Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Sebuah Nama yang Hilang

Sebuah Nama yang Hilang

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (kawanimut)
Ilustrasi. (kawanimut)

dakwatuna.com – Aku masih larut dalam doa khusyuk yang panjang. Barangkali selama hidupku, inilah kali pertama aku merasakan kegalauan dan dilema tingkat akut. Aku sudah banyak mengambil keputusan dalam hidup, tapi mengapa baru kali ini aku terhenti pada satu titik bernama buntu. Sungguh aku benar-benar tak punya bayangan, berkali-kali mataku terpejam lalu menyebut nama mereka satu per satu. Aaagghhh! Ya tuhan, aku harus memilih siapa?

Waktu seolah memburu, aku benci. Benci pada keadaan yang seolah memaksaku untuk mengambil sebuah keputusan dalam waktu cepat. Hei, aku sedang memilih pasangan hidup bukan memilah-milih gorengan di warung untuk segera kulahap. Hei, aku sedang memilih calon imamku, ayah untuk anak-anakku bukan memilih baju untuk kukenakan hari ini. Entahlah apakah ada hubungannya antara gorengan atau baju yang hendak kupilih, tapi yang jelas aku butuh jawaban, titik. Lho, bukannya para lelaki itu yang sedang menunggu jawaban darimu? Iya, tapi aku juga sedang menunggu jawaban juga kok. Jawaban dari Allah tentunya. Aku tak ingin gegabah, aku butuh petunjuk-Nya.

Entah sampai kapan aku akan mengurung diri di kamar, membayangkan wajah para lelaki itu satu persatu. Lembar demi lembar surat cinta-Nya aku baca berulang-ulang, berharap dapat wangsit setelah membaca kalam-Nya atau minimal hatiku tenang sehingga dapat memilih dengan hati dan pikiran yang jernih.

“Jadi siapa yang akan kau pilih?” tet..toootttt! lagi-lagi pertanyaan itu muncul. Akhirnya aku abaikan wajah para lelaki itu. Shalat lagi lah, istikharah! Batinku. Aku sempat berkonsultasi dengan seorang guruku tentang calon suami. Hasil dari konsultasi itu membuat aku berpikir untuk memilih sebuah nama. Pun awalnya , aku hendak memilihnya namun karena beberapa hal aku kembali bingung. Apalagi lelaki yang lain sudah datang menemuiku dan menyatakan keinginannya, disaksikan anggota keluargaku. Tak ada yang salah dengan lelaki itu, singkatnya dia cocok untuk djadikan suami dan ayah untuk anak-anakku. Apalagi ibu setuju jika aku memilihnya. Tapi…duh, lagi-lagi hati ini bimbang. Aku belum menemukan sesuatu yang membuatku bisa jatuh hati padanya, aku takut jika menikah hanya karena tidak enak dengan orang tua. Takut aku tidak bisa berbakti penuh pada suamiku. Karena bagiku cinta itu penting dalam membangun mahligai rumah tangga. Sungguh, aku tak ingin menikah karena terpaksa karena biasanya sesuatu yang dipaksakan akan terasa tidak baik nantinya.

Memang benar cinta itu bisa dibangun setelah menikah, tapi bukankah Rasulullah juga menyarankan pada kita untuk melihat adakah sesuatu dari calon pendamping hidup kita yang membuat kita tertarik padanya? Dan masalahnya, aku belum melihat sesuatu dalam diri lelaki itu yang bisa membuatku tertarik.

Aku teringat sebuah perkataan Zainab dalam film Di Bawah Lindungan Ka’bah: Aku ingin menikah dengan lelaki yang aku cintai dan mencintaiku. Nah, masalahnya nih aku belum punya yang kaya gitu. Meskipun menikah itu gak melulu tentang cinta tapi sekali lagi cinta itu sangat penting, titik. Cinta itu komitmen. Aku selalu yakin bahwa Allah akan menunjukkan jalan padaku. Jika Allah sudah berkehendak maka segala sesuatu yang tak mungkin akan menjadi mungkin. Termasuk bahwa Dia akan menanamkan cinta di hatiku pada salah satu diantara lelaki itu, pun sebaliknya. Lalu aku tenang. Sampai akhirnya sebuah senyum mengingatkanku pada kisah tiga belas tahun silam.

