Topic
Home / Berita / Opini / Ketidakjelasan Asal ISIS, Kuda Troya Isu ISIS

Ketidakjelasan Asal ISIS, Kuda Troya Isu ISIS

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Taufiq Yuniarto / Ibnu Yusra)
Ilustrasi. (Taufiq Yuniarto / Ibnu Yusra)

dakwatuna.com – Semencak muncul isu ISIS (Islamic State In Iraq and Siria) ke permukaan opini global, hampir semua puak di dunia ini mengecam, mengutuk dan bahkan mengungkapkan kebenciannya dengan sumpah serapah. Luapan ungkapan emosi yang sedemikian geram itu dirasa wajar, atau bahkan menjadi keharusan, jika disejajarkan dengan perilaku kelompok ISIS yang nampak begitu sadis dan ganas, sebagaimana yang selalu muncul di pelbagai media selama ini.

Anehnya, perilaku bringas ‘gerombolan’ ISIS tersebut mengeksploitasi dalil-dalil kitab suci Islam, dan mengidentifikasi diri melalui performa simbol-simbol keagamaan Islam sebagai alibi untuk membenarkan kelakuan bejat mereka. Kemunculan ISIS dengan model ganas dan menggunakan simbol syiar Islam tersebut, sungguh naïf dan sangat paradoks dengan nilai dan prinsip Islam yang membawa kebaikan untuk seluruh manusia.

Dari sini kemudian menimbulkan syak wasangka yang sangat akut dari kalangan internal umat muslim. Siapa dan apa sebenarnya ISIS itu? Pertanyaan ini menjadi penting, sebab berawal dari ISIS inilah lahir bias dan pelbagai efek domino yang sarat dengan rasa ketidakadilan bagi kalangan umat Islam. Cap ISIS yang berlabel kekerasan dan teror itu kemudian secara latah dijadikan legalitas pihak penguasa untuk memperangkap kelompok Islam ke dalam golongan yang radikal, ekstrim dan bahkan teroris.

Islam sebagai sebuah agama yang semenjak awalnya sangat anti dan menolak kekerasan, memberi ruang untuk berdialog dengan prinsip syura, dan bahkan memberi kemerdekaan setiap individu untuk bersikap, termasuk dalam memilih keyakinan dan agama, sudah sangat cukup untuk menafikan pelbagai asumsi negatif tersebut kepada penganutnya. Tapi mengapa justru orang-orang yang percaya bahwa Islam sebagai sebuah kebenaran agama dijebak secara acak dalam perangkap paradigma terorisme, radikal, ekstrem dan teroris? Adakah isu ISIS itu menjadi “Kuda Troya” sebagai justifikasi stigma yang berujung pada pelabelan umat Islam?

Sejarah ISIS

Kehadiran ISIS dalam dinamika percaturan politik negara Timur Tengah, terutama setelah bergemuruhnya gerakan reformasi negara-negara Arab (Arab Spring), memang menimbulkan pelbagai spekulasi dan asumsi. Betapa tidak, kelompok yang secara tiba-tiba muncul dengan berbagai kekuatan persenjataan dan dengan jargon khilafah-nya itu, justru menajdi isu sentral yang tidak hanya eksis di panggung politik Arab, tapi juga menjadi tema strategis yang seakan mengancam stabilitas dunia global.

Penamaan singkatan ISIS yang berasal dari Islamic State in Iraq and al-Syam itu, merupakan terjemahan dari bahasa Arab al-Daulah al-Islamiyah fi al-Iraq wa asy-Syam. Tapi menurut Associated Press dan AS, golongan ini disebut sebagai Islamic State in Iraq and The Levant (ISIL). Dalam istilah umum yang digunakan media negara Arab, ISIS itu popular dengan sebutan Da’isy yangmenunjukkan arti dari tiga huruf dalam sebutan itu, yaitu huruf dal yang berarti daulah (negara),‘ain yang berarti Iraq dan syin yang berarti Syam (Siria). Penamaan ini sekaligus menunjukkan lokasi lahir dan wilayah kelompok ini bergerilya melakukan agresinya.

