Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Emas yang Datang

Emas yang Datang

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi - (detikindo.com)
ilustrasi – (detikindo.com)

dakwatuna.com – Setelah aku mendapatkan pekerjaan baru. Ditugaskan ke area proyek Caltex tepatnya di kota Duri-Riau. Sepanjang jalan kiri-kanan terlihat pohon sawit berbaris rapi. Bus-bus dan mobil pribadi simpang siur di jalan lintas Sumatra itu. Aku dijemput Aripin di terminal kedatangan. Setelah saling memperkenalkan diri kami pergi ke KFC di bandara dan makan seadanya. Selesai makan kami menaiki Kijang Innova melaju cepat ke arah kota Duri dalam masa 3 jam.

Seusai kerja selama 6 minggu di tempat kontruksi, aku mendapat libur 2 minggu. Setiba cuti di Jakarta, aku mau mengurus surat pengunduran diri ke kantor ex-perusahaanku. Kuajukan selembar kertas ke Global Marketing Service (GMS) Manager di Jakarta. Manager itu masih muda berparas cantik, bermata sipit, rambutnya lurus, dan leher jenjang beretnis Tionghoa itu mendengar keluhanku kenapa mau keluar.

‘’Asep, tolong dipikirkan matang-matang. Jangan resign. Setelah dikirim ke site Taboneo-Kalsel kamu nantinya akan diorbitkan ke luar negeri. Di rig Bangladesh.’’

‘’Kalau saya dikirim ke luar negeri, apakah gaji saya apakah ada kenaikan mbak?’’

‘’Saat ini belum.’’

‘’Saya sudah mempertimbangkan secara matang. Resign adalah pilihan terbaik saya.’’

‘’Kamu sudah punya pekerjaan baru?’’

‘’Belum. Saya ingin istirahat saja di rumah.’’

‘’Baiklah kalau begitu. Seragam yang pernah diberikan, tolong dikembalikan. Buku-buku Bahasa Inggris tolong dibalikin ke Training Departement.’’

Setelah kukembalikan seragam dan sepatu safety ke ruangan Procurement. Aku bergegas ke lantai atas. Tepatnya di Area D aku bertemu temen-temen seperjuangan ketika bekerja di Site Sumbawa. Di Nursing Station, ada sepasang mata bola yang terus memandangiku ketika aku berbicara dengan salah seorang perawat.

Setelah basa-basi ‘say hallo’ dengan teman sejawat aku melangkah bermaksud ke ruangan Ibu Hutapea. Gadis itu tersenyum lepas menyapaku. Gigi geliginya bersih putih dan nampak lesung pipit di pipi kanannya. Rambutnya disanggul. Kedua matanya berbinar-binar. Aura wajahnya sangat terpancar dari sudut senyumannya. Perawakannya sedang dan berkulit bersih.

‘’Mas temannya Aya ya?’’ sapanya.

‘’Iya betul.’’

‘’Di site mana sekarang?’’

‘’Saya sekarang di site Thiess Duri-Riau. Sudah keluar dari sini. Ini mau ngurus surat keterangan kerja. Tapi, ada yang harus dikembalikan.’’

‘’Boleh minta alamat emailnya dong. Siapa tau ada lowongan nanti selepas wisuda.’’

‘’Boleh. Emang sekarang lagi kuliah di mana?’’

‘’Saya ngambil K3 di UHAMKA.’’

‘’Eh, minta nomor HPnya dong.’’

Setelah bertukar nomor HP dan email aku pamitan dan segera menemui English Tutor di lantai dua. Sebelum naik tangga, ada Security System di daun pintunya. Untungnya, aku masih memiliki kartu perusahaan. Hanya dengan menggesekkannya ke alat itu, pintu pun terbuka. Ruangan itu penuh dengan para karyawan yang sedang sibuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Kujumpai ibu Hutapea di meja kerjanya. Perempuan setengah baya itu berkaca mata dan rambutnya sebahu tengah sibuk mengerjakan sesuatu di depan komputer.

‘’Met pagi Bu.’’ Sapaku

‘’Hey, pagi. Baru turun dari Site ya?’’

‘’Iya. Tapi nggak di perusahaan ini lagi. Saya sudah keluar. Surat resign sudah saya ajukan dan disuruh menemui Ibu.’’

‘’Oya, buku-buku Bahasa Inggris dan kasetnya harus dikembalikan.’’

‘’Maaf bu. Saya simpan di rumah teman di Bekasi.’’