***

“Apa kau sudah pernah melihatnya?”

“Sudah…”

“Kapan?”

“Tiga belas tahun silam…”

“Lalu, bagaimana menurutmu? Apakah dia cocok?”

Aku terdiam. Lalu membayangkan sosok itu. Aku kenal, pernah melihatnya. Bertemu dengannya dalam sekejap, tak ada sapaan hanya sebuah senyum. Sebenarnya, sampai tahap ini aku sudah memiliki kecenderungan terhadap salah satu lelaki. Siapa? Aku akan beritahu nanti. Aku hanya berusaha adil terhadap mereka, karena kondisi mereka berbeda-beda. Ada yang dekat dan menyatakan diri siap, ada yang ingin mengenalku lebih jauh dulu, ada yang langsung bertanya sudah punya calon belum dan ada yang berada nun jauh di sana. Dan yang paling membuatku harus mengambil keputusan cepat adalah ayah dan ibuku serta ibu dari para lelaki itu. Bismillah, aku melangkah!

Entah dari mana aku mendapatkan ide seperti itu, setelah istikharah memohon petunjuk dilanjut dengan beberapa juz tilawah Quran aku menuliskan nama-nama lelaki itu pada gulungan kertas kecil lalu aku kocok, mirip arisan memang tapi itulah caraku. Nama yang keluar dari kotak itulah yang akan aku pilih.

Satu…dua…tiga…untuk yang ketiga kalinya nama seorang lelaki terus muncul. Oh tuhan, mungkinkah dia yang Kau takdirkan untukku? Namun mengapa hatiku belum yakin? Aku hadirkan nama lelaki itu dalam doaku, namun tetap saja hatiku ingin menolak. Mengapa? Entahlah, aku juga masih bimbang.

Malam itu bapak menggelar pengajian di rumah. Setelah acara selesai aku membersihkan sisa-sisa makanan dari para tamu yang hadir. Aku lupa memasukkan kembali gulungan kertas tadi dalam kotak, hingga tanpa kusadari angin malam menerbangkan gulungan-gulungan kertas itu. Aku memungutinya satu persatu, saat hendak mengambil gulungan yang terakhir angin membawanya terbang jauh. Hilang! Aku termenung, saat itulah aku seolah menemukan wangsit dari pertapaanku selama ini.

“Allah, saksikanlah! Lelaki yang namanya tercantum dalam gulungan kertas yang diterbangkan angin itu yang akan aku pilih menjadi calon pendampingku.”

Entah kekuatan dari mana yang merasukiku hingga perkataan itu terucap. Padahal sebenarnya aku khawatir, bagaimana kalau ternyata nama yang hilang itu bukan lelaki yang aku cenderungi? Ah, sudahlah! Aku berserah diri pada Allah dan beriman atas segala ketentuan-Nya.

Dengan terus melafaz dzikir aku membuka satu persatu gulungan kertas nama yang masih ada. Jujur, hatiku tak keruan. Aku terbelalak, saat nama lelaki yang sempat muncul tiga kali itu tidak masuk dalam nama yang hilang, itu artinya bukan dia jodohku. Lalu siapa? Entah mengapa hatiku berharap nama “dia” yang hilang. Akhirnya sampailah pada kertas terakhir, inilah saatnya aku menentukan pilihan. Dan akhirnya…aku memantapkan diri untuk memilihnya. Inilah konsekuensi dari janjiku di awal. Nama lelaki yang hilang itulah yang akan aku pilih menjadi calon pendampingku.

Ikhtiarku belum berakhir, aku terus memantapkan diri dalam istikharah. Menghadirkan nama dan wajahnya dalam doaku. Mungkin beberapa orang akan heran tentang pilihanku. Mengapa aku memilih “dia” yang aku sendiri belum melihatnya seperti apa sekarang? Mengapa memilih “dia” yang belum akan kembali dalam waktu dekat? Mengapa hanya karena “dia” yang jauh, “dia” yang belum pasti kau menolak lelaki yang sudah jelas-jelas datang kepadamu dan kau bisa melihatnya secara langsung?

Ya, aku memilih lelaki itu. Lelaki yang aku kenal tiga belas tahun silam hanya lewat sebuah senyuman. Lelaki yang saat ini tak di depanku, yang saat itu belum tahu kapan kembalinya. Aku hanya butuh waktu, untuk membuktikan bahwa pilihanku melalui doa-doa itu insya Allah sudah benar. Selama ini aku hanya melihat gambarnya, dan hanya satu kali mendengar suaranya. Aku terus meyakinkan diri bahwa “dia” lah jodohku. Hingga saat orangtuanya datang pun aku masih meyakinkan diriku, bahwa “dia”lah jodohku. Jadi tolong berhentilah bertanya mengapa aku memilihnya. Karena aku tak tahu, barangkali inilah cara tuhan untuk menunjukkan jodohku. Mungkin saja Allah telah menanamkan cinta di hatiku untuknya. Entahlah, aku hanya berserah pada tuhan yang mengatur segala hidup.

Setelah jatuh pilihan itu, aku menjalani hidupku seperti biasa. Aku telah memilih, tapi aku harus bersabar untuk menunggunya pulang dari negeri seberang. Dalam masa penantian itulah, Allah memberiku jawaban. Dua lelaki yang namanya pernah aku tuliskan dalam kertas, satu di antaranya yang pernah muncul tiga kali itu hendak melangsungkan pernikahan itu artinya dia memang bukan jodohku. Lalu lelaki yang menanyakan padaku tentang calon pendamping hidup pun telah melangsungkan pernikahannya. Aku bersyukur para lelaki itu telah menemukan bidadarinya. Hal itu semakin menguatkan bahwa “dia” lah jodoh yang Allah kirim untukku. Sebuah nama yang hilang, namun hinggap di hatiku.

***

Insya Allah bulan Januari ini aku pulang ke tanah air dan kita akan menikah, tulis lelaki itu dalam sebuah pesan.

Masya Allah, hati perempuan mana yang tak bahagia jika membaca sebuah tulisan seperti itu? Tulisan yang selama ini diharapkan dari lelaki yang telah dipilihnya. Maha besar Allah yang akan menautkan hati seorang hamba jika Dia sudah berkehendak untuk menyatukan keduanya dalam sebuah ikatan suci. Maha besar Allah yang takkan membiarkan hati seorang hamba yang berserah pada-Nya terlalu lama dalam penantian yang melelahkan. Maha besar Allah atas segala cinta, maka dengan menyebut nama-Mu akan aku luruhkan baktiku kepada suamiku nanti.

Lelaki yang namanya hilang diterpa angin itu, dialah lelaki yang aku cenderungi. Lelaki yang aku harapkan untuk menjadi pendampingku, ternyata Allah mengabulkan keinginanku. Dan sekali lagi tolong jangan tanyakan mengapa aku mencenderunginya.

Allah, jika benar telah Engkau catatkan “dia” untuk menjadi teman dalam menapaki hidup, maka satukanlah hati kami. Berikanlah kebahagiaan diantara kami, agar kemesraan itu abadi. Seiringkanlah langkah kami melayari hidup ini ke tepian Jannah-Mu. Terimakasih tuhan, telah Kau tunjukkan cinta padaku.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang guru yang memiliki hobi menulis, aktivitas saat ini adalah mengajar di sebuah sekolah dasar sembari membantu jualan bakso. Memulai menulis sejak SMP dan tergabung dalam organisasi kepenulisan Forum Lingkar Pena.

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization