Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Kita Semua Sama, Lalu Apa yang Beda?

Kita Semua Sama, Lalu Apa yang Beda?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (mvc.de)
Ilustrasi. (mvc.de)

dakwatuna.com – Manusia sejak dahulu adalah manusia yang sama seperti di zaman sekarang, sama-sama memiliki kebutuhan, keinginan dan impian. Teringat ketika duduk di bangku SMP, ada pelajaran tentang manusia-manusia purba, di antaranya Homo Erectus, Pithecanthroupus, Meganthropus Palaeojavanicus dan bla-bla lainnya, mereka hidup ribuan, puluhan ribu, bahkan fosilnya konon berumur jutaan silam, dalam buku digambarkan mereka layaknya manusia primitif, tak berpakaian dan tak berbudaya.

Saya meragukan kebenaran manusia purba yang menurut teori Darwin, kita ini berasal dari keturunan kera/monyet dan sejenisnya, teori dan pelajaran tentang manusia purba sewaktu kita sekolah terkesan dipaksakan dan mengada-ngada.

Ada sebuah pesan yang hendak digiring ke publik bahwa manusia dahulu dengan manusia sekarang tidaklah sama, bahkan jauh berbeda, padahal kalau dipikir sejenak, di zaman sekarang masih ada kelompok manusia yang tak berpakaian, tak mengenal dunia luar, hidup terisolasi dalam sebuah komunitasnya, diantaranya suku di kawasan Amazon benua Amerika dan suku kubu di pulau Sumatera, apakah mereka juga termasuk keturunan manusia purba?

Dalam sebuah kesempatan, ketika mengisi kajian di sebuah perusahaan di Kota Bandung, saya melemparkan pertanyaan sederhana kepada para hadirin. “Apa yang membedakan manusia zaman dahulu dan masa kini”, lalu ada yang menjawab “teknologi”.

Saya pun menggiring mereka untuk berpikir sejenak, lalu saya katakan kepada mereka bahwa sebenarnya tiada yang beda antara kita dan manusia zaman dahulu, kita sama-sama memiliki kebutuhan, keinginan dan impian.

Ribuan tahun silam manusia sudah memiliki peradaban, dimulai dari peradaban mesopotamia (Irak) yang berumur sekitar 6000 tahun sebelum masehi, lalu ada peradaban Mesir kuno, Romawi, Yunani, peradaban Islam di Madinah, Andalusia dan China.

Pada dasarnya manusia dari zaman ke zaman memiliki substansi yang sama, jika kita berbicara tentang peradaban maka kita akan berbicara tentang sosial, ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, teknologi, budaya, agama dan masuk ke dalamnya teknologi.

Ada banyak hal yang membuat kita semua sama, yaitu sama-sama diciptakan dari tanah, terlahir dari pasangan suami-isteri, memiliki bentuk tubuh yang sama, dikarunia pendengaran, penglihatan, hati nurani, akal, butuh makan, minum, pakaian, tempat tinggal, sarana transportasi, komunikasi, pasangan hidup, merantau, bekerja, beristirahat, senang dengan perhiasan dunia, suka berkeluh kesah atau galau, mudah berputus asa, hidup dengan kebanggaan, terkadang kikir terhadap sesama, memiliki tabiat serakah, ada yang bersyukur, ada pula yang kufur, namun kebanyakan manusia kufur terhadap nikmat Tuhan dan sama-sama memiliki fitrah untuk bertauhid yaitu mengesakan Allah Ta’ala.

Dahulu kala sudah ada teknologi canggih, memahat rumah di sebuah gunung batu, menjadikannya sebuah istana nan megah, membangun piramida yang besar dan jumlahnya tidak sedikit, memiliki nilai seni yang tinggi dalam membuat sebuah bangunan dan tutur kata yang sudah tersusun dari huruf-huruf yang rapi sebagai alat teknologi informasi dan komunikasi, bahkan di antaranya masih terjaga hingga kini yaitu keotentikan bahasa semit “Semitic languages” atau “Lughah Syamiah”.

