ingin saya sampaikan adalah mari kita memfilternya dengan pedoman hidup kita, Alquran dan Hadis. Jangan menelan mentah-mentah teori dari Barat dan dianggap sebagai aksioma. Jika baik, kita ambil. Namun, jika buruk, tentu saja tinggalkan.

Kita sudah sama-sama mengetahui bahwa pemuda memiliki peran strategis bagi kelangsungan sebuah peradaban. Karena itulah, Yahudi dan Barat berusaha menghancurkan peradaban Islam dengan menghancurkan pemudanya. Mereka masuk lewat konsep-konsep pendidikan dan psikologi agar kita mengekor teori mereka. Mereka rusak pemuda Islam dengan gaya hidup hedonis dan pola pikir permisif.

Kita pun sama-sama memahami bahwa masa muda adalah masa yang (semestinya) paling produktif. Karena, tenaga sedang prima-primanya, pikiran sedang kuat-kuatnya, dan semangat pun sedang menggebu-gebunya. Maka, jika para pemuda sebuah negeri baik, maka besarlah kebermanfaatan yang akan terwujud. Sebaliknya, jika para pemuda sebuah negeri buruk, maka besar pula keburukan yang akan terjadi.

Karena itu, mari kita telaah Alquran dan sejarah untuk membantah anggapan masa muda adalah masa labil dan pencarian jati diri.

Pertama, Ibrahim as. ketika melawan tirani Raja Namrud dan menghancurkan berhala masih diusia sangat muda. Hal ini tegas dari kata “fata” yang digunakan Alquran untuk menyebut Ibrahim as. Bahkan, kata fata itu lebih muda daripada kata syabab (pemuda). Artinya, sangat muda sekali, belia.

Kedua, Yusuf as. ketika menunjukkan keimanan yang kokoh saat digoda oleh istri pejabat Mesir juga berusia sangat muda. Kita bisa bayangkan Yusuf hanya berdua dengan perempuan cantik jelita itu di dalam sebuah kamar. Tetapi, Yusuf dapat mempertahankan keimanannya.

Ketiga, Daud as. ketika ikut berperang melawan Jalut dan berhasil membunuhnya juga masih dalam usia sangat belia. Kita bisa membayangkan bagaimana Daud pada usia yang sangat belia memiliki keberanian sebesar itu menghadapi Jalut.

Keempat, para pemuda Ashabul Kahfi yang tegas mempertahankan akidahnya meski harus mengasingkan diri. Mereka juga berusia sangat belia. Alquran menggunakan kata “fityah” (jama’ dari fata) untuk menyebut mereka.

Lihat pula kisah Isma’il as., Yahya as., dan kisah Yusya, seorang yang menemani Nabi Musa as. untuk menemui Nabi Khidir as. Yusya diusia yang masih belia telah menjadi seorang ahli ilmu di bawah bimbingan Nabi Musa as.

Lihatlah, betapa para pelaku sejarah itu, orang-orang besar itu telah mendemonstrasikan kekokohan akidah dan imannya, serta keteguhan sikapnya sebagai seorang pemuda. Maka, salah besar jika masa muda dianggap sebagai masa labil dan pencarian jati diri.

Mari kita telaah lebih dalam lagi dengan mengkaji sejarah para pemuda yang mengelilingi dakwah Rasulullah saw. Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat Al-Kahfi yang mengisahkan tentang para pemuda Ashabul Kahfi menerangkan, “Demikianlah dakwah Rasulullah saw juga dikelilingi oleh para pemuda.”

Dari sepuluh orang sahabat Rasulullah saw generasi awal yang dijamin masuk surga hanya tiga orang yang usianya kepala tiga, yakni Sayidina Abu Bakar, Sayidina Usman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf, dua orang usianya kepala dua, bahkan lima orang di antara mereka usianya di bawah dua puluh tahun. Jelas sekali betapa anak-anak muda ini telah matang emosional dan spiritualnya. Tidak ada galau dan pencarian jati diri diusia mudanya.

Mari kita telaah lebih dekat, siapa sebenarnya aktor dibalik pembukaan Madinah sebagai pusat dakwah Islam? Merekalah enam pemuda belia. Rasulullah menemui enam pemuda ini ketika musim haji di Mekah. Seperti biasa, Rasulullah memanfaatkan musim haji untuk berdakwah mengunjungi satu tenda ke tenda lain. Hingga sampailah ke tenda enam pemuda ini yang berasal dari Madinah. Terjadilah dialog antara Rasulullah dan enam pemuda ini.

Singkat cerita, enam pemuda ini tertarik dengan Islam dan mengikrarkan dua kalimat syahadat. Enam pemuda ini bertekad, “Ya Rasulullah, tahun depan di tempat yang sama dan diwaktu yang sama, kami akan datang kembali kepadamu dengan pemuda yang lebih banyak dari sekarang.”

Satu tahun kemudian, enam pemuda ini menepati janjinya. Mereka datang dengan membawa tujuh pemuda lain untuk mengingkarkan dua kalimah syahadat. Saat itulah, terjadi Bai’at Aqabah I. Dari sini saja bisa dibayangkan betapa hebatnya peran pemuda dalam dakwah. Enam orang berhasil mengajak tujuh orang. Keberhasilannya seratus persen. Tapi, mari kita telisik lebih dekat lagi.

Kemudian, 13 pemuda ini kembali ke Madinah dan melanjutkan dakwahnya. Untuk mengawal dan mempercepat proses dakwah di Madinah, Rasulullah mengutus Mus’ab bin Umair untuk menyertai 13 pemuda ini. Siapakah Mus’ab bin Umair? Ya, ia tak lain seorang pemuda belia. Setahun kemudian, 13 pemuda ini berhasil mengajak 75 orang untuk menemui Rasulullah pada musim haji dan terjadilah Bai’at Aqabah II. Cermati percepatannya, pada tahun pertama enam pemuda berhasil mendakwahi tujuh orang. Pada tahun kedua 13 pemuda berhasil mendakwahi 75 orang. Berapa persen peningkatannya?

