Topic
Home / Pemuda / Mimbar Kampus / Ada Apa dengan Aktivis?

Ada Apa dengan Aktivis?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (donialsiraj.wordpress.com)
Ilustrasi (donialsiraj.wordpress.com)

dakwatuna.com – Maraknya aktivis-aktivis kampus yang menjamur di hampir setiap kampus-kampus besar atau kecil, swasta ataupun negeri, agama ataupun umum yang ada di Indonesia saat ini, menimbulkan rasa gembira dan optimisme yang sulit diungkap oleh kata-kata. Dakwah di era 90-an yang bermula dari sembunyi-sembunyi dari rumah ke rumah, kini amat mudah ditemui dipelbagai instansi termasuk masjid atau mushalla yang digawangi para aktivis.

Tetapi tentunya, sudah sunnatullah bahwa bertumbuhnya dakwah melalui aktivis, maka tumbuh juga pelbagai masalah yang timbul. Ada beberapa hal sepele yang telah banyak terjadi, yang mungkin bisa di ma’fu atau dimaafkan ataupun dianggap hal lumrah. Tetapi ada poin-poin yang dianggap sepele di beberapa aktivitas organisasi tempat para aktivis dakwah bernaung. Di antara poin-poin tersebut adalah sebagai berikut:

1. Super sibuk bak direktur

Maraknya sosial media yang ada sekarang ini seharusnya memudahkan kerja-kerja yang ada, entah itu koordinasi, syura undangan kajian dan semacamnya. Adakalanya fenomena ini adalah penyakit yang sulit ditemukan obatnya. Betapa tidak, jika seorang aktivis yang dibutuhkan bertemu untuk syura, sekedar membalas “chat” pun ogah-ogahan, sms dan telefon masuk pun diabaikan, hal ini tidak kita temukan sekali atau dua kali tetapi berkali-kali.

Sadar atau tidak, sikapnya yang bak direktur tersebut sama sekali tidak mencerminkan dakwah yang dia emban. Seakan-akan ikhwah lain sesama aktivis adalah para pengangguran yang tidak mempunyai kesibukan, sehingga melarikan dirinya ke syura dan kajian-kajian.

Please deh, Allah memberi kita 24 jam dalam sehari semalam dan 7 hari dalam seminggu kepada setiap manusia, dari banyaknya jeda waktu tersebut, masih enggankah sekadar mengorbankan beberapa jam untuk dakwah? Boro-boro panggilan jihad, panggilan telefon masuk ngajak syura pun ogah-ogahan.

Lalu alasan apa yang hendak kita buat? Sibuk-kah? Beberapa aktivis beralasan dengan sibuk kerja sibuk ngajar, sibuk cari uang. Karena alasan ingin mandiri. Mereka lupa, bahwa yang Maha member rezeki hanya Allah semata. Apakah dengan mengorbankan waktu sekian jam Allah telantarkan kita? Mikir.

Lalu, apa bedanya kita dengan orang-orang yang sama sekali tidak paham dakwah dan agama yang mulia ini dalam mengumpulkan harta? Sekarang, apakah bedanya aktivis-aktivis dakwah yang enggan menyambut dakwah yang hanya berdurasi 3 jam-an dan menyibukkan diri mencari nafkah 7 hari-an dengan orang-orang kapitalis, kafir, munaafiq, atau fasiq yang sibuk dalam mengumpulkan harta benda? Sepertinya ungkapan “Di situ kadang saya merasa sedih” masih amat lama bergaung.

2. Individualis

Bahwa manusia adalah makhluk sosial, hal itu adalah keniscayaan. Meskipun dalam beberapa hal kita dianjurkan menyendiri seperti Rasulullah yang menyepi ke gua hira, ketika shalat malam, dan bermuhasabah. Tetapi meyendiri sama sekali jauh maknanya dengan individualis.

Individualis adalah sikap menjauhi semua bentuk interaksi sosial dengan manusia dengan mencukupkan apa-apa yang ada padanya.

Sikap individualis ini lahir kadang disebabkan oleh pengaruh gadget baru, sibuk di media sosial atau semacamnya.

Individualis ini berakibat buruk karena sebagai pengemban dakwah yang mulia, aktivis kampus sangat dianjurkan berinteraksi dengan masyarakat sosial untuk tercapainya dakwah kepada seluruh manusia sebagaimana Alquran anjurkan.

Banyaknya fenomena aktivis yang tidak mau tahu dengan urusan masyarakat, berinteraksi dan lain sebagaimnya, membuat dakwah dan para pengembannya mempunyai “citra sangat buruk” di mata mereka. Bagaimana tidak, sebagai masyarakat awam, mereka berkata dan berpikir hanya berlandaskan perasaan dan “jangan-jangan”, jangan-jangan dia teroris, jangan-jangan dia mulai lapar dan banyak lagi jangan-jangan yang lainnya.

Hal ini bukan isapan jempol semata, karena banyaknya aktivis yang kenal dengan pak RT di seputaran kostnya pun tidak, mengucap salam kepada orang di sekitarnya ketika lewat pun ogah-ogahan, bahkan tak jarang yang rajin shalat berjamah di masjid yang tak mengenal pak Imam atau takmirnya. Sungguh, ter…la..lu.

3. Modus

Kata modus lebih cenderung kepada sikap tersembunyi aktivis ikhwan kepada si aktivis akhwat. Istilahnya “Tulus tapi Bulus”, Ikhlas tapi modus” dan “Udang di balik bakwan” kadang disematkan. Di beberapa kejadian, kita dapati memang yang serikng ikhwan-lah yang memercikkan api modus, tetapi di beberapa kurun waktu, bahwa peran akhwat tak bisa dipungkiri dalam membuat modus. Japri-japri yang tidak penting, info ataupun tips-tips umum adakalanya hanya perlu dibicarakan di grup-grup sehingga “gejala modus” tak perlu berkembang biak lebih lama. Atau di media sosial si akhwat begitu mudah mengumbar foto-foto narsis -yang narsisnya ngalahin ABG dan cabe-cabean- mengharap like dan komen. Komentar-komentar yang ada pun terkesan menjijikkan (bagi saya) “aduh shalihahnya, tapi lebih shalihah kalau ada yang punya” atau ‘”kok cuma duduk sendiri, kursi satunya buat ana ya”. Hadeeh, muntah deh (kresek mana kresek).

4. Enggan untuk totalitas.

Jika kita mau bersusah-susah sedikit membolak balik lembaran-lembaran Alquran di mushaf akan kita dapati bahwa ayat yang bermakna totalitas cukup banyak di dalam Alquran dan ini mengindikasikan bahwa menjemput takdir Allah tak cukup dengan ikhlas dan niat saja tetapi totalitas amat sangat diperlukan. Mengutip apa yang dikatakan Ustadz Anis Matta: “…. Bahwa mengapa orang Indonesia jika jadi politikus bukan politikus beneran, tetapi sebagaiannya sebagai apa gitu. Begitupun ketika dia direktur, pedagang atau bahkan ilmuwan, mereka bener-bener bukan sebagai itu.”

Sikap enggan untuk totalitas ini menimbulkan efek buruk yang berkesinambungan seperti; mudahnya berprasangka, keras kepala, mementingan pendapat sendiri dan menolak pendapat orang lain, dan bahkan bisa berakibat futur. Virus ini mungkin juga yang menyebabkan banyaknya acara-acara di televisi Indonesia yang bersifat aneh-aneh, seperti; “GGS (Ganteng-Ganteng Serigala)” mau dikatakan serigala bukan, mau dikatakan manusia juga lebih sulit. Begitupun dengan acara-acara yang tidak totalitas lainnya; 7 manusia kodok, 3 manusia simpanse de-el el.

Aktivis pun diharapkan untuk totalitas dalam dakwahnya, dalam artian ia siap menjadi terdepan demi keberlangsungan dakwah. Jika tidak, maka akan sulit untuk dicap sebagai pewaris nabi seperti halnya judul-judul sinetron yang merusak.

Semoga Allah Ta’ala memberi kita kekuatan dan senantiasa mencurahkan rahmat dan taufiqnya kepada kita semua. Meng-istiqamahkan kita dalam dakwah dan agama yang mulia ini. Aamiin.

Wallahu ta’ala a’lam bis showaab.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa Ma�had Hasan bin Ali Samarinda & Pengajar di Ma�had Tahfidzul Quran Subulana Bontang, Kalimantan Timur.

Lihat Juga

Keikhlasan Dalan Kerja Dakwah

Figure
Organization