Penamaan bahasa semit erat hubungannya dengan bahasa yang sudah dipetuturkan sejak ribuan tahun silam sebelum masehi, bahasa ini dinisbatkan kepada anak nabi Nuh yang bernama Syam, dari sinilah terlahir ‘Abir, lalu terlahir Azar, lalu anak daripada Azar adalah nabi Ibrahim dan dari keturunan nabi Ibrahim sampai nasabnya ke nabi Muhammad.

Contoh bahasa semit adalah bahasa Arab, Ibrani, Amhar dan Tigrinya. Bahasa-bahasa ini semua hampir punah kecuali bahasa Arab yang masih terjaga karena adanya kitab suci Al-Qur’an.

Dr. Arnold John Wensinck (Wafat 1939 M) salah satu penyusun kitab “AI-Mujam al-mufahras li alfazil hadis nabawi “ dari kalangan orientalis, ia salah satu pakar bahasa semit dari Universitas Leiden Belanda, karyanya dipatenkan hingga sekarang setelah dikoreksi oleh ulama Mesir bernama Muhammad Fuad Abdul Baqi.

Karya Arnold John Wensinck merupakan kitab rujukan bagi para pelajar hadist dan ilmu-ilmunya di seluru penjuru dunia, Universitas Al-Azhar Mesir menjadikan kitab ini sebagai rujukan pada mata kuliah Takhrijul hadist.

Sejak zaman nabi Adam sebagai manusia pertama di muka bumi, manusia sebenarnya sudah memiliki peradaban, mereka memiliki budaya, salah satunya sudah memiliki rasa malu dan butuh berpakaian, hal ini sebagaimana firman Allah,

“Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya.” (QS. Al A’raaf : 27)

“Maka keduanya (Nabi Adam dan isterinya) memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga.” (QS. Thaahaa : 121)

Lalu apa sebenarnya yang membedakan manusia dahulu dan masa kini, manusia di zaman sekarang hidup dalam era kekinian, seperti adanya televisi, internet, media sosial dan lainnya. Hal ini mempunyai peran besar dalam membentuk prilaku manusia di abad ke-21, makanya ada sebuah istilah “manusia adalah anak zaman”, karena ia dibentuk oleh keadaan sosial.

Saat ini kita semua hidup dalam era media, era di mana kebenaran bisa tergeser, karena bisa dikalahkan dengan opini publik. Era di mana kejujuran bisa terkalahkan dengan kekuasaan, yang kuat dan bermodal, maka dialah yang menang, jika kenyataan di abad modern seperti ini, maka tak ubahnya kita sedang hidup di alam rimba yang jauh dari peradaban dan penuh kegelapan. Lalu apakah kita juga termasuk keturunan manusia purba yang tak berbudaya?

Sekarang zaman sudah berubah dan banyak tersebar fitnah, sebagian orang hidup dengan keinginannya, bukan dengan kebutuhannya, terkadang keinginan seseorang mengalahkan kebutuhannya, hal inilah yang sejatinya menjadikan seseorang tak pernah puas menerima kehidupannya dan sulit menemukan kebahagiaan.

Makro sosial yang sudah menjadi lingkaran kekacauan, kurangnya tauladan di televisi maupun media, kurangnya komunikasi internal antara orangtua kepada anak, suami kepada isteri, atau antar saudara, krisis tawakkal, krisis identitas dan kurang pandai memaknai kehidupan dan memahami tujuan hidup. Semua ini terindikasi menjadi penyebab maraknya fenomena sosial.

Saat ini pilihan kita hanya ada dua dan inilah yang sejatinya menjadikan kita berbeda :

  1. Menikmati kekacauan dan tetap berada di zona nyaman tanpa peduli dengan fenomena sosial
  2. Berjuang melawan segala jenis kebodohan, kemiskinan, hawa nafsu, kesewenang-wenangan, ketidakadilan dan menjadi manusia yang berintegritas.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Bandung (UNISBA) & PIMRED di www.infoisco.com (kajian dunia Islam progresif)

Lihat Juga

Apakah Maksud di Balik Keberagaman Ciptaan Allah SWT?

Figure
Organization