Menurut Fahmi Huwaidy, seorang jurnalis senior Arab dan juga pengamat politik Timur Tengah, embrio lahirnya ISIS berawal dari aqidah Salafiyah Jihadiyah yang dikembangkan dari organisasi Al-Qaeda di Afganistan. Wujud kelompok ini kemudian menjadi lebih eksis di kawasan Iraq setelah adanya ekspansi tentara Amerika Serikat tahun 2003 ke negara yang dipimpin Saddam Husein tersebut.

Lebih jauh dari pendangan Fahmi Huwaydi tadi, Andrew Thompson dan Jeremi Suri dalam sebuah artikel di New York Times berjudul, How America Helped ISIS bahkan berasumsi, bahwa cikal bakal radikal golongan ISIS ini berawal dari militer AS yang dinilai semena-mena terhadap rakyat Irak, kemudian menangkap siapa saja yang dianggap ‘membahyakan’, baik dari mantan militer Saddam Hussein atau kelompok militan. Ekspansi durjana militer AS itu bahkan telah memenjarakan sekitar 26 ribu orang, bahkan ratusan ribu warga Irak pernah mendekam di balik jeruji besi. Mereka diperlakukan secara tidak manusiawi, sebagian mereka yang dianggap teroris banyak dihukum mati. Namun banyak tahanan masih mendekam di penjara saat kelompok-kelompok yang menjadi cikal bakal ISIS berhasil membebaskan mereka usai menguasai beberapa daerah di Irak.

Keberadaan organisasi ISIS mulanya bertujuan untuk memayungi berbagai front yang sedang berjuang di Iraq dan Syiria. Abu Mush’ab al-Zarqawi seorang yang berkebangsaan Jordania menjadi pelopor pertama berdirinya organisasi “Negara Islam” ini, khususnya untuk front yang berada di kawasan Iraq. Sepeninggalnya al-Zarqawi pada tahun 2006, kepemipinan beralih ke Abu Hamza al-Mohajir yang kemudian juga tewas di ujung peluru tentara AS pada tahun 2010. Setelah itu, tauliyah ‘khalifah’ dimandatkan kepada Abu Bakr al-Baghdadi, berdasarkan hasil musyawarah dewan Mujahidin yang berada di Iraq. Setelah bergabungnya Jabhah al-Nusrah (Font Kemenangan), yaitu suatu front yang sedang berjuang di Syiria, wujud daulah islamiyah (Negara Islam) itu kemudian melebur dalam satu komando dengan nama Negara Islam Iraq dan Syam (ISIS). Walaupun, koalisi dengan Jabhah al-Nusrah yang berada di Syiria pada akhirnya pecah, dikarenakan ada tindakan di dalam front yang dianggap sudah keluar dari koridor pamahaman jihad seperti yang diajarkan Islam.

Dalam versi yang lain, menurut Martin Golf, seorang pengamat Timur Tengah seperti yang diungkapkan dalam media The Guardian di Inggris, embrio lahirnya ISIS berawal dari pertemuan rahasia pada musim semi (rabi’) antara untusan intelijen Syiria dengan pentolan Daulah Islamiyah di daerah el-Zabdany di sekitar Damaskus pada tahun 2009. Pertemuan rahasia ini difasilitasi oleh orang-orang partai Ba’ats Iraq yang melarikan diri ke Syiria setelah jatuhnya presiden Saddam Husein. Jadi lahirnya kebrutalan kelompok ISIS tidak lepas dari peran partai Ba’ats yang pernah lama menjadi penguasa di Iraq maupun Suriah.

