Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Menjaga Cintamu Dalam Naungan Cinta-Nya

Menjaga Cintamu Dalam Naungan Cinta-Nya

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: islam.ru)
Ilustrasi. (Foto: islam.ru)

dakwatuna.com – Matahari sudah semakin meninggi, teriknya mulai menyebar ke seluruh pekarangan rumah Rahma yang semakin ramai oleh sanak saudara dan kerabat lainnya. Sudah sekitar satu jam yang lalu, penghulu yang akan menikahkan Rahma dan Arman menunggu di dalam rumah Rahma. Rasyid, kakak kandung Rahma yang juga suami dari Mira, sedari tadi mondar-mandir didepan gerbang rumahnya. Rahma pun berkali-kali melirik jam dinding di kamarnya sejak mendengar Arman dan keluarganya belum juga datang. Rahma terlihat begitu cemas menanti kedatangan calon suaminya itu.

“Kenapa Arman belum juga datang ya, Mba ?”, ucap Rahma sambil melirik ke arah Mira yang masih setia menemani Rahma didalam kamarnya.

Insya Allah, dia akan segera datang kok.”, sahut Mira menenangkan kegelisahan Rahma.

“Tapi sudah lebih dari satu jam kita menunggu dan Arman belum juga datang. Bahkan dia sama sekali tak memberiku kabar di mana dia saat ini, dan kenapa dia belum juga datang. Ini hari pernikahaan kita Mba, harusnya dia bisa datang tepat waktu.”,,Rahma semakin panik melihat jam dinding yang terus berputar.

“Tenang Ukhti. Mungkin ada sedikit masalah yang menghambat Arman dan keluarganya. Apapun yang nanti terjadi, yakinlah semua ini kehendak-Nya. Inilah jalan-Nya yang Insya Allah terbaik buatmu.”, sahut Mira mencoba menenangkan.

“Semoga dia gak kenapa-kenapa ya Mba.”

Aamiin…”

“Kriiiing…..Kriiing….”, ditengah kepanikan yang melanda Rahma dan seluruh keluarganya yang sudah hadir memenuhi undangan, tiba-tiba suara handphone Rahma berdering memecahkan keheningan.

“Halo, Assalamu’alaykum.”, Rahma buru-buru mengangkat handphonenya tanpa melihat siapa yang menelponnya.

Wajah Rahma tiba-tiba terlihat pucat pasi, air mata pun meluncur dari kedua mata bening Rahma.

“Tapi kenapaaa, Kaaak ?”, suara Rahma terdengar bergetar menahan isak tangis. “Baiklah kalau memang itu sudah menjadi keputusan Kak. Arman dan keluarga, Insya Allah aku ikhlas menerima semuanya, Kak. Semoga Allah tetap menjaga silaturahim keluarga kita. Wa’alaykummusalam Warrahmatullahi Wabarakaatuh.”, Rahma mengakhiri pembicaraan di teleponnya.

Akhirnya Rahma sudah tidak sanggup lagi membendung butir-butir air yang semakin berdesakkan di sudut matanya. Butiran air matanya pun kini mengalir membasahi pipinya yang kemerahan.

“Kamu kenapa, Dek ?”, tanya Mira panik melihat Rahma yang menangis tersedu-sedu.

“Kak Arman, Mba… Hiks…Hiks…”, jawab Rahma terisak.

“Kenapa dengan Arman ? Apa yang dia katakan ? Apa yang membuatmu menangis ? Katakan sama Mba, Dek !”.

“Arman membatalkan pernikahan kita, Mba. Dia tidak menjelaskan apa alasannya. Dia hanya bilang ini semua sudah menjadi keputusan dia dan keluarganya. Aku ikhlas menerima keputusannya, tapi apa yang harus aku katakan pada Ummi dan Abi , Mba ?! Mereka pasti sedih mendengar berita ini.”

