Topic
Home / Pemuda / Essay / Haruskah Kita Belajar di Sekolah?

Haruskah Kita Belajar di Sekolah?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi (inet)
ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Di mana Sekolahmu? Aku sempat dibuat takjub dengan pertanyaan seorang kawan,”Haruskah kita belajar di ruang kotak sempit bernama kelas?” Sebenarnya kawan-kawannya paham apa yang ia maksud. Namun setidaknya untuk mencairkan suasana, salah satu teman nyeletuk nyaring, ”Nggak harus sih, nggak kotak juga nggak apa-apa kok …”

Lah!

Tiba saatnya diskusi kami menerawang keadaan sekolah Indonesia hari ini. Detik ini. Berduyun-duyun kalimat mampir dan ikut memeriahkan suasana pencarian simpulan. Sekolah Indonesia. Sekolah Indonesia. Sekolah, Sekolah, Sekolah. Ya! Aku juga ingin tahu, apa pendapatmu tentang sekolah masa kini?

Sekali lagi, Temanku mengulangi lagi pertanyaannya, ”Haruskah kita belajar di ruang kotak sempit bernama kelas?”

Dan tanda tanya ini makinlah besar. Besar. Kau tahu kenapa? Hal ini jadi kalimat yang terlontar dalam diskusi mahasiswa di sebuah televisi, atau obrolan reality show yang sedang mengundang artis-artis muda, juga mungkin sekedar iringan ringan canda tawa anak-anak SMA yang sedang makan bakso di kantin sekolah.

Tapi jangan salah! Tak sedikit orang yang mulai menetapkan pendiriannya yang lain daripada yang lain tentang sekolah; telah ada dan makin banyak bagian dari orangtua kita mengundurkan anak-anaknya dari lingkaran sekolah yang berangkat pagi pulang sore itu.

Hanya kebetulan kah? Atau karena tak ada uang?

Kebetulan? Hehe, kebetulan takkan terjadi berkali-kali bahkan makin sering. Tak ada uang untuk sekolah? Bukannya Pemerintah makin gesit mengelola Bantuan Operasional Sekolah ya? Bapak Ahmad Heryawan Gubernur Jawa Barat tak sampai 7 tahun sudah membangun 18.000 ruang kelas baru di Jawa Barat, proyek gratis pendidikan sebentar lagi mendekati angka klimaks, jempol buat beliau!

Lalu?

Ada yang punya seberkas jawaban terang?

Baik kawan.

Adalah Doktor Shalahuddin Mujawir, Ilmuwan Saudi telah bertutur ringkas dalam sebuah artikelnya di Majalah Al-‘Arabi, ia mengatakan dengan bahasa arabnya yang ringan cemerlang, begini kalau diterjemahkan ,”Seperti yang kita tahu, Baik Universitas dan Sekolah hari ini telah ringkih dalam membina Pemuda-Pemudanya dalam Pembangunan Karakter”, begitu di awal tulisannya. Langsung menuju titiknya. Dan ingat, ia sedang tak sekadar bicara masalah arab, ia bicara dunia Islam kesemuanya. Ya, semuanya, termasuk Indonesia.

Institusi Pendidikan; Universitas, Sekolah, Bimbingan Belajar – zaman ini telah menggarap dirinya sesuai apa yang dicontohkan Barat. Ketika Barat membangun di setiap sekolah Laboratorium Kimia, sekolah Dunia Islam menirunya, bagus memang. Ketika Barat mengajari anak-anaknya semua agama tanpa kecuali, Sekolah Dunia Islam membuntut di belakangnya, tak mau ketinggalan, mulai riskan. Ketika Eropa menggabungkan siswa Putra dan Putri berbaur jadi satu, saat itu pula luntur sudah corak pendidikan Islam, satu-satu, makin luruh, rapuh lalu hancur.

“Sekolah tak lagi mendidik tentang tanggung jawab, tak lagi fokus membina keteladanan, hingga jadilah siswanya tak mengerti apa arti kepedulian, tak bisa lagi menyelesaikan persoalan walau kecil, sekadar kepekaan sosial pun tidak”, lanjut beliau di beberapa paragraf tengah.

Ringkih? Harus kita tahu kawan, Kedigdayaan Ilmu Generasi ini dibidik dari empat hal kawan; Keluarga tempat pertama anak mengecap ilmu, lingkungannya yang memberi gambar ilmu hidup, masyarakatnya yang membauri dan bersosial dengannya, lalu sekolah yang mendidiknya agama dan ilmu terap, dan media yang jadi sumber informasinya. Ringkih kah pendidikan kita? Bahkan keempat pilar pendidikan ini nyaris saja tak terselamatkan.

Tapi pasti ada harapan. Pasti.

Karena Allah sayang kita, ia atur sejarah sedemikian rupa lalu dititahkan episode Hasyim Asy’ari membangun Pesantren, Allah telah atur liukan indah sejarah dengan episode Ahmad Dahlan membangun Muhamadiyah Hoofdbestuur dan Sekolahnya. Jika saja tak ada gemuruh Islam di sini, maka sekolah mungkin hanya bagi anak priyayi saja, sekolah hanya bagi orang berpunya saja. Itupun dijejali kehidupan barat yang tak kenal ada Tuhan Maha Esa, mereka hanya kenal tuhan ada tiga.

Ya, Allah menyayangi Indonesia kawan. Jaga kasih sayang-Nya. Alhamdulillah.

Sekali lagi, temanku bertanya, ”Haruskah kita belajar di sekolah?”, ia sedikit mengubah redaksinya setelah beberapa lama kami berdiskusi. Ya, makin luas yang kami bahas. Hehe, bukan membahas kelas yang kotak atau tidak, bahkan kami membahas; apakah sekolah masih bisa mempertahankan dirinya dalam masalah besar ini?

Tanpa kita mencoba menerka jawaban sendiri-sendiri, tulisan Doktor Shalahuddin memberi isyaratnya, bukan saja wajib mempertahankan diri, lebih dari itu, ”Tanggung jawab terbesar terletak pada Madrasah untuk memperbaiki kerusakan ini”, tulisnya,”Dan hal pertama yang harus dibenahi adalah : Pendidikan Agama, yang bukan sekadar mengajar lewat buku dan wawasan saja, harus ada kesempatan bagi siswa untuk mempraktekkannya hingga mereka tau apa manfaat amal-amal mereka”

Saat itu juga berkelabat dan mencabang gambar-gambar di ujung-ujung syaraf kami; tentang kecurangan ujian, hilangnya keteladanan guru, tawuran pelajar, narkoba. Gambar-gambar itu tanpa kami minta sudah datang begitu saja. Terlihat di benak, seorang remaja putri berseragam putih abu terpojok di bangunan tua, sakau tak dapat suplai narkotika, kasihan. Lalu berkelabat di otak, muda-mudi duduk berpegangan tangan malam hari, hanya berdua, di alun kota, malam mingguan, ketiganya setan. Mengenaskan.

Pelajaran agama? Maaf, berapa kali sepekan pelajaran agama di sekolah hari ini? Jika setiap hari ada satu jam, Alhamdulillah hati bisa tenang insya Allah. Namun sayang seribu sayang, tanpa aku minta, fakta sudah datang saja; dua jam sepekan. Dua jam sepekan? Ya, dua banding empat puluh jam!.

Kasihan kawan, Islam takkan terangkum hanya dengan 2 jam sepekan. Jika itu yang terjadi, terjadilah apa yang terjadi (bingung nggak tuh?). Dengan porsi waktu yang kurang, Islam akan dipelajari sebagian, kecil. Yang sebagian itu padahal wawasannya saja. Dan kita telah tau, Islam bukan hanya wawasan yang diujikan. Lebih dari itu; ia adalah Sistem hidup yang harus diinstall total di jiwa raga dan pikiran. Setuju?

Jadilah yang tak diinginkan: 57 Perkelahian pelajar, sepanjang 1992. Meningkat terus menjadi 183 angka di tahun  1994, belum termasuk 10 pelajar terbunuh di ‘medan laga’. Jika Maret tahun 2000 ada 1.369 pelajar yang terlibat tawuran, bagaimana dengan tahun 2014 kini? Angka-angka setinggi ini baru survey di Jakarta. Belum Nasional.

Belum lagi angka-angka nan tinggi menggambarkan perilaku Pelajar yang pacaran dan melakukan berlebih dari itu. Medan, Surabaya, Jakarta, Jogjakarta, bumi Allah yang terbentang bagi banyak orang itu kini gatal-gatal, ia mulai merasa ada rasa yang sama ketika Kaum Luth  menginjak kakinya, injakan yang sama, langkah hitam yang sama, naudzubillah. Pelajar, mengapa ikon terdidik itu yang harus mendominasi deretan nama pelakunya?

“Para guru”, tulis DR Shalahuddin,”harus membina muridnya agar ia punya kekuatan hati, ruh yang disiplin, hikmah yang benar, dan akhlaq yang matang”. Seperti itulah Guru-guru Sejati mengisi jiwa dan pikiran muridnya. Menebar cercah inspirasi, menggemakan suara nurani, mendidik dengan keteladanan. Ya, menanam Akhlaq mulia, seperti kata Haji Agus Salim, “Sekiranya angkatan muda tidak dipersenjatai dengan jiwa dan agama yang kuat, maka akan hancurlah akhlaq angkatan pemuda dan bangsanya tadi”.

“Ilmu Pengetahuan tanpa iringan agama, ia adalah pincang sepincang-pincangnya!”, begitu Einstein yang Yahudi berbicara. Sekolah akan kembali ke tempat aslinya, jika Para Guru mendidik, bukan mengajar. Sekolah akan kembali menebarkan inspirasinya, jika Para Guru tak memuat angka nilai saja, namun menyuplai bekal hikmah luas nan dalam menggetarkan.

***

Sekali lagi, temanku bertanya, ”Haruskah kita belajar di Sekolah?” dan ini sudah ia tanyakan tiga kali. Jika memang itu pertanyaannya, kawan-kawan di sekelilingnya menjawab serentak,”Kepo banget sih!”. Si penanya diam tanpa kata, takjub dengan jawaban kawan di depannya, mematikan sekali.

“Tentu saja tidak harus di sekolah to?”, kata seorang kawan. Sebenarnya itu kataku. Jika memang itu pertanyaannya, maka jawabannya adalah ya atau tidak. Tidak semua orang bisa belajar di atas meja melihat papan tulis dan menulis catatan-catatan. Adam Malik membuktikannya, ia menepis kalimat “belajar hanya di kelas”. Menteri Luar Negeri Indonesia yang fenomenal itu belajar 7 bahasa, sendiri, tanpa sekolah. Diplomasi yang dikuasainya memang tak didapat di sekolah, ia belajar dari dunia yang dilihatnya terus berubah.

Buya Hamka menekuni ilmu di luar ruang kelas. Ia belajar, otodidak, beliau memang sempat mengenyam pendidikan dasar. Namun seterusnya, beliau baca buku, menulis pemikiran, merajut ide, mengumpulkan banyak referensi, menelaah banyak perpustakaan, dan terbitlah fajar ilmu itu, menenggelamkan kesuraman langkanya Ulama Sastrawan Indonesia. Beliaulah Ulama Besar yang belajar otodidak.

Eits, tentu ada syarat, bukanlah ia belajar sekadar yang kita lakukan hari ini. Buya Hamka belajar dengan hati dalam, pikirannya ia buka luas-luas, ia bukan sekadar membaca, ia berpikir. Ya, ia terus berpikir. Lalu menemukan, menciptakan, lalu memperbaiki. Perform to Reform!

“Terus, hari ini bagaimana? Haruskah di kelas?”, tanyanya padaku.

Aku tak menjawab dengan pendapat sendiri. Terlintas perkataan seorang Guru,”Ilmu ada di mana saja, gunanya bukan sekadar dipraktikkan, ilmu dipelajari untuk tujuan sejati –menghilangkan kebodohan-, agar kau punya tempat baik di antara manusia. Di manapun, kapanpun, jika itu ilmu, maka kau berhak mendapatkannya”, begitu kata beliau sembari menatap kami serius. Saat itu pelajaran Bahasa Arab. Bab yang sedang kami bahas adalah kelas, sekolah. Yang kita baca adalah Artikelnya DR Shalahuddin Mujawir itu.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir | Alumni SMPIT Ihsanul Fikri Mungkid Magelang | Alumni Ponpes Husnul Khotimah Kuningan

Lihat Juga

Program Polisi Pi Ajar Sekolah, Pengabdian Polisi Jadi Guru SD dan TK

Figure
Organization