Topic
Home / Berita / Opini / Gol Harry Kane dan Bahasa Media Islam

Gol Harry Kane dan Bahasa Media Islam

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Harry Kane England Team (Footballrants)
Harry Kane England Team (Footballrants)

dakwatuna.com – 27 Maret 2015. Stadion Wembley sontak bergemuruh ketika penyerang anyar Inggris, Harry Kane, melesakkan gol ke gawang Lithuania. Dengan 3 gol yang sebelumnya sudah dicetak oleh tiga penyerang lainnya, gol Kane harusnya tak jadi istimewa. Seumpama makanan, ia hanya sebiji ceri merah pemanis kue tar sebuah pesta. Namun menjadi berbeda sebab ia menjadi gol ketiga tercepat yang dicetak pemain debutan timnas Inggris di laga internasional. Dan semua itu kian spesial sebab diawali dengan riuh media jelang pertandingan ketika Roy Hodgson –pelatih timnas sepakbola Inggris – memutuskan Kane tidak menjadi “starter” di laga persahabatan ini. Tak kurang Gary Lineker, legenda sepakbola Inggris, mengecam keputusan Hodgson lewat akun twitternya.

Di sini ada hal menarik yang perlu kita amati, yaitu dari segi bahasa pemberitaan media-media yang meliputnya. Coba jelajahi artikel yang menulis soal aksi Kane. Penelusuran mendalam di Google News tentang gol Harry Kane vs Lithuania menunjukkan 1,517 hasil pencarian. Beberapa media daring populer seperti The Guardian dan Telegraph mengutip ungkapan Hodgson “a fairy tale” alias kisah fantasi untuk menggambarkan debut Kane. Dan satu hal yang unik adalah pemilihan kata “gol 79 detik” di hampir semua artikel.

Kenapa para penulis berita ini memilih kata “detik”, bukan “menit”? Mari kita kupas.

Secara kuantitas, penulisan “79 detik” lebih pendek ketimbang “1 menit 19 detik”. Lebih hemat ruang. Ini merupakan keunggulan bagi sebuah tulisan. Kemudian, dalam konteks peristiwa ini, kata “detik” menambah kekuatan rasa ketimbang “menit”. Jelas bahwa kesan dari diksi “detik” lebih cepat dari “menit”. Mengesankan bahwa gol Harry Kane sangat superb dibanding gol rebound Rooney, tandukan Welbeck, maupun sentuhan ringan Sterling.

Ketiga, ia bukan suatu kebohongan, juga bukan kalimat yang taksa (English: ambiguous) untuk mempengaruhi pembaca. Bukan sesuatu yang lebay dan penuh opini emosional. Ia adalah fakta. Sebuah fakta, jika dikemas dengan pemilihan kata yang tepat guna – sarat makna dan pemahaman sejarah yang baik, akan menjadi suatu artikel yang menarik. Inilah yang dipadukan oleh beberapa media Inggris di atas. Memilih kata yang tepat sasaran, lalu membandingkannya dengan sejarah karir penyerang debutan lain serta kondisi timnas Inggris yang tak terlalu baik selama beberapa dasawarsa terakhir. Maka menjelmalah Harry Kane menjadi harapan baru bagi penggemar sepakbola Inggris.

Lalu apa kaitannya dengan media Islam?

Maraknya media Islam daring belakangan ini tentu merupakan sesuatu yang layak disyukuri dan didukung oleh kita semua. Namun semua itu tak lepas dari kekurangan. Mengutip ustadz M Zainal Muttaqin, Pendiri dan Pemred Majalah Sabiliku Bangkit – sosok yang dijuluki “huwa al-muassis i’lamil haraki (pendiri media pergerakan)” oleh KH Rahmat Abdullah Allahu Yarham -, salah satu kelemahan penulis Islam hari ini adalah dalam pemilihan bahasa tulisan. Penulis sendiri beberapa kali menemukan tulisan opini yang disajikan seakan-akan ia adalah fakta, sehingga mengaburkan substansi tulisan itu sendiri. Atau judul yang bombastis namun tidak mencerminkan isi tulisan. Tak ketinggalan penggunaan bunga kata yang berlebihan. Padahal ini dapat membuat pembaca lari meninggalkan tulisan kita sebab merasa tertipu. Ujung-ujungnya, kepercayaan pada media Islam menjadi luntur.

Memilih kata bukanlah perkara sederhana, ia sangat dipengaruhi oleh bacaan dan kebiasaan kita. Maka, sudah selayaknya jurnalis Islam terus memperluas bacaan dan menajamkan pisau analisanya. Tidak perlu sungkan untuk belajar dari manapun. Makin beragam bacaan, makin kaya koleksi kosakata kita hingga tulisan yang kita poskan tak jadi monoton. Alih-alih memaksa pembaca menerima pandangan kita, dengan mengurangi diksi mubazir berjejalan, kita akan sanggup merebut kembali hati pembaca.

Nah, jika media bisa mengangkat gol Harry Kane menjadi fenomena – meski saya juga tak tahu masa depannya, apakah ia benar-benar menjadi legenda sepakbola Inggris-, bukankah media Islam lebih berhak untuk memberitakan kebaikan umat Islam? Ini penting, agar tak muncul lagi pameo semacam “Lebih Baik Pemimpin Kafir dan Suka Memaki Tapi Tidak Korupsi!”. Kita bisa melenyapkan pameo tersebut dengan sajian tulisan objektif. Membuka mata masyarakat tentang kebaikan tokoh dan partai Islam dengan cara dan bahasa yang elegan, bukan bahasa emosional dan non faktual. Bismillah, ini tugas kita bersama. Mari! (usb/dakwatuna)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 4.00 out of 5)
Loading...
Santri Pesantren Bina Insan Kamil Pramuka Sari, Rawasari, Jakarta Pusat. Saat ini berkhidmat di Majalah Sabiliku Bangkit

Lihat Juga

Menjadi Calon Ibu Peradaban yang Bijak dalam Penggunaan Media Sosial

Figure
Organization