Innalillahi… kuatkan hatimu, Rahma. Insya Allah ini sudah menjadi jalan-Nya. Akan ada hikmah dan pelajaran berharga dari semua kejadian ini. Mungkin Arman bukan yang terbaik untukmu dan bukan lelaki yang namanya telah Allah tuliskan di Lauhul Mahfudz sebagai jodohmu.”, Mira memeluk tubuh Rahma yang terlihat layu.

Kabar pembatalan pernikahan yang disampaikan Arman pun segera terdengar di telinga kedua orang tua Rahma dan juga sampai di telinga Rasyid. Mereka semua terkejut dan tampak sedih mendengar kabar tersebut. Apa mau dikata, penghulu sudah terlanjur datang dan menunggu lama, begitu juga kerabat-kerabat terdekat yang sudah hadir memenuhi undangan. Rahma dan keluarganya pasti menjadi gunjingan tetangga-tetangga terdekatnya jika tahu Rahma tak jadi menikah. Tapi melanjutkan pernikahanpun terasa tak mungkin tanpa adanya mempelai pria yang akan disandingkan dengan Rahma.

Tiba-tiba Rasyid berlari keluar dan terlihat seperti tengah mencari seseorang. Setelah menemukan orang yang dia cari di tengah kerumunan para tamu yang hadir, Rasyid langsung menarik masuk orang itu ke dalam rumah.

“Maukah kau menjadi mempelai pria untuk adikku ?”, tanya Rasyid pada pemuda yang ada di hadapannya.

“Apa maksudmu, Akh? Bukankah adikmu sudah memiliki calon mempelai prianya ?”. Pemuda yang bernama Ilham itu balik bertanya dengan wajah herannya.

“Aku tahu kau menaruh hati pada adikku, tapi kau simpan sendiri dalam diammu karena kau tahu adikku, Rahma, sudah ada yang meminangnya. Tapi mungkin engkaulah jodoh untuk dia yang sebenarnya. Ini kesempatan untukmu Akh, ini mungkin jalan-Nya yang telah dia rencanakan untukmu dan adikku Rahma.”

“Tapi, Akh…”

Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian sudah mampu secara materi dan jasmani maka menikahlah karena hal itu bisa menjaga mata dan kemaluan, maka barang siapa tidak mampu hendaknya ia berpuasa karena puasa terdapat obat. (H.R. Muttafaqun Alaih). Aku yakin kau termasuk pemuda yang sudah mampu seperti sabda Rasulullah SAW yang tadi aku sebutkan. Aku butuh jawabanmu sekarang, Akh Ilham. Maukah kau menjadi mempelai pria untuk adikku, Rahma ?”, Rasyid semakin menegaskan pertanyaannya.

Ilham tampak menghela nafas panjang. “Bismillahirrahmaanirrahiim… Insya Allah aku siap, Akh.”, dengan mantap Ilham menjawab sekaligus memenuhi permintaan Rasyid, sahabat karibnya.

Pernikahan Rahma pun tetap dilangsungkan, dengan mempelai pria yang berbeda. Meski banyak desas-desus yang terdengar dari keluarga dan kerabat yang hadir, hal itu tidak mengurangi kesakralan ijab-qobul yang dilangsungkan secara khidmat oleh Ilham dan penghulu yang sudah cukup lama menunggu.

***

Mentari mulai beranjak pergi meninggalkan awan dan tergantikan oleh sang rembulan. Hari yang kini berubah menjadi gelap sama sekali tidak meredupkan cahaya di wajah Rahma. Meski banyak celotehan warga setempat tentang tergantikannya mempelai pria untuk Rahma, namun hal itu sama sekali tidak membuat Rahma meratapi kepergian Arman yang entah mengapa dan ke mana.

Assalamu’alaykum, Dek Rahma.”, sapa Ilham pada Rahma yang sedang duduk di atas tempat tidurnya.

Wa’alaykummussalam, Mas Ilham.”, jawab Rahma dengan lemah lembut.

“Jika boleh aku tahu, bahagiakah kau menjadi istriku ?”, tanya Ilham sangat hati-hati.

