Topic
Home / Pemuda / Cerpen / ‘Amolongo!’ Sapaku

‘Amolongo!’ Sapaku

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Tiga bocah kampung Mulyasari di selatan wilayah Ciamis, Jawa Barat riang gembira tatkala musim kemarau tiba. Sepulang jam sekolah tanpa mengganti pakaian mereka langsung pergi ke sawah, di belakang perumahan berbilik bambu tempat kelahiran. Bocah-bocah udik itu asyik membawa layangan buah karya mereka sendiri. Sedangkan para orang tua bersimbah keringat menunai padi di sawah. Burung-burung pipit dan jenis burung sawah yang lain berterbangan mencari tempat yang belum dipanen.

Layangan mengudara di langit terbuka. Beragam corak dan bentuk menghiasi langit yang cerah. Ada yang berupa orang-orangan, ada yang bermotif kodok, ular berekor panjang dan ada juga sasawangan yang paling digemari anak-anak. Terik matahari tak menurunkan semangat mereka untuk menikmati masa kanak-kanak yang bebas dari segudang masalah. Tampak layangan Ujang sudah membumbung tinggi di cakrawala nan biru. Dia piawai sekali menggunakan benang-benang nilon yang dililitkan ke kaleng bekas susu. Entang, teman sebayanya pun tak tinggal diam menarik ulur benang hitam. Bocah- bocah kampung itu kumal, bersandal jepit berlawanan dan berpakaian dekil. Peluh keluar dari kening mereka, tanpa perlindungan kaca mata anti Ultra Violet, bocah-bocah kutil itu menatap telanjang sinar surya.

Ada juga orang tua yang gemar permainan ini. Dari kejauhan ada layang-layang yang menukik dan memutar-mutar. Gandi, seorang pemuda yang suka usil sengaja mengait layangan Ujang. Dengan lima kali putaran layangan anak itu putus. Jengkel sekali anak ingusan itu dibuatnya. Anak-anak yang lain berebut mengejar layang-layang yang hilang kendali. Sedangkan si pemilik merasa gondok karena susah payah membuatnya. Ujang akhirnya memulut sisa benang. Sebaliknya Gandi hanya menyeringai saja merasa puas layangan lawan bisa putus.

Ujang meninggalkan sawah dan menuju ke rumah. Dirinya merasa lesu, jengkel dan lapar. Dia berniat membuat layangan yang lebih hebat dan akan membeli tali nilon yang lebih kuat lagi untuk mengalahkan Gandi. Sesampai di belakang rumah, bapaknya memanggil.

‘’Jang, tolong bantuin ngangkat jemuran padi.’’

‘’Nanti dulu Abah, saya mau makan dulu.’’ sahut Ujang.

Ujang pergi ke dapur. Dilihatnya makanan sisa pagi hari. Nasi yang sudah dingin dan sambal terasi masih lengket di lumpang batu. Tak ada lauk pauk yang lain. Dia pergi ke pinggir rumah mencari petai China. Setelah mendapatkan beberapa genggam, petai kecil itu dikupas dan ditaburkan di atas nasi dicampur garam. Karena lapar, makanan kurang gizi itu dilahapnya juga. Dia langsung pergi mencari bambu dan golok. Di belakang rumahnya ada kandang ayam dan domba sebagai mata pencaharian sampingan orang tuanya. Ujang meraut potongan bambu dan dia mengukurnya dengan teliti. Ada beberapa potongan sisa kertas wajit di dapur. Berbekal lem nasi akhirnya dia bisa membuat layangan baru.

Tiba-tiba terdengar suara bapaknya dari belakang,

‘’Ujang, ke sini tolong bantu Abah!’’ nadanya tinggi.

Tapi Ujang tak menyahut, malahan hendak pergi lagi ke sawah. Dilihatnya Ujang berjalan cepat ke arah sawah, bapaknya naik pitam. Dia berjalan setengah lari. Layangan hasil karya anaknya itu direbut.

‘’Mau kemana lagi kamu?’’ hardik bapak beranak lima itu.

‘’Bermain layangan lagi Bah.’’

‘’Kamu tidak tahu? Orang tua sedang menjemur padi? Jangan main dulu sebelum pekerjaan selesai!’’