‘’Pokoknya harus dikembalikan. Kalau enggak, kamu nggak bakalan dapat surat keterangan kerja.’’

‘’Gimana kalau saya ganti Bu?’’ (kumerogoh dompet).

‘’Nggak bisa. Perusahaan ini akan senang jika propertinya dibalikin.’’ tegasnya.

‘’OK deh Bu. Kalau gitu saya mau ngambil dulu ke Bekasi.’’

‘’Iya silahkan.’’

Sore itu juga aku SMS temanku di Bekasi kalau dia bisa mengirimkan buku-bukuku ke Cipete. Kebetulan adiknya bersedia akan mengirimkannya besok pagi. Menjelang Maghrib iseng-iseng kukirim pesan tertulis ke perawat di Area D tadi.

‘’Ntar sore ada acara nggak? Kalau enggak, kita buka bersama yuk di Blom M Plaza.’’

‘’Aku nggak ada acara. Iya boleh.’’

‘’Baik, kalau begitu saya tunggu di depan Klinik.’’

Dia datang mengenakan baju biru dongker berkerah. Memakai Blue Jeans dan membawa tas jinjing kecil berwarna hitam. Rambutnya yang tebal tersibak angin sore di bawah pohon besar yang rindang. Bibirnya terlihat kinclong memakai lipsbalm. Penampakan dia enak sekali untuk dipandang.

Kuarahkan jari jemariku ke setiap Taxi yang lewat. Beberapa taxi penuh muatan pada jam sibuk seperti itu. Ada juga Kopaja dan Metromini. Tapi, masa iya mau pergi kencan naik bis berjejal pikirku. Suara kendaraan di sore itu bising sekali. Klakson tat-tit-tut di mana-mana. Asap Bajay mengepul menyesakan. Sepeda motor saling kejar-mengejar. Tak ayal dari mereka menggunakan fasilitas trotoar sebagai jalan. Para penumpang terlihat padat berdesakan di bis-bis tua. Akhirnya sebuah taxi menghampiri kami. Kubukakan daun pintunya dan kami pergi menuju Blok M Plaza.

Setibanya di Basement kami berjalan menuju sebuah resto. Suasana resto itu berlampu temaram. Kami duduk di kursi spesial untuk berdua. Pelayan berbaju merah hati dan berbandana datang menghampiri sambil senyum.

‘’Silahkan dilihat menunya.’’ Pelayan itu menyodorkan dua daftar menu.

‘’Mau pesan apa Mas?’’ tanya dia.

‘’Mmmh…nasi, tumis kangkung….dll….’’ sambil aku tunjuk gambarnya.

Kami mengobrol santai sambil menunggu waktu buka puasa. Setelah menunggu sekitar 15 menit, hidangan yang masih hangat disediakan di atas meja. Minuman pembuka ditata. Kami diperlakukan seperti Raja-Ratu malam itu. Waktu adzan telah tiba dan kami berdua menyantap makanan yang telah dipesan. Rasa lapar dan dahaga sirna seketika. Kami bergegas ke Mushola yang berada jauh di tempat parkir. Usai sholat Magrib, kami jalan-jalan di seputaran Mall yang penuh dengan pengunjung. Di atas gedung itu kulihat kelap-kelip kota yang indah. Kendaraan mengular sepanjang jalan.

Setelah Isya, kami pulang menelusuri jalan Pasar Raya. Sambil berjalan kaki melihat hiruk-pikuknya kota Jakarta yang tak pernah mati. Lampu-lampu kota menghiasi bahu jalan. Sementara para pedagang di emperan Blok M meneriakan dagangannya ke semua pejalan kaki yang lewat. Banyak orang keluar masuk ke arah pertokoan itu.

‘’Sandal sepuluh ribu. Silahkan acak corak pilih warna!’’ teriak pedagang sandal.

‘’Beli kaos dapat hadiah dompet cantik.’’ Pedagang kaos tak mau kalah.

Dia tampak grogi berjalan di sampingku. Tinggi badannya sebatas bahuku. Kuajak cerita masalah kuliah dan kerjaan. Dia sangat antusias sekali menyimak ceritaku. Merasa kehabisan bahan cerita, akhirnya kuutarakan ungkapan hatiku.

‘’Ada yang suka sama kamu.’’

‘’Siapa?’’

‘’Orangnya yang lagi jalan sama kamu.’’

‘’Masa langsung suka? Kan kita baru saja kenal?’’ kaget matanya setengah membelalak.

