Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Catatan Hati Tentang Andy

Catatan Hati Tentang Andy

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (kawanimut)
Ilustrasi. (kawanimut)

dakwatuna.com – Andy ternyata sekarang kamu sudah berubah. Bahkan berubah drastis mungkin 360 derajat. Melalui event 3 hari yang lalu di Seminar Nasional itu aku sudah lama sekali baru melihatmu. Saat pertama kali namamu disebut aku sangat penasaran bahwa apakah nama itu adalah dia orang yang dulunya aku kenal. Rasa penasaran itu hilang berselimut dengan decap kagum saat menyaksikan bahwa ternyata nama yang disebut itu adalah teman SMA aku dulu. Engkau melangkah menuju podium untuk menyampaikan sambutan sebagai ketua Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di kampusmu dan hal itu semakin menambah kekaguman sekaligus kebahagiaan di dalam hatiku. Engkau berbicara penuh wibawah dan ketika aku membayangkan dan mengingat serta membandingkan waktu kita SMA dulu dengan yang aku saksikan pada saat engkau membawakan sambutan itu, aku jadi agak sedikit merinding.

Tapi begitulah skenario dari Tuhan, ketika Dia memberikan hidayah maka apapun bisa terjadi. Kita sebagai manusia hanya bisa terus berusaha dan berusaha. Aku ingat betul ketika waktu di kelas 2 SMA saat itu aku menjadi sekertaris Rohani Islam (ROHIS) di sekolah aku selalu mengajakmu untuk ikut juga bergabung tapi yang selalu engkau katakan “belum, aku ini masih pengikut dari Abu Thalib.”

Memang kisah paman Nabi itu memberikan sebuah isyarat kepada kita bahwa hidayah itu hanya dari Allah, dan manusia hanya bisa berusaha.

Ternyata hidayah itu engkau baru engaku dapatkan saat di kampus. Berbeda dengan diriku yang dari SMA saat salah seorang kakak kelas kita mengajak aku untuk bergabung di organisasi keislaman itu.

Banyak hal yang tidak bisa aku lupakan tentang dirimu waktu di sekolah dulu. Mungkin semua hal itu kamu sudah melupakannya, namun tidak dengan diriku. Apakah engkau tahu saat menjelang penaikan kelas di kelas satu dulu, saat kita latihan untuk pementasan drama, engkau menampar pipiku walaupun memang aku tahu kamu tidak serius. Memang di dalam drama yang aku sendiri yang menyusunnya itu ada ekspresi marah, tapi caramu mengekspresikannya terlalu berlebihan.

Setelah itu aku langsung pulang, mungkin engkau tidak menyadari kesalahanmu itu, aku menangis selama perjalanan menuju ke rumah. Anting yang ada di telinga kiriku terlepas dan patah akibat ulahmu itu. Akibat peristiwa itu aku absen ke sekolah satu hari dengan keterangan sakit.

Selang dua hari kejadian itu, aku mengikuti training kepemimpinan ROHIS di sekolah dan bergabung di dalamnya. Mungkin engkau setelah itu menyadari ada perubahan sikapku terhadap dirimu, dan berpikir karena insiden pada saat latihan drama itu. Tapi sebenarnya bukan, soal engkau menampar pipiku dan membuat aku menangis hingga harus izin satu hari ke sekolah itu aku anggap hal yang biasa-biasa saja, tidak terlalu berlebihan karena aku memahami karakter dirimu. Tapi yang membuat sikap aku berubah terhadap dirimu yaitu pasca aku bergabung di ROHIS sekolah. Dari situ aku sudah mulai memahami tentang fitrah diriku sebagai seorang perempuan dan engkau sebagai seorang laki-laki. Ada batasan yang membatasi dan ada juga aturan yang mengatur tentang hubungan antara keduanya dan aku sangat yakin kau pasti belum memahaminya.

Setelah naik di kelas 2 aku ditempatkan di jurusan IPA, tak menyangka ternyata kita mengambil jurusan yang sama walau berbeda kelas. Mungkin engkau berpikir bahwa aku dendam padamu sehingga kita tidak pernah lagi jalan bersama seperti waktu di kelas satu dulu yang sering kita lakukan. Dulu kita sering makan di kantin sama-sama, duduk dan belajar di kelas sama-sama bahkan kamu sering mengantar aku pergi dan pulang sekolah, wajar saja karena pada saat itu aku belum memahami tentang batasan-batasan interaksi pergaulan antara laki laki dan perempuan.

Semenjak kelas dua mungkin perubahan yang engkau rasakan dariku bukan hanya terhadap sikapku padamu saja. Tapi perubahan yang engkau saksikan pada diriku adalah soal penampilan dan busana yang aku gunakan ke sekolah. Kalau dulunya atau hanya menggunakan kerudung kecil yang hanya sebatas menutupi kepala dan leher saja. Kini hal itu tidak lagi. Sebagaimana yang aku dapat dan pahami melalui organisasi baruku di sekolah bahwa pakaian syar’i untuk muslimah adalah kerudung yang sampai menutupi dada dan tidak transparan bukan hanya sebatas di kepala dan leher saja. Juga pakaian itu yang tidak ketat dan tidak memperlihatkan lekukan tubuh.

Seperti itulah yang aku pahami, dan bukan berarti dengan semua itu malah menghilangkan keindahan pada seorang perempuan. Justru menurutku dengan adanya itu malah menjaga keindahan pada diri seorang perempuan sebab itu juga merupakan aturan Tuhan untuk perempuan agar perempuan lebih terjaga kemuliaannya.

Aku tahu bahwa dirimu belum siap menerima perubahan yang aku alami sekarang. Aku juga paham bahwa engkau masih ingin membawa masa-masa di kelas satu dulu, untuk kita jalani lagi di kelas dua. Buktinya sampai sekarang bahkan setiap hari engkau selalu datang di kelasku, duduk di dekatku, mengajakku berbicara, walau terkadang akan hanya menjawab dengan anggukan kepala, atau hanya sedikit tersenyum, atau bahkan sering engkau aku tidak hiraukan. Kadang juga saat engkau datang lalu aku tinggalkan dengan alasan untuk shalat dzuhur di mesjid, sehingga dengan itu kamu mulai memanggilku ustadzah.

Aku tahu kamu masih membawa kenakalanmu yang dulu di kelas satu berbeda dengan diriku yang menyimpannya di dalam lembaran-lembaran sejarah masa lalu. Aku sering mengajakkmu untuk ikut shalat dzuhur di mesjid sekolah walau aku sadar engkau ikut hanya karena diriku. Walau juga terkadang engkau ikut bukan untuk shalat tapi hanya mengantar dan menemani pulang, dasar memang engkau masih nakal.

Melihat aku banyak menghabiskan waktuku di ROHIS sekolah, aku yakin engkau sudah mulai memahami tentang diriku. Juga memahami tentang mengapa aku tidak ingin disentuh oleh laki laki ataupun dirimu walau hanya sekedar bersalaman. Bahkan dengan pemahamanmu yang masih sempit itu engkau pernah berteriak di dalam kelasku dan menyampaikan bahwa wanita itu sosok yang mulai dan dimuliakan, jangankan disentuh oleh laki-laki yang bukan merupakan muhrimnya dilihat saja bagian tubuh kecuali muka dan telapak tangan itu tidak boleh. Walau aku tahu kalimat yang engkau sampaikan itu adalah kalimat yang sering aku katakan padamu, tapi aku hanya bisa tersenyum melihat ulahmu itu.

Kamu juga dulu sering berupaya menjadi pahlawan untukku. Walau aku tahu itu masih sering diselingi oleh sifat nakalmu. Aku masih ingat saat aku menangis di kelas karena ada seorang laki-laki yang datang tiba-tiba memegang dan menarik tanganku. Sekejap kamu mengamuk dan memukuli orang itu sehingga kalian berkelahi dan menjadikan sekolah heboh yang akhirnya kamu harus dibawa ke guru BK dan orang tuamu harus diundang ke sekolah. Menurutku itu kelakuan konyol, dan tidak semestinya engkau melakukan semua itu.

Pernah setelah kejadian itu, Yang ulahmu dan menjadikan aku juga terlibat, dan banyak dibicarakan orang satu sekolah, aku tidak sengaja bertemu denganmu di ruang perpustakaan.

Aku masih ingat kalimat ini yang aku ucapkan padamu.

“Andi, kamu ini sebenarnya seperti kisahnya Umar bin Kattab, yang hatinya keras tapi setelah disirami oleh dakwah Islam ia berubah menjadi lembut namun bersikap keras kepada orang kafir.” Tuturku padamu saat memilah-milah buku yang aku cari di lemari bertingkat empat dan dipenuhi buku yang agak kusam itu.

“Ha ha….!”

Kau hanya tertawa seolah tak menyangka aku menyampaikan kalimat itu padamu.

“Kenapa ada yang lucu dari kalimatku itu?” Tanyaku penasaran waktu itu.

“Tidak ukhti Ayu”, jawabmu singkat.

Aku sedikit heran waktu itu, kenapa tiba-tiba panggilanmu terhadapku sudah berubah. Biasanya sejak dari kelas satu dulu engkau hanya memanggilku Ayu, atau Ustadzah, atau sebutan lain yang sering engkau buat-buat sendiri.

“Aku ini sebenarnya mirip kisah Abu Thalib paman Nabi, yang membela dakwah Islam tapi belum tersentuh hatinya dengan Islam”. Jawaban itu kau sampaikan padaku dengan begitu santai.

Mendengar kalimatmu waktu itu aku menjadi tersentak kaget. Tidak menyangka kalimat seperti itu bisa kau ucapkan. Orang yang aku nilai bandel dan kerjanya hanya “membuat onar” di sekolah ternyata engkau paham juga sedikit tentang sejarah Islam.

Keadaan begitu banyak berubah setelah engkau mencalonkan dan terpilih menjadi ketua OSIS. Maklum jika pada saat itu engkau terpilih, di hampir semua kelas yang menjadi ketua dan wakil ketua kelas adalah teman-temanmu. Dan juga untuk ukuran nyali dan keberanian memang aku lihat engkau sudah memenuhi kriteria. Begitupun denganku, tak lama setelah itu aku juga diangkat menjadi sekertaris ROHIS sehingga menjadikan kita jarang lagi bertemu apalagi engkau walau hanya sekedar datang di kelasku. Saat itu kita masing-masing sibuk dengan agenda dan urusan pribadi. Sehingga aku merasa dengan jabatanmu sebagai ketua OSIS pasti akan semakin sulit untuk diajak bergabung di ROHIS untuk bisa hatimu tersentuh dengan dakwah Islam, yang pertama mungkin engkau akan gengsi, dan alasan yang lain mungkin karena kau tidak punya waktu lagi untuk itu. Pada saat itu aku hanya bisa berdoa semoga engkau bisa segera mendapat hidayah.

Akhirnya doaku terjawab setelah sekian lama kita berpisah dan tidak pernah lagi berkomunikasi pasca pengumuman kelulusan. Engkau telah menjadi seperti orang yang aku harapkan. Semoga sifat Umar yang aku saksikan bisa terus ada dan melekat di dalam dirimu.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Lihat Juga

Amal Spesial, Manajemen Hati

Figure
Organization