Pandangan yang lebih menohok dan agak berbeda justru datang dari Erward Snowden, seorang mantan pegawai Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat, sebagaimana dikutif dari Global Research yang berpusat di Kanada, bahwa ISIS merupakan organisasi bentukan dari kerjasama intelijen tiga negara, Inggris, Amerika Serikat dan Mossad Israel. Badan Intelijen tiga negara itu membuat strategi ‘sarang lebah’ dengan menghimpun para ekstrimis dunia untuk melakukan terror atas nama Islam.

 Stigmatisasi Teroris

Terlepas dari sumber mana yang lebih valid mengurai kebenaran kelompok ISIS itu, keragaman pendapat tersebut menunjukkan adanya kekaburan asal muasalnya, sehingga menambah kebingungan tentang entitas ISIS yang sebenarnya. Lantas, mengapa isu ISIS di tanah air begitu heroik, sehingga seolah menjadi ancaman serius bagi kedaulatan negara Indonesia. Adakah ISIS memiliki cabang gerakan dan telah melakukan aksinya di negara ini? Kesangsian ini sangat merisaukan, mengingat isu ISIS sudah mempengaruhi kebijakan pemerintah, khsususnya kepada umat Islam yang merupakan mayoritas di Negara Republik Indonesia ini. Pemblokiran beberapa media Islam online, dicegahnya nama Muhammad dan Ali keluar masuk dari autogate bandara Internasional Soekarno Hatta, dua contoh kebijakan ‘membingungkan’ ini sudah cukup membuktikan adanya korelasi bias isu ISIS dalam kehidapan masyarakat. Namun sayangnya, kebijakan untuk memproteksi gerakan ISIS itu tidak memiliki standard dan defenisi yang jelas tentang radikal, sehingga, alih-alih menghentikan dan mengantisipasi bahaya radikal ISIS, tapi justru melahirkan sikap apriori dan bahkan mungkin menimbulkan goncangan sosial di tengah umat.

Apriori umat tentang langkah penanganan ISIS di negeri ini dirasa logik karena arus mainstrem pengolela negara periode ini terkesan ingin menegasikan simbol dan peran Islam dalam sistem bernegara, seperti wacana penghapusan kolom agama dalam KTP, penghapusan SKB 3 menteri soal pendirian rumah ibadah, bahkan sampai pada pengawasan khutbah Jumat. Dari indikasi itu, isu ISIS dijadikan “Kuda Troya” sebagai pintu masuk pemberian stigma radikal kepada gerakan keagamaan Islam di level kenegaraan. Tujuan akhirnya adalah menegasikan peran dan simbol keagamaan Islam itu di ranah publik, atau lebih ekstremnya, isu ISIS menjadi racun yang mematikan emberio serta tunas potensi Islam menguasai ranah kekuasaan Negara.

Jika benar asumsi di atas tadi, maka gerakan islamphobia dan liberal semakin mendapatkan ruang untuk menimplementasikan misinya pada skala negara, karena adanya lampu hijau dari penguasa. Berkat stigma ‘Islam radikal’ itu, umat muslim yang berpaham sekuler semakin mendapat justifikasi, bahwa Islam itu cukup sebagai pegangan norma individu yang hanya pantas mengurus rumah ibadah semata. Apabila shahih demikian, mari kita angkat tangan untuk mentakbirkan empat kali kondisi negara Islam yang terluas di muka bumi ini. Wallahu a’lam. (usb/dakwatuna)

Redaktur:

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lahir di Batu Penyabung Sarolangun Jambi. Mengabdi kepada negara sebagai tenaga pengajar di beberapa institusi Pendidikan di Jambi. Dosen Fak Syariah IAIN STS Jambi. Alumni Ph.D National University of Malaysia. Dosen Pascasarjana & Kepala Pusat Penetian dan Penerbitan IAIN STS Jambi.

Lihat Juga

Rekonsiliasi Tidak Gratis, Israel Jamin Keamanan Arab Terhadap Ancaman Iran

Figure
Organization