Topic
Home / Narasi Islam / Dakwah / Kepada Apa Kami Menyeru Manusia?

Kepada Apa Kami Menyeru Manusia?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (sheikhrouf23.deviantart.com)
Ilustrasi. (sheikhrouf23.deviantart.com)

dakwatuna.com – Sebagai seorang yang telah memutuskan jalan hidupnya sebagai pengabdian harta dan jiwa hanya untuk Allah SWT, tentu terkadang kita sendiri tertohok dengan sebuah pertanyaan sederhana, “Kepada Apa Kamu Menyeru Manusia?”. Normatif, biasanya jawaban sedemikian yang otomatis keluar dari indra pengecap kita. Bisa jadi bahkan sebagai da’i tidak jarang ditemui kebingungan atas jawaban dari pertanyaan tersebut.

Pada kesempatan ini, marilah kita mencoba mendalami apa yang disampaikan oleh seorang Hasan Al Banna dalam risalah dakwanya, “Kepada Apa Kami Menyeru Manusia”. Bismillah…

Sebagai dai perlulah kiranya kita berhenti sejenak untuk melihat apa yang sudah kita hasilkan dakwah kita selama ini. Berhenti untuk sekadar menengok apa yang sudah terjadi sepeninggal dakwah yang kita lakukan. Sekalipun dakwah tidak berorientasi kepada hasil, namun tidak pernah salah juga ketika kita menggunakan hasil sebagai bahan renungan dan konstruksi motivasi. Entah itu dari substansi yang kita sampaikan, maupun cara kita menyampaikan, pastinya itu akan sangat berkorelasi.

Apabila ternyata perubahan itu muncul yang tidak seberapa, atau bahkan jika tidak ada samasekali, dimungkinkan apa yang disampaikan oleh Hasan Al Banna perlu kita renungkan. Pertama tolok ukur yang digunakan oleh masing-masing kita dalam mempersepsi apa yang ia dengar dan apa yang ia katakan saling berbeda, kedua ucapan yang samar dan tidak jelas, meskipun mungkin kita yakin apa yang kita sampaikan sangat jelas.

Tolok ukur, tentu sebaik-baik tolok ukur yang kita gunakan dalam dakwah ini adalah Kitabullah – Alquran – kitab sempurna yang padanya Allah SWT memadukan dasar-dasar kepercayaan, kaidah perbaikan sosial, hukum keduniaan serta perintah dan larangan. Sederhananya apabila mereka telah melaksanakan apa-apa yang tertulis dalam Alquran, maka dapat dikatakan dakwah telah sampai pada tujuannya begitu juga sebaliknya.

Tujuan Hidup dalam Alquran, Alquran menyebutkan bahwa tujuan manusia hidup itu bermacam-macam, ada yang hidup hanya untuk mendapat kesenangan bahkan juga hidup sebagai penyebar fitnah, kejahatan dan kerusakan. Namun Alquran berkata lain bagi seorang mukmin dalam surah Al-Hajj 77-78 “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan perbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Alquran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu kepada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong”.

Alquran telah menjadikan kaum Muslimin sebagai mandataris-Nya di hadapan umat manusia, memberikan kepada mereka hak kepemimpinan dan kewenangan atas dunia untuk menunaikan mandate suci ini. Jadi kekuasaan itu adalah hak kita, bukan hak Barat atau siapapun, keberadaannya adalah demi peradaban Islam, dan bukan peradaban materialisme. Dan mandat suci ini tiada lain dan bukan adalah pengorbanan, bukan pemanfaatan. Pengorbanan yang ikhlas baik jiwa maupun harta seperti termaktub dalam surah At-Taubah 111. Misi suci ini akan terus dilakukan “supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah ”(Al Anfal 39).

Misi tersebut tidak bisa dikerjakan dengan melaksanakan sebagiannya dan meninggalkan yang lainnya atau bahkan melalaikan semuanya. “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenarnya” (Al Mukminun: 115-116) para sahabat –generasi pilihan Allah SWT –memahami ayat terseubut dengan julukan Layaknya Rahib-rahib di malam hari, dan penunggang kuda di siang hari. yang bermakna mereka khusyuk dalam beribadah, memohon ampun di malam hari serta terus-menerus mencucurkan air mata demi ampunan Allah SWT seraya berguman “Wahai dunia, bukan aku orang yang bisa kau tipu”. Namun di siang hari mereka menjadi penunggang kuda yang hebat, bertempur dan berjihad sembari meneriakkan syiar-syiar kebenaran dengan lantang.

Alquran juga terhujam kuat dalam sanubari mereka, lihatlah surah Al Hujurat 15 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”. Tak pandang berapa banyak harta yang dikeluarkan, tak pandang pula andai jiwa menjadi korban, sungguh itu suatu kemuliaan. Rasulullah dalam hadistnya juga mengatakan “Kalau manusia mulai kikir dengan dinar dan dirham, melakukan jual beli dengan cara riba, mengikuti ekor sapi (umat lain, yahudi dan nasrani) dan meninggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah akan memasukkan kehinaan ke dalam diri mereka, Dia tidak akan menghilangkannya kecuali jika mereka kembali kepada agama mereka”.

Memulai pembangunan Umat ini harus diawali dari pembangunan kekuatan jika yang meliputi 4 hal penting:

  1. Tekad membaja yang tak pernah melemah,
  2. Kesetiaan yang teguh dan tidak tersusupi oleh pengkhianatan,
  3. Pengorbanan yang tidak terbatasi oleh keserakahan dan kekikiran,
  4. Pengetahuan dan keyakinan serta penghormatan yang tinggi terhadap ideologi yang diperjuangkan.

Kelemahan hati dan jiwa, kekosongan dari akhlak yang luhur dan sifat kesatria, sekalipun berjumlah banyak, maka kehancuran dan kehinaanlah yang tentu didapatkan, perhatikan sabda Rasulullah saw. “Akan ada suatu masa dimana umat-umat lain akan memperebutkan kalian sama seperti anjing-anjing yang memperebutkan nampannya” “Apakah karena jumlah kita sedikit ketika itu?” “Tidak, bahkan jumlah kalian ketika itu sangat banyak, tapi kalian itu bagai buih yang mengapung di atas arus air. Sungguh Allah akan mencabut dari dada musuh kalian rasa takut terhadap kalian, dan sungguh Allah akan menanamkan wahn dalam hati kalian” “Apakah wahn wahai Rasullullah?” “Cinta dunia dan takut mati”.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Mahasiswa Magister Pengajaran Fisika ITB, Aktif di KAMIL Pascasarjana ITB,

Lihat Juga

Surat Cinta untuk Perempuan

Figure
Organization