Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Falsafah Menunggu dalam Perspektif Religi

Falsafah Menunggu dalam Perspektif Religi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Sebagian orang mengartikan kebaikan dengan memulai, sebagian lain mengartikan dengan menunggu. Saat orang lain belum berbuat baik kepadanya maka iapun sebaliknya, namun saat orang lain berbuat baik kepadanya maka iapun membalasnya. Ia tidak pernah memulai untuk berbuat baik sebelum dimulai oleh orang lain, kenapa demikian? Karena dunia telah menyibukkannya, sehingga ia tak sempat berbagi dengan orang lain walau sekadar senyum.

Pada umumnya seseorang tidak suka dengan pekerjaan “menunggu”, misal saat seseorang mempunyai janji dengan orang lain, lalu ia menunggu lama, hal ini biasanya membuat jengkel seseorang yang menunggu, anehnya saat menunggu lama dalam kebaikan kita serasa tidak pernah jengkel, menunggu orang lain berbuat baik kepada kita adalah ketidakpastian, tapi tetap saja kita dengan sabar menunggu tanpa jengkel.

Sebagian orang mengartikan kebaikan dengan segera menjemputnya, sebagian lain dengan sabar menunggu untuk dijemput terlebih dahulu baru ia mau berbuat baik. Berbuat baik kepada sesama dengan berbagi rezeki, berbagi ilmu, berbagi kemudahan dengan wewenang dan berbagi kebahagiaan adalah suatu kebajikan yang tiada tara nilainya di mata Tuhan, kenapa demikian? Karena sejatinya ini adalah proses menjemput kebahagiaan, anehnya masih saja ada sebagian orang yang menunggu untuk segera berbahagia, seakan tak rindu dengan bahagia.

Sebagian orang akan memulai berbuat baik menunggu datangnya musibah, sebagian yang lain sudah jauh-jauh hari berbuat baik tanpa harus menunggu datangnya ujian, tanpa sadar ketika ia terlalu jauh berjalan musibahlah yang akhrinya menjadi penegur agar ia tidak lupa tujuan pulangnya yaitu kampung akhirat yang berkekalan.

Sebagian orang berniat berbuat baik menjadi penderma menunggu dirinya kaya raya, sebagian yang lain senantiasa berbuat baik walau ia masih dalam keterbatasan, saat seseorang berbagi bukanlah berbicara besar kecilnya nilai yang diberikan, akan tetapi seberapa besar ketulusannya saat berbagi, karena tidak semua orang kaya ringan tangannya (baca : mengepal tangan/menahan dari berbagi) dan tidak sedikit pula orang yang miskin tapi ia rajin berbagi.

Sebagian orang suka menunggu, berharap diberi bantuan, belas kasihan dari orang lain, yang kaya saja rela mengaku miskin agar bisa dibantu, bagaimana dengan yang miskin!.

Sebagian yang lain merasa malu untuk meminta-minta kendati hidupnya keadaan pas-pasan, hingga orang lain mengira ia adalah orang kaya karena terlihat cukup dan bahagia.

Menunggu dan terus menunggu kebaikan bisa mengakibatkan penyesalan di kemudian hari, kadang dunia bisa melenakan seseorang untuk segera berbuat baik, kesibukan dunia kadang juga membuatnya lupa akan indahnya menyegerakan kebaikan, seindah embun pagi yang menghiasi hari.

Tatkala angin berhembus kencang sore hari disertai awan mendung bukanlah bertanda hujan akan segera turun, karena bisa saja langit gelap tapi hujan belum juga turun, begitu juga apa yang kita tunggu-tunggu selama ini belum tentu baik dan sesuai dengan harapan.

Menunggu kaya raya, menunggu orang lain berbuat kebajikan, menunggu berada di puncak kesuksesan, semua itu bukanlah jaminan bagi seseorang untuk menjadi pribadi yang pandai bersyukur jika niatnya saja dalam berbuat baik masih didasari sifat menunggu. Tiada pilihan bagi kita untuk kembali ke titik nol dengan mengganti niat menunggu menjadi niat untuk segera memulai. Semoga.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Bandung (UNISBA) & PIMRED di www.infoisco.com (kajian dunia Islam progresif)

Lihat Juga

Falsafah Iqra’ dan Fenomena Kehidupan

Figure
Organization