Ujang berusaha merebut layangan dari tangan bapaknya. Tapi, layangan Ujang dirobek bapaknya. Tangannya digusur ke arah jemuran padi. Ujang meronta-ronta dan banjir air mata. Merasa kesal, bapaknya memegang sapu lidi dan dihujamkan ke arah kaki Ujang berkali-kali. Tak kuasa menahan sakit, anak yang duduk di bangku kelas 2 SD itu menangis terisak-isak. Ibunya yang dari tadi sedang memasukan padi ke karung merasa iba dan menghampiri Ujang.

‘’Makanya harus turuti keinginan orang tua. Sudahlah jangan nangis, laki-laki harus kuat.’’

Terlihat kedua kaki anak itu luka kemerahan bergaris karena bekas sabetan sapu lidi ayahnya. Ujang akhirnya membantu memasukan jemuran padi orang tuanya. Padi hasil panen itu sekitar 6 karung. Cukup untuk hidup di kampung. Tak sulit mencari lauk pauk untuk para keluarga di kampung Mulyasari pada tahun 1986-an. Sayur mayur cukup memetik di depan rumah. Bayam, katuk, daun singkong, dan lombok merah berlimpah ruah.

Menjelang Maghrib anak-anak sudah berkumpul di serambi mesjid Nurul Hasanah untuk mengaji. Bangunan itu sudah tua. Tiang-tiangnya sebagian dimakan rayap. Dan langit-langit tempat ibadah itu banyak bolongnya termakan usia. Tak ada dana untuk biaya renovasi karena perekonomian masyarakat setempat kurang mampu. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian buruh tani dan mengandalkan hasil kebun.

Ujang berjalan tertatih-tatih menuju mesjid itu karena kakinya masih terasa perih. Sarung lusuh pemberian sewaktu dia khitanan di usia 6 tahun dikenakannya. Kopiah longgar pemberian Haji Sofyan dipakai Ujang untuk menuntut ilmu di mesjid kecil itu. Teman sebayanya berkumpul dekat beduk. Mereka berlomba untuk menabuhnya sesaat sebelum adzan berkumandang.

Waktu magrib tiba, kentungan dan beduk dipukul anak-anak disusul seorang muadzin mengumandangkan adzan di dekat mimbar. Sebagian penduduk sekitar berduyun-duyun datang ke surau kecil itu. Tak ada lampu TL atau lampu listrik. Hanya lampu teplok remang-remang menerangi rumah ibadah di kampung itu. Senja bertambah gelap. Sesosok tubuh berjalan ke arah kerumunan orang di dalam. Ternyata beliau ustadz Aceng guru ngaji Ujang dan kawan-kawan. Setelah selesai sholat, anak-anak berkumpul di bawah sinar lentera yang remang-remang. Secara bergiliran mereka membaca kitab suci Alquran, hafalan surat-surat pendek dan bacaan shalat. Bagi murid yang sudah agak dewasa, kitab kuning mulai diajarkan oleh pak ustadz seperti; Safinah, Tijan, Sulam Taufiq, Ihya Ulumuddin, Taqrib dan ilmu nahwu Jurumiyah. Guru setengah tua itu selalu menekankan kepada murid-muridnya untuk belajar di kala dini.

‘’Kalau kita sudah tua banyak hal dipikirkan membuat daya ingat jadi melemah. Apalagi sudah berumah tangga, orang tidak terpikirkan untuk mencari ilmu. Makanya sekarang harus rajin menuntut ilmu’’ tandasnya.

Anak-anak menganggukan kepala mereka tanda mengerti apa yang diucapkan gurunya. Waktu Isya anak-anak berhenti belajar. Seusai sholat bersama anak-anak pulang ke rumah masing-masing. Ujang keluar dari mesjid bersama teman-teman yang lain. Entang dan Dedi berjalan bersama. Di bawah rembulan purnama mereka menelusuri jalan berlubang tak beraspal. Malam sunyi dan gelap. Tapi bocah kampung itu riang gembira bersenda gurau satu sama lain. Mereka berencana esoknya libur sekolah mau mencari jangkrik di sawah.