‘’Aku orangnya to the point. Kalau diterima ya sukur kalau enggak ya apa-apa.’’

Dia hanya tersipu malu dan diam saja tak ada jawaban.

‘’Besok aku mau ke Riau. Mau ikut nganterin aku nggak?’’

‘’Iya boleh.’’sahutnya.

Kami pulang ke Cipete dan kuantarkan ke rumah kontrakannya. Setelah tiba di depan rumah kontrakannya, aku pamitan dan kembali ke mess ex-perusahaanku. Esoknya dia mengantarku ke Bandara Cengkareng. Di atas mobil DAMRI aku blak-blakan bertanya.

‘’Sepulang cuti dari Riau, mau nggak aku lamar?’’

‘’Kita kan belum saling kenal.’’ wajahnya keheranan.

‘’Nggak apa-apa, nanti juga kita akan saling mengenal. Saya malas pacaran lama-lama. Ingin segera menikah.’’

‘’Iya saya pikirkan.’’

*****

Desember 2004 aku meminangnya dan kami menikah di awal 2005. Mesti hanya tiga bulan saling mengenal itu pun terpisahkan jarak. Aku di Riau dia di Jakarta tapi keputusanku sudah bulat untuk menikah. Rutinitas setelah beristri aku masih menjalani hidup sebagai pekerja buruh lepas harian di perusahaan yang sama.

Hasratku untuk pergi bekerja ke luar negeri tidak berubah sama sekali. Hampir setiap akhir pekan kuhubungi pak Wahyu staff PT.Guna Mandiri menanyakan ada panggilan atau tidaknya. Di tahun 2006 awal, aku mendapat pekerjaan baru di Samarinda. Pas cuti dua minggu di Jawa Tengah. Kamis sore itu aku, istri dan adik iparku yang masih kanak-kanak mengendarai motor ke kota Wangon hendak membeli sesuatu di Toko Serba Ada. Tiba-tiba Hp di saku celanaku bergetar. Aku meminggirkan motor.

‘’Mas Asep, ini dengan Wahyu.’’

‘’Iya pak Wahyu. Ada yang bisa saya bantu?’’

‘’Lagi di mana posisi?’’

‘’Saya kebetulan lagi libur di Jateng.’’

‘’Ada panggilan interview dari QP hari Senin besok jam delapan. Bisa datang ke Jakarta enggak?’’

‘’Oh, sangat bisa pak. Insya Allah saya hadir.’’

‘’Ditunggu ya. Tolong bawa CV pas interview.’’

Hatiku berbunga-bunga saat mendengar kabar gembira itu. Harapan yang telah kandas kini muncul lagi. Meski tak ada jaminan aku bisa lulus, tapi apa salahnya untuk mencoba. Kami segera pulang ke rumah dan mengemasi barang ke tas butut yang kami punya. Malam harinya kami pamitan balik ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, kukumpulkan sertifikat-sertifikat pelatihan yang pernah kuikuti. Setidaknya materi-materi tentang Kesehatan Kerja aku pelajari lagi karena posisi yang ditawarkan adalah Occupational Health Nurse.

Senin jam 05:00 pagi aku sudah tiba di Blok M. Setengah lari terengah-engah aku mengejar Kopaja jurusan Pasar Minggu. Aku menggelayut di tengah besi-besi tua bus itu. Jam segitu orang sudah berdesakan. Udara panas membuatku berkeringat. Peluh membasahi kening dan pipiku. Bau asap kendaraan dan rokok berbaur menyesakan. Tiba di Mampang dekat Showroom Mercedec Bentz aku teriak.

‘’Kiri depan!’’

Bus berhenti sesaat. Aku menyebrangi jalan yang penuh dengan kendaraan lalu-lalang. Dengan tenang aku memasuki gedung itu. Sekitar pukul enam pagi aku tiba di sana.

‘’Mau ikut interview ya?’’ tanya seorang Satpam berseragam biru dongker itu.

‘’Betul pak.’’

‘’Silahkan duduk aja dulu di sini.’’ Sambil menunjuk deretan kursi di ruang tunggu.

Selang beberapa menit para peserta mulai bermunculan. Sebagian dari mereka sudah kukenali wajahnya. Hampir 80% semua teman satu perusahaan jadi tak aneh lagi. Sebagian dari mereka adalah senior-senior di perusahaanku. Setelah saling sapa kami duduk di kursi chitos.

Tiba saat menegangkan sekitar pukul 08:00 para peserta dipersilahkan masuk ke ruang tunggu. Terpampang di dinding kantor ‘’QP interview with dr.Tristan Evelly.’’ Kami semua mengisi formulir yang sudah disediakan. Ternyata, posisi yang ditawarkan Ambulance Nurse bukan Occupational Nurse. Kontan aku harus menset pikiranku tentang materi-materi kedaruratan. Untungnya, ada peserta yang membawa Algoritma ACLS dan Trauma. Aku menyempatkan diri untuk mempelajari Algoritma itu.

Wajah-wajah penuh ketegangan itu satu persatu dipanggil ke ruang dokter. Aku bolak-balik ke kamar mandi. Stress juga karena baru pertama kali interview tatap muka langsung dengan bule. Denyut jantungku meningkat. Aku terus menarik napas salam. Telapak tanganku terasa dingin. Rasanya perut menjadi mules. Pernah interview via telpon tahun 2004 tapi tak setegang ini.

‘’Ya Allah, jika ini rejekiku maka mudahkanlah. Robbishrohli sodri wayassirli amri..’’ mulutku komat-kamit berdo’a supaya diberikan kemudahan.

‘’Mas Asep.’’ Pak Wahyu mempersilahkan saya.

Kuketuk pintu itu.

‘’Come in.’’

Kudapati sesosok bule tinggi besar berkaca mata memakai baju putih lengan pendek. Kursi yang dia duduki berhadapan langsung dengan kursi kandidat. Setelah basa-basi kudipersilahkan duduk. Dia terlihat melihat-lihat CVku yang berjumlah 11 halaman. Kursi yang kududuki terasa panas. Aku berusaha untuk tenang. Dengan aksen Inggris dia memulai percakapan.

‘’Are you working in Coal Mining?’’

‘’Yes, I am.’’

Beberapa pertanyaan seputar penanganan Chest Pain, Algoritma Cardiac Arrest (Protokol henti jantung) dan trauma dia lontarkan. Alhamdulillah kujawab dengan tenang dan pasti.

‘’What’s sign of ischemia in ECG?’’

‘’It’s T inverted.’’

‘’Are you sure?’’ dahinya berkerut dan kepalanya condong ke belakang.

‘’Yep. I’m sure.’’

‘’Alright. Please go to next room. You’ll meet Mr.Chouheri HR Supervisor.’’

‘’Am I pass, doc?’’

‘’Yes, you are. Congratulation!’’ dia menyalami saya.

Kulihat dia membubuhkan tanda tangannya dan menuliskan di sebuah kolom keterangan interview terlihat hasilnya ‘very good’. Dadaku seakan lapang. Hati serasa senang sekali. Gembira bukan main-main. Semangatku menggebu-gebu lagi. Saatnya aku bisa pergi menginjakan kaki ke luar negeri. Impian selama ini menjadi kenyataan.

Pak Wahyu yang sedang menunggu di luar bertanya.

‘’Gimana sukses?’’

‘’Alhamdulillah saya lulus. Disuruh nemuin orang HRD. Di mana pak?’’

‘’Ini ruangannya.’’

Mr.Chouheri menjelaskan tentang benefit bekerja di QP seperti: housing allowance, transport allowance, school assistance, jumlah cuti, medical coverage, family status dan tiket. Dia sodorkan jumlah gaji yang akan saya dapatkan dalam bentuk Riyal. Dia memberikan kertas dan menyuruh saya menandatanganinya.

‘’Your visa will be process immediately. Please don’t resign until further notice. I’ll see you in Qatar.’’ Tambahnya lagi.

Bukan main senang hatiku meluap-luap melebihi mendapatkan berlian satu keranjang. Ini adalah peluang emas yang datang kembali. Impian yang sempat tertunda. Sempat aku merasa frustasi karena dulu tak bisa menghandiri interview karena lagi ditugaskan di Site Kalsel. Mulutku terus menerus mengucapkan kata alhamdulillah sambil mengelus-ngelus dada. Di balik misteri kegagalanku tahun 2004 kini terbayar di tahun 2006 setelah menikah. Kontan aku langsung menelpon istriku.

‘’De, Aa lulus!’’

‘’Alhamdulillah. Selamat ya Aa!’’ terdengar suara istriku senang dan terharu mendengar kabar kelulusanku.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Laki-laki Ciamis yang berdomisili di Doha, Qatar.

Lihat Juga

Tips Membangun Kepercayaan Anak dengan Ibu Bekerja Melalui Ramadhan

Figure
Organization