Namun, kiprah para pemuda ini belum usai. Mereka menyusun strategi dakwah bersama Mus’ab bin Umair. Mereka merancang pertemuan Mus’ab dengan para pemimpin suku-suku di Madinah. Sampai akhirnya, Mus’ab bertemu dengan pemimpin besar suku-suku Madinah, Sa’ad bin Mu’adz. Terjadi dialog dan diskusi antara Sa’ad bin Mu’adz dan Mus’ab bin Umair. Sekali lagi cermati bagaimana Mus’ab, seorang pemuda belia, mampu menaklukkan Sa’ad bin Mu’adz, seorang pemimpin besar Madinah? Seperti apa kualitas diri Mus’ab bin Umair?

Pada akhirnya, Sa’ad bin Mu’adz memperoleh hidayah dan masuk Islam. Masuk Islamnya Sa’ad diikuti oleh masuk Islamnya suku-suku di bawah pimpinan Sa’ad bin Mu’adz. Cermati bagaimana strategi dakwah para pemuda ini. Mereka tentu tidak punya kekuatan dan bukan pemegang kekuasaan untuk memaksa warga Madinah memeluk Islam. Tapi, saksamailah bagaimana para pemuda ini mengatur pertemuan dengan para pemimpin Madinah dan mempengaruhi mereka.

Dari sinilah peristiwa hijrah yang monumental itu bermula. Tonggak awal perjuangan dakwah Islam memasuki babak baru, fase Madinah. Ternyata ada peran besar para pemuda dibaliknya. Para pemuda didikan Rasulullah saw. Para pemuda hebat yang kokoh akidahnya dan teguh keimanannya.

Karena itu, sebuah kesalahan besar jika dalam pembangunan peradaban, kita mengabaikan pemuda. Perlu ditegaskan bahwa bukan menafikan peran para orangtua. Tidak sama sekali. Para orangtua memiliki tempat tersendiri di hati para pemuda. Merekalah para pembimbing, penasehat, dan guru bagi para pemuda.

Sebagai penutup, mari kita resapi kisah indah antara Usamah bin Zaid (17 tahun) dan Khalifah Abu Bakar (60 tahun). Kisah ini bermula dari keputusan Rasulullah saw mengangkat Usamah bin Zaid sebagai panglima perang.

Menjelang wafatnya, Rasulullah saw mengangkat Usamah bin Zaid sebagai panglima perang pasukan muslim untuk diberangkatkan ke Romawi Timur. Saat itu, ada beberapa sahabat yang sempat mempertanyakan. Rasulullah menjawab, “Demi Allah, Usamah pantas menjadi pemimpin.”

Usamah berangkat memimpin pasukannya. Namun, baru beberapa mil, Usamah mendengar kabar kewafatan Rasulullah saw. Usamah memutuskan kembali ke Madinah. Usai Sayidina Abu Bakar dipilih menjadi Khalifah menggantikan Rasulullah saw dalam tugas memimpin negara, Khalifah Abu Bakar tetap mengangkat Usamah bin Zaid sebagai panglima perang dan memerintahkan Usamah untuk segera berangkat.

Khalifah Abu Bakar meminta Usamah naik ke atas kuda. Kemudian, Khalifah Abu Bakar menuntun kuda Usamah dan bermaksud mengantarnya sampai gerbang kota Madinah.

“Jangan perlakukan aku seperti itu, wahai khalifah,” ujar Usamah dan dengan sigap turun dari kudanya.

Usamah meminta Khalifah Abu Bakar yang naik ke atas kuda dan ia yang akan menuntun kuda tersebut. Namun, Khalifah Abu Bakar menolak. Usamah pun menolak untuk naik ke atas kuda. Hingga akhirnya, Khalifah Abu Bakar mengucapkan kata-kata pamungkas, “Wahai Usamah, engkau akan pergi berjihad. Maka, izinkan aku mengotori kakiku dengan debu-debu jihad.”

Lihatlah, Usamah sebagai anak muda memiliki adab menghormati Khalifah Abu Bakar. Namun, Khalifah Abu Bakar sebagai orangtua pun tahu menempatkan pemuda (Usamah) sebagai pemimpin. Indah sekali.

Bangkitlah para pemuda. Ambillah peran dan tanggung jawabmu untuk kejayaan Islam. Demi tegaknya agama Allah di bumi ini. Energimu masih besar. Semangatmu masih membara. Kobarkan dan pekikkan Allaahu Akbar!

“Tiada bergerak satu langkah pun seorang di antara kamu hingga kau ditanya empat hal, salah satunya, ‘Masa mudamu, untuk apa kau habiskan?…’”, demikian wasiat Rasulullah saw.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan yudisium cum laude ini dikenal sebagai penulis, penceramah, trainer, dan pembicara publik. Ia menulis sejak kuliah dan hingga kini telah menulis dan menerbitkan 43 buku dengan 5 buku di antaranya diterjemahkan ke Bahasa Melayu di Malaysia. Ia menjadi pembicara di berbagai sekolah, kampus, lembaga, perusahaan, radio, dan TV Edukasi Pustekkom, Kemdikbud. Bergabung di Dompet Dhuafa pada 2010 sebagai guru di Smart Ekselensia Indonesia, kemudian diamanahi sebagai kepala sekolah, dan kini diberikan tugas sebagai Manajer Penelitian dan Pengembangan Pengetahuan Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa.

Lihat Juga

Kemuliaan Wanita, Sang Pengukir Peradaban

Figure
Organization