Musim panen hampir selesai disusul dengan kemarau panjang. Biasanya para petani bercocok tanam palawija seperti jagung dan kedelai. Sa’at yang tepat mencari jangkik untuk dimainkan para anak kecil. Sesampai di rumah, Ujang dan keluarga mendengarkan radio satu-satunya hiburan masa itu. Dongeng yang dibawakan Mang Barna di salah satu chanel radio swasta menjadi favorit masyarakat. Mereka merasa menyesal kalau tidak bisa mendengarkan cerita satu malam saja. Cerita rakyat di radio menimbulkan imajinasi tersendiri. Tidak seperti media visual serba canggih di jaman sekarang. Setelah dongeng selesai, keluarga Ujang terlelap ditelan gelapnya malam dan udara dingin yang menyelimuti mereka. Suara binatang malam menjadi musik pengiring tidur di kampung Batu Bodas.

Dini hari suara ayam berkokok panjang. Keluarga Ujang terbiasa bangun pagi. Terdengar suara beduk ditabuh. Di bangunkan orang tuanya, Ujang melek dan pergi ke tempat wudhu berbentuk guci terbuat dari tanah liat. Sedangkan keempat adiknya masih tertidur pulas. Setelah itu anak dan bapak pergi ke surau terdekat. Hawa pagi menusuk kulit mereka. Berbalut sarung butut mereka melangkah. Lampu remang-remang di dalam mesjid tidak menjadikan mereka enggan untuk datang memenuhi panggilan Illahi. Hanya segelintir orang saja di dalamnya. Kakek Acim selalu menempati pojok mesjid sebelah kanan. Dengan terbatuk-batuk dia berusaha selalu hadir dalam sholat berjamaah lima waktu walaupun tubuhnya sudah rapuh dimakan usia. Akhirnya, mereka menunaikan ibadah sholat yang sering sekali orang lalai karena terlelap di alam mimpi.

Keluar dari mesjid tua itu, Ujang berjalan dengan bapaknya. Terlihat ufuk timur mulai terang. Udara segar terhirup di pagi hari. Dedaunan penuh dengan embun. Ramai sekali orang beraktivitas di kampung itu. Ada yang membawa sepeda hendak ke pasar dengan membawa domba dimasukan ke dalam keramba untuk dijual. Pedagang ayam dari kampung tetangga; Sindangjaya namanya juga turut ramai memakai jalan berbatu yang sudah banyak lubangnya. Sesampai di rumah, singkong bakar dan teh hangat sudah tersedia. Ujang sekeluarga berdiang di dekat tungku perapian demi mendinginkan badan. Teh manis dan makanan ringan ala orang kampung itu disantapnya ramai-ramai sekeluarga.

Pak Pardi, sebutan ayah Ujang tak tinggal diam. Dia pergi ke kebun dengan membawa sebuah cangkul. Tak terkecuali Ujang gesit juga pergi ke sawah dengan membawa arit kecil dan sebuah karung. Dia mau merumput untuk domba kesayangannya. Di tengah jalan ke sawah, bocah itu bertemu dengan Entang sahabatnya. Dia juga satu arah mau mencari rumput ke sawah untuk pakan marmut dan kelinci piaraannya. Mereka berdua asyik ngobrol tentang permainan yang sedang digemari anak-anak kala itu, jangkrik dan main gangsing. Sembari merumput, mereka juga riang mencari jangkrik di sela-sela tanah yang sudah retak.

‘’Jang, sebelah sana ke tempat yang banyak tanaman kedelainya. Biasanya jangkrik banyak di bawah palawija.’’ Entang menunjuk ke sebuah sebidang tanah yang telah hijau dengan kedelai.

‘’Aku sudah dapat satu, jangkrik Jaliteng. Bongkar lagi tanahnya.’’ Ujang bergembira mendapatkan dua ekor sekaligus.

‘’Aku dapat satu’’ sahut Entang setengah teriak kegirangan.

Jangkrik dimasukan ke ketupat yang mereka buat dari helai daun kelapa. Mereka berdua asyik membongkar celah-celah tanah sawah. Tanaman kedelai baru berbunga itu jadi seperti terkena topan karena ulah tangan anak-anak. Tiba-tiba terdengar suara keras dari belakang mereka.

