Topic
Home / Narasi Islam / Wanita / Sisi Lain Kartini, “Minazh Zhulumaati Ilaa An-Nuur”

Sisi Lain Kartini, “Minazh Zhulumaati Ilaa An-Nuur”

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

kartinidakwatuna.com – “Dengan semangat Hari Kartini, mari kita perjuangkan Emansipasi Wanita, agar kaum wanita bisa setara dengan laki-laki” begitu kira-kira himbauan sebagian orang yang mengaku aktivis perempuan, aktivis pembela hak-hak perempuan. Konon begitu biasa mereka disebut. Tapi benarkah demikian yang diperjuangkan RA. Kartini?

Mari kita kembali membuka-buka lembar sejarah, membaca surat-surat Kartini ke teman-temannya di Eropa. Saya rasa, jika beliau diberi Allah umur panjang dan menyaksikan bagaimana kaum perempuan sekarang menyalahgunakan emansipasi atas namanya, beliau pasti akan menangis.

Menangis karena banyak perempuan yang atas nama emansipasi justru mendegradasi kemuliaan dirinya. Menangis karena peringatan Hari Kartini dijadikan ajang pamer baju kebaya, dan berbagai lomba yang justru jauh dari esensi Minazh Zhulumaati ilan Nuur -Door Duisternis Tot Licht- Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Kita semua mengenal dengan istilah dengan Habis Gelap Terbitlah Terang.

Orang-orang yang gembar-gembor emansipasi dan menisbatkannya pada Kartini, sepertinya luput memperhatikan apa yang Kartini perjuangkan untuk kaum perempuan negeri ini.

Kartini dan Pendidikan Perempuan

Mari kita perhatikan dengan seksama tulisan Kartini ini…

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].

Tidakkah kita bisa melihat bahwa Kartini menginginkan kaum perempuan berpendidikan agar bisa menjadi IBU, PENDIDIK manusia yang pertama-tama. Yaa… Peran kaum perempuan terhadap pendidikan anak-anak sangat penting. Kartini menyadari hal itu.

Apa yang diperjuangkan Kartini bukanlah emansipasi yg menuntut kesetaraan gender, menuntut persamaan hak dengan laki-laki. Bukan… Bukan itu yang diinginkan Kartini.

Kartini dan Islam (Dari Kegelapan Menuju Cahaya)

Tidak banyak diketahui bahwa menjelang akhir hayatnya, Allah memberikan hidayah kepada Kartini untuk mempelajari Agama Islam secara mendalam.

Memang, di masa kecil hingga remaja, Kartini kurang dekat dengan ajaran Islam. Pengalaman tidak menyenangkan pernah dialami Kartini. Guru mengajinya memarahi Kartini ketika bertanya makna ayat-ayat Quran yang diperintahkan kepadanya untuk dibaca dan dihafal. Dan sejak saat itu, timbul penolakan pada diri Kartini. Hal tersebut terungkap dalam surat-suratnya berikut ini :

“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Alquran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Alquran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” [ Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]

“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. [ Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902]

Lalu kapankah Kartini mulai mempelajari Islam (Quran) dengan serius?

Taqdir Allah kemudian mempertemukan Kartini dengan Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar –yang kemudian terkenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat – karena beliau berasal dari Darat, Semarang. Dalam sebuah kesempatan, ketika Kartini mengunjungi pamannya Pangeran Ario Hadiningrat, Bupati Demak pada waktu itu, Kartini mengikuti pengajian keluarga yang dibawakan oleh Kyai Sholeh Darat, yang memang sering memberikan pengajian di daerah pesisir utara. Setelah selesai acara pengajian, Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemani dia untuk menemui Kyai Sholeh Darat.

Dialog antara Kartini dan Kyai Sholeh Darat tersebut kemudian ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat berikut ini:

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”

Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.

“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”. Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.

“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Alquran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Alquran dalam bahasa Jawa. Bukankah Alquran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Pertanyaan yang tak diduga oleh Kyai Sholeh itu menggugah semangatnya untuk membuat terjemahan Quran kedalam bahasa Jawa. Usaha menterjemahkan Quran ke dalam bahasa Jawa yang ditekuni Kyai Sholeh berhasil menterjemahkan juz 1 sampai dengan juz 13, surat Al-fatihah hingga surat Ibrahim. Terjemah ini pula yang kemudian dihadiahkan pada hari pernikahan Kartini. Tak lama setelah itu, Kyai Sholeh meninggal dunia, meninggalkan ‘proyek’ terjemahan Quran ke dalam bahasa Jawa, atas inspirasi dari pertanyaan Kartini.

Lalu darimanakah kiranya kata-kata “Habis Gelap Terbitlah Terang”?

Jika membaca surat-surat Kartini kepada teman-temannya di Eropa, dalam beberapa kesempatan Kartini sering mengungkapkan kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya”, yang kemudian dijadikan judul kumpulan tulisan Kartini dalam bahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht”. Ini semata karena seringnya Kartini mengulang-ulang kalimat itu dalam surat-suratnya yang ditulis dalam bahasa Belanda. Mr. Abendanon yang mengumpulkan tulisan-tulisan Kartini, dan menjadikan Door Duisternis Tot Licht sebagai judul tidak mengetahui bahwa kalimat tersebut berasal dari penggalan ayat Quran, yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 257, “Min azh-zhulumaati ilaa an-nuur”.

Belakangan, diterjemahkan oleh salah seorang sastrawan Indonesia Armijn Pane dengan istilah “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Maka menjadi jelaslah kiranya bahwa di akhir masa hidupnya Kartini adalah perempuan yang tha’at kepada Allah, berbakti pada orang tua dan berkontribusi utk kebaikan negeri ini.

Kartini bukanlah sosok perempuan seperti yang digembar-gemborkan aktivis emansipasi perempuan yang menjual harga diri perempuan dengan harga yang murah. Bahkan sangat murah.

Bahkan, Kartini, setelah mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh, telah berani menentang Kristenisasi pada waktu itu. Mari kita lihat surat Kartini berikut ini:

“Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? …. Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” [ Surat Kartini kepada E.E . Abendanon, 31 Januari 1903]

Itulah Kartini yang sesungguhnya

Putri sejati
Putri Indonesia
Pendekar bangsa
Pendekar kaum perempuan

Putri yang mulia
Besar cita dan cintanya untuk Indonesia

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Suami dari satu istri~Bapak dari lima anak~Hamba Allah yang ingin menjadi bagian kebaikan untuk Indonesia Allah Ghayatuna, Ar-Rasul Qudwatuna, Al-Qur'an Dusturuna, Al-Jihad Sabiluna, Al-Mautu Fi Sabilillah, Asma Amanina

Lihat Juga

Kemuliaan Wanita, Sang Pengukir Peradaban

Figure
Organization