Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Bersuci Hati dengan Kontinuitas Wudhu

Bersuci Hati dengan Kontinuitas Wudhu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Berwudhu
Berwudhu

dakwatuna.com – Bismillahirrahmanirrahim. Rabbi zidnii ‘ilman war zuqni fahman. Aamin… Saya awali kalimat-kalimat yang Insya Allah penuh makna dan ibrah ini dengan untaian doa semoga Allah menjadikan tulisan ini bagian dari amalan-amalan yang akan terus membawa manfaat bagi umat manusia hingga akhir zaman.

Hampir di sebagian besar kitab-kitab fiqh, para ulama pengarang kitab fiqh selalu mengawali pembahasan di dalam kitabnya dengan pembahasan thaharah, yaitu bab yang berbicara tentang tata cara bersuci sesuai dengan kaidah syariat. Hal ini setidaknya memberikan makna dan pertanda bahwa kedudukan bersuci dalam beribadah dan kehidupan beragama menjadi hal yang sangat penting diperhatikan, karena bagaimanapun juga tak dapat dipungkiri bahwa pada hakikatnya kesempurnaan bersuci ini nantinya akan sangat menentukan bagaimana kualitas ibadah yang dilakukan, terutama ibadah yang dituntut dilakukan dalam keadaan suci, bahkan ikut menentukan sah tidaknya ibadah tersebut.

Dari sekian banyak subbab dalam thaharah ini, salah satu yang terpenting adalah pembahasan mengenai berwudhu’. Di dalam Alquran, Allah memerintahkan setiap Muslim untuk berwudhu sebagaimana yang tersurat dalam QS Al-Maidah ayat 6, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki…. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu, dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur”.

Namun, hakikat sebenarnya yang patut menjadi perhatian besar bagi kita adalah berwudhu’ bukan hanya menjadi sebuah rutinitas ketika akan melaksanakan shalat atau ibadah lain selain shalat saja, tetapi justru kontinuitas wudhu’ dan menjaga tubuh untuk selalu dalam keadaan suci inilah yang harus kita beri perhatian besar. Di sinilah letak sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi saw. Manfaat besar dari berwudhu’ tentu tidak akan diperoleh jika berwudhu’ hanya dilakukan secara instan dan temporer.

Di balik semata-mata perintah Allah untuk berwudhu tersebut, tentu ada banyak alasan dan manfaat yang akan diperoleh dari berwudhu’ ini, seperti di antaranya dari sisi medis, membasuh sebagian besar tubuh dengan air dapat melindunginya dari kotoran dan debu, mencegah dari infeksi-infeksi, menyingkirkan berbagai penyakit, dan ini tercermin pula pada psikologis mereka yang rutin menjaga berwudhu adanya ketenangan dan ketenteraman lahir dan batin. Inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa Rasulullah menganjurkan orang yang sedang marah untuk segera berwudhu’ agar rasa amarah yang sudah terlalu meradang di dalam jiwa mereda.

Lalu apa korelasinya berwudhu dengan kesucian hati? Sehingga tidak dapat kita pungkiri bahwa sangat erat kaitannya antara kesehatan jasmani dengan rohani pada pribadi manusia. Sikap selalu menjaga kebersihan jasmani akan ikut melahirkan sikap menjaga kebersihan rohani, hal ini dapat terjadi melalui kebiasaan (habits) yang tertanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Ia menjadi karakter yang tidak dapat terpisahkan dalam perilaku keseharian. Bukankah ada ada ungkapan Latin yang mengatakan “mensana in corpore sano”, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat ???

Ketika kebiasaan menjaga kontinuitas wudhu’ ini terlaksana dengan baik, maka kebiasaan ini memberikan efek samping berupa kecenderungan untuk selalu menjaga tubuh dalam keadaan bersih. Lebih lanjut untuk mendeskripsikan hal ini, izinkan saya menukilkan sepenggal kisah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari tentang Bilal bin Rabah, seorang sahabat nabi yang memiliki kebiasaan sepanjang hidupnya selalu menjaga dirinya dalam keadaan berwudhu’. Simaklah kawan-kawan dengan seksama.

Pada suatu masa ketika akan shalat Fajar, Rasulullah bertanya kepada Bilal, “Wahai Bilal, ceritakan amal yang paling utama yang sudah kamu amalkan dalam Islam, sebab aku mendengar di hadapanku suara sandalmu di dalam surga”. Bilal berkata, “Tidak ada amal yang utama yang aku sudah amalkan kecuali jika aku bersuci (berwudhu’) pada suatu kesempatan malam ataupun siang melainkan aku selalu shalat dengan wudhu’ tersebut di samping shalat wajib”.

Dalam hadits ini terlihat bagaimana seorang Bilal terus menjaga wudhu’nya, bahkan beliau ketika masuk waktu shalat Bilal shalat tanpa perlu berwudhu’ kembali. Kontinuitas menjaga wudhu’ inilah yang kemudian memberikan nilai lebih bagi keseharian seorang Bilal, hingga keutamaannya digambarkan Nabi dengan kalimat “aku mendengar suara sandalmu di dalam surga”. Mereka yang menjaga wudhu’ pasti lebih cenderung untuk bersikap bersih, tidak semrawut dan berantakan, dan tidak akan nyaman jika berada pada kondisi yang tidak mendukung kebersihan. Bahkan dalam visi yang lebih jauh, kontinuitas wudhu menjadi sarana pembentukan karakter untuk pembiasaan hidup bersih.

Menjadi sesuatu yang tidak dapat dipungkiri, kesucian tubuh dari segala bentuk kotoran, hadats dan najis mampu mengantarkan kita pada kesucian hati. Dari sinilah kemudian Allah mendekatkan kita pada-Nya karena kesucian yang ada pada kita. Jadi mari mulai sekarang menjaga kontinuitas wudhu’ kita, di satu sisi sebagai sarana menjaga kesucian dari najis dan hadats yang juga ikut membawa kebaikan dari segi medis dan psikologis, di sisi lain ia menjadi alat pembersih hati dari segala kotoran dan penyakitnya. Hingga pada akhir yang dijanjikan, mereka-mereka yang beruntung yang telah membersihkan hatinya akan diseru Allah dengan seruan, “Ya ayyatuhannafsul muthmainnah, wahai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah engkau kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai. Lalu Masuklah engkau dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surgaKu.” Surga yang Allah janjikan nanti adalah suatu tempat yang suci, maka tidakkah layak jika dari sekarang kita memantaskan diri untuk berada di sana suatu saat nanti?

Wallahu a’lam bisshawab…

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Kelahiran Meulaboh, Juli 1994. Sekarang menempuh studi di FH UGM semester 6, angkatan 2012. Selain kuliah, juga aktif di Kementerian Kajian Strategis BEM KM UGM, Keluarga Muslim FH UGM, dan peneliti di Bulaksumur Institute.

Lihat Juga

Amal Spesial, Manajemen Hati

Figure
Organization