‘’Hey, asu edan!!! Apa yang sedang kamu lakukan? Kamu berdua merusak tanamanku!’’ ujar pemilik tanaman itu geram.

Kedua anak itu menatap dengan penuh ketakutan. Tanpa berpikir panjang, mereka berdua mengambil langkah seribu. Pemilik tanah itu tambah sewot lalu mengambil sebuah tanah segenggam tangan dan dilemparkan ke arah dua anak kecil itu. Tanah pematang sawah yang kering itu mengena punggung Ujang dan dia rubuh kesakitan.

‘’Aduh…!’’ teriaknya.

Entang yang lebih cepat larinya, melihat teman sebayanya jatuh. Dia langsung berbalik menghampiri. Tapi, bapak bermuka garang itu langsung menangkap Entang dan langsung memukuli kakinya dengan sebatang pohon ketela pohon. Kedua anak kecil itu menjadi bulan-bulanan pemilik sawah yang tidak terima palawijanya rusak dicabuti.

Di sa’at genting itu, terdengar suara;

‘’Hentikan, Madsurun!’’

Pemilik sawah itu bernama Madsurun. Dia melihat ke arah suara yang sudah tidak asing lagi, yaitu Haji Burhan sesepuh masyarakat di kampung Mulyasari. Pak Haji yang kebetulan melewati tempat itu mencoba untuk melerai dan menjernihkan suasana. Akhirnya, Madsurun melepaskan kedua bocah itu dengan bersungut-sungut.

‘’Lain kali kalau mau mencari jangkrik jangan di tanaman orang, nak’’ ujar pak Haji dengan nada lemah lembut.

Kedua anak itu mengangguk sambil meringis menahan sakit. Karung yang berisi rumput dan arit dipikul Ujang dan Entang sambil berjalan ke arah pematang sawah yang lain. Jangkrik hasil tangkapan mereka untungnya masih ada di dalam wadah yang berupa cangkang ketupat dari daun kelapa. Matahari mulai menyengat. Burung-burung beterbangan kian kemari menghirup udara segar dan mencari mangsa. Angin sepoi-sepoi meniup dedaunan di pematang sawah. Para petani berteduh di dalam dangau sederhana untuk menyantap makanan.

****

Tiba-tiba Ujang terperanjat dari ingatan masa kecilnya. Tak terasa sekarang usianya sudah genap 22 tahun, padahal terasa seperti kemarin sore mengalami kejadian yang sedang diingatnya. Dia tertegun sejenak dan melihat jam beker menunjukan pukul 1600 WIT. Hari itu libur, tak ada TV atau internet di kamar. Badannya terasa lemas dan ngilu karena ada di udara dingin yang ekstrim sekali. Satu minggu di kota Tembagapura dijalani demi lulus masa percobaan kerja. Teman satu kamar Ujang yang kebetulan sama-sama dari pulau Jawa jarang diam di kamar, dia sibuk main Play Station di kamar sebelah.

Di balik jendela barak, dia melihat atap-atap rumah para staff dan barak. Bus besar warna kuning menuruni jalan bukit yang terjal. Rintik-rintik hujan mengaburkan jendela. Terlihat orang orang berjalan memakai payung mengarah ke komplek perumahan yang dihubungkan dengan jembatan. Penduduk asli Papua berkerumun di depan Shoping Bujang, nama mini market di sebuah kota di balik awan itu.

Dia kembali mengingat bagaimana bisa terdampar di kota di atas awan itu. Sore hari ketika pertama kali menerima tiket pesawat Jakarta-Timika hatinya suka cita. Membayangkan bagaimana enaknya naik kapal udara. Kini bukan hanya sekedar impian masa kecil laksana layang-layang yang bisa terbang melihat indahnya alam dari udara. Malam harinya, Ujang mengalami insomnia dan terus berdiskusi dengan seorang teman dari Wonogiri yang juga sama esoknya pergi bersama.

Pagi hari Ujang dan Tyo meninggalkan guest house, sebuah tempat yang disediakan perusahaan yang terletak di Jakarta Selatan. Setelah proses pengecekan tiket dan boarding pass, mereka masuk ke pesawat berplat kekuningan. Di dekat pintu dua orang pramugari berparas elok tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. Pesawat mulai maju perlahan di landasan pacu. Sesaat airplane yang dicarter perusahaan tembaga dan emas dari Papua ini berhenti di run way. Terdengar suara mesinnya menggerung tinggi dan melaju dengan kecepatan di atas 300 km/jam. Badan penumpang terasa terdorong ke tempat duduk dan terlihat di kaca jendela Ujang dan Tyo sudah melayap meninggalkan Cengkareng. Kami merasa senang bisa terbang untuk pertama kali.

Perjalanan kurang lebih sekitar 5 jam dari Jakarta ke Timika. Sebelumnya transit di bandara Hasanudin, Sulawesi Selatan (Sulsel). Diteruskan penerbangan ke Irian. Cuaca hujan dan berawan membuat pesawat mengalami kesulitan mendarat. Setelah berputar-putar di udara sejenak, akhirnya mendarat. Bandara itu tersirami air hujan. Penduduk lokal pun banyak terlihat di sekitar bandara melihat kedatangan para penumpang. Land Cruiser yang Ujang tunggangi melaju dari bandara Timika ke pegunungan Soedirman. Dari bawah kelihatan bukit-bukit yang diselimuti kabut.

‘’Perjalanan ke Tembagapura sekitar 2 jam lagi dari sini’’ sopir perusahaan menjelaskan.

Perjalanan yang amat panjang. Di sebelah kanan dan kiri bahu jalan dikelilingi pohon-pohon yang sangat jarang ragamnya. Mobil 4WD terus merangkak dan menelusuri tanjakan-tanjakan terjal. Tak terdengar percakapan yang banyak di antara mereka. Ujang dan temannya juga merasa ngeri dan takut mobil mereka terpeleset dan jatuh ke jurang. Pernah terdengar kabar, kalau mobil masuk ke jurang tinggal ‘tabur bunga’ saja saking tinggi dan kecil kemungkinan untuk bisa diselamatkan. Melewati hidden-valley, lembah tersembunyi Ujang dan Tyo hanya berdecak kagum karena keindahannya. Di atas lembah terdapat perumahan-perumahan elit bagi para staff level superintendent ke atas. Seperti melihat villa-villa di bukit Puncak Cianjur.

Setelah petualangan yang mendebarkan itu, akhirnya mereka sampai juga di Township Tembagapura. Sebuah lokasi yang berisi apartment-aparment bagi para pekerja. Lengkap sekali dari shoping centre, bank, mesjid, gereja, tempat hiburan, kantor pos dan rumah sakit besar bertingkat. Nafas Ujang dan Tyo terengah-engah dan mengeluarkan asap. Hawa terasa dingin menyerap ke tulang sendi-sendi. Mereka langsung diantar ke barak bujangan. Akomodasi sementara di dalam masa probation.

Ujang langsung mengambil handuk. Langsung dibukanya keran dan mandi. Badannya menggigil karena air sangat dingin sekali. Seperti air es di kulkas. Awalnya, dia tidak tahu bahwa ternyata keran air untuk mandi itu ada dua. Warna merah dan biru yang bisa dicampur sebagai air hangat. Namanya juga dari kampung belum tahu. Dengan badan seperti orang kena demam Ujang menggigil ke kamar dan mendekati heater yang terletak dekat jendela.

Setiap hari di balik jendela ruangan training, Ujang melihat bus besar warna kuning menuruni jalan bukit yang terjal. Rintik-rintik hujan mengaburkan jendela. Terlihat orang orang berjalan memakai payung mengarah ke komplek perumahan yang dihubungkan dengan jembatan.

****

Sudah hampir seminggu di Tembagapura. Ujang merasa suntuk dengan kondisi geografis yang sangat jauh berbeda dengan kota kelahirannya. Bola api raksasa itu hanya muncul sekitar dua jam dalam sehari. Kabut tebal selalu menyelimuti kota itu. Diselingi hujan rintik-rintik. Hawa yang ekstrim dingin membuat nafas terengah-engah. Singlet, kaos, baju seragam dan jaket membaluti badan Ujang ke tempat kerja yang jaraknya sekitar 100 meter dari barak. Gunung-gunung mengelilingi kota Tembagapura. Jalan jalan terjal hampir setiap pagi dipenuhi bus-bus besar mengangkut para pekerja tambang emas. Pagi sekitar jam 05:30 Ujang dan Tyo pergi ke Mess Hall yang terletak di bawah tempat tinggal. Makanan hangat telah berjejer bebas sesukanya tanpa dipungut biaya. Hanya dengan memberikan kupon makan ke Satpam para karyawan bisa masuk untuk menyantap hidangan.

Kebetulan minggu itu masih dalam proses orientasi kerja dan training Basic Life Support (BLS) dan Advance Life Support (ACLS). Ada delapan orang peserta di dalam internal training tersebut. Materi-materi harus benar dikuasai sebelum terjun ke dunia Emergency.

‘’Ini gambar EKG apa dik?’’ instruktur nanya.

‘’Asystole!’’ salah satu peserta training mencoba menjawab.

‘’Cukimai dik! Salah! Bisa mati nanti pasennya!’’

‘’Mr.Instructor, please don’t use Cukimai word! It’s sound bad!’’ Ms. Brenda, supervisor asal Irlandia itu komplen kepada si pelatih karena menggunakan kata umpatan.

‘’I’m sorry Bu Brenda!’’ tukas trainer.

Ujang dan Tyo lulus training tersebut. Mereka segera dirotasikan ke area Ward, dan Emergency Room (ER).

‘’Besok Ujang kerja di Emergency Tembagapura ya?’’ pak Rustam (ER Supervisor) menginstruksikan.

‘’Iya pak.’’

‘’Sementara Tyo ke Banti Hospital.’’

‘’OK pak.’’ Sahut Tyo.

Ditugaskan untuk pertama kalinya di ER, Ujang termasuk cepat di dalam beradaptasi. Semua loker diamatinya. Letak obatan-obatan, prosedur dan alat-alat penunjang dipahaminya dengan mudah. Menjelang siang ada penduduk lokal datang ke ER.

‘’Kenapa bapak?’’ tanya perawat Senior.

‘’Kepalas takis! Kepala mau pecah!’’

Lelaki berompi tambang itu menggigil. Ujang dengan cekatan mengukur tekanan darah dan memeriksa suhu badan. Suhu badan pasen itu panas.

‘’Nanti bapak kasih tau dokter ya?’’

‘’Bapak tak mau dokter belah-belah.’’ jawab si pasien.

Tak lama dokter datang. Setelah diperiksa dengan seksama.

‘’Tolong cek dengan Malaria Test.’’

Setelah dicek dengan menggunakan Malaria Strip, hasilnya positif Malaria Palcifarum.

‘’Segera kirim ke ruangan untuk diobservasi dan mainkan pengobatan Malaria!’’ perintah dokter.

Memang biasanya setelah karyawan bepergian ke daerah Timika di dataran rendah banyak yang terkena penyakit Malaria dikarenakan memang daerah itu endemik nyamuk Anopeles. Tugas di bagian ER terasa melelahkan. Berbeda dengan bekerja di Puskesmas tempat Ujang bekerja sebelum ke Papua. Selalu ada saja kasus kedaruratan yang perlu ditangani secara cepat dan akurat. Akhirnya, dua minggu penugasan di RS Tembagapura selesai. Pindah ke Banti Hospital.

RS Banti kurang lebih tiga puluh menit dari kota Tembagapura. Menuruni jalan yang terjal sambil terkantuk-kantuk di pagi hari menggunakan kendaraan 4 WD. Sungai mengalir deras di samping bawah jalan berkerikil itu. Sepanjang jalan terlihat penduduk setempat berjalan kaki. Mereka bergerombol berjajar memanjang. Di kepala ibu-ibu digantungkan noken (baca: sejenis tas) yang bisa diisi sayuran bahkan anak babi. Terlihat juga perbukitan dekat Banti Hospital ada perumahan penduduk yang telah disediakan perusahaan.

Siang itu di RS Banti, Ujang kedatangan ibu-ibu membawa anak kecil.

‘’Amole!’’ sapa Ujang.

‘’Amole!’’ sapa ibu-ibu di ER.