“Tak ada alasan untuk aku tidak bahagia, Mas. Inilah jalan Allah yang sudah sejak lama tertulis di Lauhul Mahfudz tentang kita berdua. Aku sangat yakin bahwa inilah yang terbaik untukku. Dan, Mas Ilham jugalah yang terbaik untuk menjadi imamku.”, jawab Rahma dengan tegas dan jelas.

Alhamdulillah jika kau memang merasa bahagia menjadi pendampingku. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan cinta-Nya untuk kita berdua dan menjadikan keluarga kita sakinah, mawaddah, warahmah. Aamiin Allahumma Aamiin.”

Insya Allah, Mas. Karena Dia-lah yang memiliki hati ini, Dia pula yang mampu membolak-balikkan hati ini. Atas anugerah-Nya jugalah cinta itu akan hadir di sini.”, jawab Rahma sambil tersenyum lembut dan menunjuk ke arah dadanya.

>>>

Keikhlasan Rahma dalam menerima takdirnya serta kesabaran dan keyakinan Ilham akan kuasa-Nya menjadikan mereka berdua senantiasa dikelilingi oleh kebahagiaan. Cinta tulus Ilham pada Rahma yang tersimpan sejak lama atas nama Allah, kini terbalas sudah oleh cinta Rahma padanya. Keduanya saling mencintai semata-mata atas nama Allah yang Maha Penyayang.

Dalam kebahagiaan waktu terasa amat singkat untuk dilalui, bagai tak ada kesulitan yang berarti untuk dihadapi bersama. Setahun sudah waktu yang dilalui oleh dua sejoli yang kini saling mencintai atas nama-Nya. Dan kebahagiaan mereka pun semakin lengkap saat Allah menitipkan karunia terindahnya dirahim Rahma. Ya, ada janin yang kini bersemayam di tubuh Rahma, buah cintanya dengan Ilham.

Ujian dan cobaan merupakan fitrah manusia, karena dengan ujian itulah hidup manusia selaku hamba-Nya akan semakin berkualitas dan juga Insya Allah akan bertambah baik. Dan sebaliknya, jika hidup ini selalu dalam keadaan baik terus menerus, tanpa adanya satupun halangan dan rintangan, tentu manusia tidak mengetahui tingkat kebaikan atau kualitas yang ada pada dirinya.

Allah SWT berfirman : “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, pada-hal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu ? Mereka ditimpa oleh mala-petaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah ?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al-Baqarah: 214).

            Rahma yang pada hari itu mengetahui kabar gembira mengenai kehamilannya setelah pemeriksaan oleh dokter, berniat untuk memberikan kejutan kecil untuk suaminya. Sepulang dari rumah sakit, Rahma segera menyiapkan makan malam khusus bersama suaminya untuk menyambut kabar gembira tersebut.

Sepulangnya Ilham dari kantornya,dia terlihat begitu bahagia. Wajahnya tampak sumringah dan berseri-seri. Betapa terkejutnya Ilham sesampainya dia di rumah, melihat sambutan gembira dari sang istri. Meja makan yang sudah penuh dengan beberapa hidangan lezat ditambah senyuman merekah sang istri. “Dari mana istriku tahu kabar gembira yang belum aku sampaikan ?!”, pikir Ilham dalam hati.

“Mas, aku ada kejutan kecil untukmu.”

“Aku pun ada kabar gembira untuk kita.”, sahut Ilham.

“Apa itu ?”, tanya Rahma terheran.

“Hmm… bagaimana kalau Dek Rahma duluan yang ngasih kejutan.”

Kemudian Rahma menjulurkan sebuah amplop putih berlogokan salah satu rumah sakit di Jakarta sambil tersenyum. “Silahkan dibuka, Mas !”, pinta Rahma pada Ilham.

Bergegas Ilham pun melihat apa yang ada di dalam amplop putih yang Rahma berikan. Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri membaca kalimat yang tertulis di selembar kertas yang ada di dalam amplop itu. Seketika Ilham tersenyum, tapi tiba-tiba ia teringat satu hal yang senyum di wajahnya tiba-tiba menghilang.

