Topic
Home / Berita / Analisa / Memahami Serangan Udara Saudi ke Yaman (Bagian Akhir)

Memahami Serangan Udara Saudi ke Yaman (Bagian Akhir)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (egynews.net)
Ilustrasi. (egynews.net)

dakwatuna.com – Pemerintahan baru bentukan Syiah Hutsi yang “melepeh” Ali Abdullah Saleh, menjadikan pemerintahan Yaman itu murni Syiah Hutsi dan ini membuat Saudi marah. Satu alasan yang cukup untuk kemudian merancang dan melakukan serangan udara bersama pasukan koalisi.

Dari koalisi dengan Ali Saleh yang menguasai militer Yaman kaum Hutsi memperoleh tambahan persenjataan yang sangat besar.

Ditambah dengan dukungan penuh Iran sekarang Hutsi punya kekuatan militer yang sangat kuat dan itu membuat mereka percaya diri untuk mulai mengganggu Saudi di perbatasan.

Sikap Ishlah di Yaman ini mulai membuahkan hasil. Koalisi yang ingin menghabisi mereka kini pecah kongsi. Dimulai dari wafatnya Raja Abdullah dan naiknya Raja Salman. Peta di kawasan mulai berubah.

Raja Salman langsung memecat Khalid At-Tuwaijiri dan Bandar Bin Sultan sebelum pemakaman Raja Abdullah dan mulai membuka dialog dengan Ikhwan.

Manuver Saudi dan Emirat yang terlalu membenci Ikhwan telah memberi ruang baru bagi Poros Syiah Iran, termasuk Hutsi Yaman bahkan setelah kudeta Yaman para pemimpin Iran menyatakan bahwa Shan’a jadi ibu kota Syiah yang kelima setelah Teheran, Beirut, Damaskus dan Baghdad.

Sekarang manuver itu berubah jadi ancaman bagi Saudi secara sangat nyata. Sekarang Saudi perlu Ishlah di Yaman. Perubahan sikap Saudi kepada Ikhwan adalah tuntutan logis untuk kepentingan keamanan Nasional Saudi, bukan karena suka atau simpati kepada Ikhwan. Mereka hanya perlu Ishlah sebagai bemper melawan Syiah Hutsi.

Pada dasarnya serangan udara tidak akan menyelesaikan masalah karena kemenangan dalam perang fisik hanya terjadi dengan pendudukan fisik, bukan sekadar perusakan instalasi strategis musuh.

Selanjutnya kita perlu memantau respon Iran dan pasti dia akan protes atas serbuan tersebut. Saudi akan mendorong kawasan untuk menerima Ikhwan kembali secara politik, tapi bukan Ikhwan yang sebelumnya tapi “Ikhwan Diet” atau “Ikhwan Light” atau “Ikhwan Low Fat”. Yaitu Ikhwan lokal tanpa Tanzhim Alami.

Ikhwan ini yang didorong di Jordan melalui Zunaebat. Sampai saat ini nampak masih belum ada kejelasan, seperti apa Ikhwan merespon situasi ini.

Mungkin situasi ini dapat keluar dari kontrol para pemain besar yang menyebabkan mis manajemen secara politik. Jika itu terjadi maka fenomena “No State Land” di luar Teluk juga akan terjadi di Teluk.

Ikhwan dapat menerapkan strategi baru yang lebih independen dengan pertimbangan situasi saat ini. Sebuah proposal untuk Dunia Islam Baru مشروع العالم الاسلامي الجديد.

Kasus Syiah Hutsi Yaman itu adalah bumerang dari manuver Saudi sendiri. Mereka yang paling bertanggung jawab atas masalah itu.

Walaupun ada kepentingan makro untuk merumuskan ulang peta dunia Islam baru, tapi jalan menuju ke sana pasti akan menuntut adanya aliansi-aliansi taktis atau yang strategis di berbagai kawasan karena tuntutan kepentingan lokal seperti yang ada di Yaman atau di Libya dan Mesir.

Ishlah di Yaman pasti mendukung serangan udara Saudi ke Syiah Hutsi Yaman untuk kepentingan taktis kembali ke pemerintahan semula. Ikhwan Mesir untuk menghentikan bantuan Saudi ke As-Sissi. atau Ikhwan Libya untuk menghentikan bantuan Teluk khususnya Emirat ke Haftar.

Dalam konteks kawasan, apakah As-Sissi akan bertahan tanpa bantuan Teluk? Bagaimana keberadaan Ikhwan dalam konteksnya masing, apakah akan mendapatkan kembali haknya dalam percaturan politik? Begitu juga konteksnya dengan situasi politik umat Islam di Libya.

Apakah “kaidah-kaidah permainan” akan tetap sama atau akan berubah secara keseluruhan? Konflik ini akan menyedot sumber daya dan energi Teluk, apalagi di tengah guncangan harga minyak dunia.

Dalam konteks global, ada konflik antara aktor-aktor utama dunia di kawasan paling aman, yaitu Eropa, konflik Ukraina. Dalam konteks dunia Islam konflik berubah dari Sunni Sekuler VS Sunni Konservatif menjadi Sunni VS Syiah.

Mari kita pantau bersama keseluruhan situasi ini, termasuk juga situasi domistik kita. (usb/dakwatua)

Sebelumnya…

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumni LIPIA Jakarta. Aleg DPR RI Dapil Jakarta Timur.

Lihat Juga

Duduk Berdampingan dengan Menlu Yaman, Netanyahu: Kami Ukir Sejarah

Figure
Organization