Amole adalah kata sapaan seperti halo.

‘’Kenapa mama?’’

‘’Anak menangit terus. Semalam tidak bisa tidur.’’

Perawat Senior memberikan Adol suppositoria. Menurut info, ada sekitar tujuh suku yang bermukim di sekitar kawasan Tembagapura. Mereka bisa mengakses fasilitas kesehatan secara gratis. Diantara ketujuh suku itu adalah: Amungme, Moni, Dani, Kamoro dll. Satu unit helicopter selalu stand-by untuk melayani penduduk setempat dari pegunungan sekitar lokasi tambang.

Begitulah keseharian Ujang di tempat kerja barunya. Setelah pulang ke barak dia merasa lemas dan lapar. Acapkali, malam harinya Ujang dan Tyo pergi ke fasilitas hiburan menonton filem di Bioskop.

‘’Amolongo!’’ Ujang menyapa orang lokal yang sedang berkerumun di dekat Shoping Bujang (tempat belanja).

Sudah menjadi tradisi penduduk lokal, jika melewati orang yang sedang duduk harus mengucapkan kata Amolongo (bentuk jamak dari Amole!). Sapaan tersebut sebagai bentuk penghargaan atau pun salam. Setelah mata terasa ngantuk, Ujang dan Tyo balik ke barak. Suasana barak memang lumayan luas. Ada dua tempat tidur susun dan empat loker kecil. Sementara di dekat meja ada pemanas ruangan. Meski memakai hiter, Ujang dan Tyo menggigil kedinginan. Baju dobel, kaos kaki dan kupluk adalah pakaian wajib setiap malam.

Meskipun terbilang di daerah pegunungan, tapi fasilitasnya tak kalah bagus dengan perkotaan. Tempat belanja (Carrefour), Fitness Centre, Library, lapangan sepak bola, tempat ibadah semua tersedia. Memang Tembagapura dijuluki negeri di atas awan. Sebagian barang-barang diimpor dari Australia. Coklat dan makanan ringan melimpah ruah bermerek negara Kangguru. Ujang pergi ke tempat belanja membeli coklat untuk oleh-oleh untuk adik-adiknya di kampung halamannya.

Sehari sebelum pulang, Ujang dan Tyo menghadap Chief Nurse.

‘’Ujang, berdasarkan evaluasi baik dari laporan rekan-rekan kerja dan perawat senior menyimpulkan bahwa Ujang masih perlu meningkatkan kemampuan. Ada yang perlu digaris bawahi, ada laporan bahwa Ujang hanya duduk diam saja ketika perawat senior sibuk. Apa betul?’’

‘’Itu nggak betul, Bu! Kalau boleh tahu siapa yang melaporkan saya? Masa orang lagi sibuk kerja, saya hanya duduk manis? Nggak mungkin!’’

‘’Laporan ini akan saya kirimkan ke kantor Jakarta.’’

‘’Jadi, saya akan dikirim ke lokasi mana lagi setelah masa probation ini Bu?’’

‘’Saya kurang tau secara pasti. Orang Jakarta akan mengurus.’’

Ujang merasa kecewa dengan penilaian yang bersifat subjektif. Tuduhan para perawat senior itu tidak mendasar. Tapi, dia tak menghiraukan. Kalau masih bagus kerjanya tentu kantor Jakarta akan mengirimnya ke lokasi lain.

Saatnya pulang yang ditunggu-tunggu datang. Ujang dan Tyo yang berposisi sebagai Rotating Paramedic dari perusahaan Pelayanan Jasa Kesehatan ini akhirnya meninggalkan Tembagapura. Mereka berpamitan kepada para staff. Ujang membeli cendera mata patung karya suku Asmat sebagai pertanda dia pernah menjejakkan kaki di pulau tempat habitat burung Cenderawasih itu. Kunjungan mereka ke sana merupakan yang pertama dan terakhir, karena Ujang setelah libur satu minggu dikirim ke tambang emas di Pulau Sumbawa, NTB pada bulan Agustus 2002.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Laki-laki Ciamis yang berdomisili di Doha, Qatar.

Lihat Juga

Sebening Senja Menyapaku

Figure
Organization