“Kenapa, Mas ? Apa kau tak senang dengan kehamilanku ini ?”, tanya Rahma saat melihat wajah Ilham yang tertunduk.

“Bagaimana mungkin aku tidak senang dengan anugerah yang telah Allah titipkan untuk kita. Bagaimana mungkin aku tidak senang saat di mana aku akan menjadi seorang ayah. Satu lagi anugerah dari-Nya yang amat sangat aku syukuri.”

“Lalu, apa yang membuatmu terlihat bersedih ?”

“Tahu kah kau, apa yang ingin ku sampaikan padamu ? Hal yang sebelum ini membuatku juga bahagia ?”

Rahma menggelengkan kepala.

“Aku diberi amanah untuk mengurus kantor cabang yang ada di Austria, sekaligus mendapatkan beasiswa untuk meneruskan gelar S-2 ku di sana. Mungkinkah aku meninggalkanmu seorang diri di saat kau sedang hamil muda ? Tapi, akupun sudah terlanjur berjanji pada atasanku, bahwa aku menerima amanah itu.”

Sesaat ruangan terasa hening sejenak. Tak lama kemudian Rahma pun tersenyum yang dari sebelumnya terlihat diam mendengar ucapan suaminya tersebut.

“Mas, sekali lagi inilah jalan Allah untuk kita. Apapun yang telah Allah takdirkan untuk hamba-Nya, Insya Allah itulah yang terbaik untuk kita. Lagi pula, bukankah Austria adalah salah satu kota impianmu, di mana kau bisa melihat sisa-sisa kejayaan Islam yang ada disana ?! Pergilah mas, penuhi kewajibanmu, laksanakan amanah yang telah kau sanggupi di awal. Ada keluargamu dan keluargaku yang Insya Allah akan menemani dan menjagaku dengan baik.”

Kesepakatan pun telah dibuat. Rahma mengizinkan Ilham untuk pergi ke Austria dalam waktu satu tahun ke depan. Meski Rahma tahu saat-saat kehamilan pertamanya akan dilaluinya tanpa sang suami, sekaligus kemungkinan melahirkan anak pertamanya pun tanpa ditemani sang suami. Namun, Rahma berlapang dada dan dengan ikhlas melepas kepergian suaminya.

Akhirnya dengan sangat berat hati Ilham meninggalkan Rahma di Jakarta. Tapi sebelumnya, ia telah berpesan kepada kedua orang tuanya, orang tua Rahma termasuk Rasyid, agar mereka semua senantiasa menjaga dan menemani masa-masa kehamilan pertama istri tercintanya itu.

***

Satu hingga dua bulan telah berlalu sejak kepergian suaminya ke Austria, Rahma menjalani masa-masa kehamilannya dengan penuh kesabaran tanpa didampingi oleh sang suami. Meskipun begitu, sekalipun Rahma tidak pernah berkeluh kesah kepada keluarganya ataupun keluarga Ilham. Bulan demi bulan begitu Rahma nikmati dan ia jalani dengan penuh syukur kepada Sang Pencipta.

Walaupun di hadapan seluruh keluarganya Rahma terlihat begitu tegar jauh dari sang suami, tapi sesungguhnya Rahma melewati malam-malamnya yang berat dan penuh dengan cucuran air mata. Sebenarnya Rahma seringkali merindukan kehadiran Ilham. Apalagi di saat Rahma harus memeriksakan kandungannya ke rumah sakit. Saat melihat pasien lain yang datang didampingi oleh suaminya masing-masing, terkadang Rahma merasa teramat rindu akan kehadiran Ilham di sampingnya.

Hampir tiap malam Rahma terbangun dari tidurnya, kemudian ia berwudhu dan melaksanakan shalat malam untuk meminta ketenangan kepada Sang Maha Penyayang, dan memohon keselamatan untuk suaminya yang berada jauh di negeri orang.

“Ya Allah, meski aku tak mampu melihat apa yang saat ini suamiku kerjakan, aku percaya ia senantiasa mengingat-Mu dalam setiap hembusan nafasnya. Ya Allah, lindungilah suamiku dari segala bahaya dan godaan setan. Jauhkanlah ia dari segala perbuatan maksiat yang membuat-Mu murka, Ya Allah. Kuatkanlah keimanannya dalam menghadapi segala ujian yang telah dan akan Engkau berikan padanya. Jangan pernah Engkau biarkan ia terjatuh dalam jurang dosa yang teramat dalam. Sungguh atas nama-Mu aku selalu mencintainya. Aamiin Allahumma Aamiin.”

Begitulah untaian doa yang setiap malam selalu Rahma panjatkan kepada Sang Pemilik Jiwa. Rahma selalu mendoakan yang terbaik untuk suaminya, berdoa agar suaminya dijauhkan dari bahaya dan fitnah dunia. Tak lupa Rahma juga meminta keselamatan untuk bayi yang saat ini bersemayam dalam rahimnya.

Hingga tiba saatnya bulan kesembilan, saat-saat yang paling menegangkan untuk Rahma yang akan segera menjadi ibu baru. Rasyid segera memberikan kabar gembira tersebut kepada Ilham tentang kelahiran putra pertamanya. Terdengar isak tangis bahagia dari ujung telepon.

“Berikan nama untuknya Muhammad Ammar.”, pinta Ilham pada Rasyid.

***

Di usia Ammar yang telah menginjak tiga bulan, Ilham pun akhirnya kembali ke Indonesia. Kembali ke Jakarta untuk bertemu dengan keluarganya, terutama bertemu dengan istri dan putra pertamanya yang belum pernah dilihatnya. Ilham sengaja tak memberitahukan kedatangannya kepada siapapun, termasuk istrinya. Ia bermaksud memberikan sedikit kejutan kepada anak dan istrinya.

Sungguh amat sangat terkejut hati Rahma melihat kedatangan Ilham, suaminya. Bukan semata-mata kedatangan Ilham yang mendadak yang membuat Rahma terkejut. Melainkan kehadiran seorang wanita cantik berjilbab lebar yang datang bersama Ilham.

“Ini Fatimah. Dia akan menjadi ‘adikmu’.”, Ilham memberikan pernyataan tersirat pada istrinya, seolah ia mengetahui pertanyaan yang tersimpan di balik wajah sendu istrinya.

Rahma hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian memberikan sambutan hangat pada Fatimah.

Ya, ‘adik’ yang Ilham maksud adalah istri kedua dari Ilham. Maksud itu langsung Rahma pahami dan ia terima dengan lapang dada. Meski sesungguhnya ada duri yang tertancap tepat di hati Rahma dan membuatnya terasa ingin menangis, tapi hal itu tak membuatnya bersikap kasar pada Ilham apalagi pada Fatimah.

Fatimah adalah muslimah yang sudah menjadi Warga Negara Austria asli karena mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Ibunya adalah seorang Ustadzah yang berasal dari Indonesia, kemudian pindah ke Austria mengikuti suaminya. Fatimah mendapatkan pendidikan yang islami dari kedua orang tuanya yang memang merupakan seorang da’iah di Austria.

Malam harinya Ilham menceritakan alasan pernikahan keduanya dengan Fatimah yang tanpa memberikan kabar dan meminta izin terlebih dulu pada istrinya.

“Kondisi kehamilanmu yang lemah yang membuatku tak sanggup menceritakan mengenai kehadiran Fatimah dalam rumah tangga kita. Aku hanya tak ingin terjerumus dalam perzinahan saat aku berada jauh darimu. Ku harap kau bisa menerima kehadiran Fatimah dalam keluarga kita.”

Rahma hanya tersenyum. “Sepertinya ia wanita yang shalihah. Aku ikhlas Mas jika itu sudah menjadi keputusanmu. Mungkin inilah jawaban Allah atas semua doaku selama ini. Allah telah menjaga dan melindungimu dalam pengawasan-Nya.”

***

Satu bulan pertama Fatimah mencoba beradaptasi dengan keluarga barunya, dengan rumah barunya, dan dengan negara baru untuknya. Rahma pun selalu bersikap baik pada Fatimah dan seringkali berbagi cerita tentang Ammar, putra pertamanya dengan Ilham. Fatimah merasa dirinya diterima dengan sangat baik di keluarga Rahma dan Ilham. Akan tetapi hal itu tidak cukup membuat Fatimah merasa betah tinggal semakin lama di Jakarta, kota yang sangat panas, penuh polusi serta semua hiruk pikuk yang ada di kota ini. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan kota kelahirannya di belahan Benua Eropa nun jauh di sana.

Menginjak bulan kedua, Fatimah pun menyerah dengan proses adaptasinya. Ia mengutarakan ketidaknyamanannya tinggal lebih lama di Indonesia, apalagi harus jauh dari kedua orang tuanya. Fatimah pun akhirnya meminta pulang ke Negara asalnya di Eropa.

Ilham dan Rahma tak begitu saja membiarkan Fatimah kembali ke negara asalnya. Mereka berdua mencoba membujuk Fatimah untuk mau tetap tinggal di Indonesia. Namun keinginan Fatimah untuk pulang sepertinya sudah menjadi keputusannya yang tidak bisa lagi diganggu gugat.

“Aku sangat bahagia menjadi bagian dari keluarga kecil kalian. Tapi aku tak bisa tinggal lebih lama lagi di sini. Maafkan aku Ilham, Rahma. Aku ingin pulang ke negara asalku. Dan sebelum aku pulang, aku ingin meminta sesuatu darimu, Ilham.”, ucap Fatimah.

“Apa itu ?” tanya Ilham terheran.

“Aku sungguh meminta agar engkau mengucapkan Talaq terhadapku dan bahagiakanlah istri dan putramu. Aku ingin kalian menjadi keluarga yang utuh, tanpa hadirnya orang ketiga sepertiku.”

Betapa terkejutnya hati Rahma mendengar permintaan dari Fatimah pada suaminya. “Apakah aku membuatmu sakit hati ? Apakah kau merasa Ilham bersikap tidak adil padamu ?”, tanya Rahma dengan hati yang resah.

“Tidak, Kak Rahma. Kau sungguh telah berbuat sangat baik padaku. Aku menyayangimu dan Ammar putramu. Dan, aku pun merasa Ilham telah berlaku cukup adil padaku. Tapi aku harus pulang. Indonesia bukanlah negaraku.”

Apa boleh buat, Fatimah sudah tak bisa lagi dibujuk. Ia bukan anak kecil lagi, yang mudah dibujuk saat sedang merajuk. Akhirnya, Ilham pun memenuhi keinginan Fatimah. Ilham menceraikan Fatimah kemudian mengantarkannya kembali ke negara asalnya di Benua Eropa.

Kini Rahma kembali mendapatkan cinta Ilham yang utuh. Kesabaran dan keikhlasannya dalam menerima takdir Allah akhirnya berbuah manis. Kesetiaan dan cintanya yang tulus pada Ilham membuatnya dicintai sepenuh hati oleh suaminya. Terlebih lagi cinta sejatinya pada ‘Sang Pemilik Hati’, membuat Rahma mendapatkan keutuhan cinta Ilham, suaminya.

Sungguh, tak ada cinta yang lebih indah dari sebuah keikhlasan. Tak ada cinta yang lebih manis dari sebuah kesabaran. Dan sungguh tak ada cinta sejati yang paling abadi selain cinta seorang hamba kepada Rabb-nya. Cintailah apa yang kini kau cintai sesuai porsi-Nya, sesuai kehendak-Nya, dan sesuai dengan apa yang diridhai-Nya. Dengan begitu Insya Allah kau akan merasakan betapa indahnya dicintai oleh-Nya dan orang-orang yang juga mencintai-Nya. Aamiin Allahumma Aamiin. Waallahu’alam Bish-Shawab.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Kelahiran Majalengka, beberapa tahun lalu. Saat ini sedang menikmati setiap kegiatan di Yayasan Ihya Ul Ummah, Kota Bambu Jakarta Barat.�

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization