Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Suatu Malam di Kota Mbaiki

Suatu Malam di Kota Mbaiki

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Afrika Tengah (infoplease.com)
Afrika Tengah (infoplease.com)

dakwatuna.com – Hari itu aku menuju Kota Bangui, Ibukota Negara Afrika Tengah untuk mengantarkan barang dagangan. Jalanan antara kota Mbaiki-Bangui tampak sepi dan lengang, lain dari biasanya. Hanya sedikit kendaraan yang lalu lalang, biasanya bis-bis, truk, bahkan sampai gerobak keledai lalu lalang dengan aktivitasnya masing-masing. Toko-toko di sepanjang jalan tutup, tak ada orang yang berjalan di pinggir jalan, dan penduduk mengunci pintu juga menutup jendela rumahnya.

Ada apa gerangan? Tapi hari itu aku sudah berjanji akan mengantarkan barang dagangan ke rekan bisnis di Bangui. Ya, Aku seorang pedagang bumbu-bumbu dapur yang sudah dihaluskan. Sudah sejak puluhan tahun yang lalu aku menekuninya, selama seminggu sekali menempuh perjalanan sepanjang 100 kilometer dari Mbaiki-Bangui dengan sepeda motor.

Hanya tinggal 30 kilometer lagi aku akan memasuki Bangui, tapi tiba-tiba di tengah perjalanan beberapa orang polisi mencegat motorku.

“Anda tidak bisa memasuki Bangui hari ini, terlalu berbahaya. Berbalik arahlah!”

“Apa yang terjadi?”

“Ada kerusuhan hebat.”

Tak ada pilihan lain, sangat berbahaya jika memaksa menempuh perjalanan. Akhirnya aku kembali pulang ke rumah dengan barang dagangan yang masih terikat rapi di jok motor. Setiba di rumah aku menelepon rekan bisnis.

“Assalamu’alaikum, Abdalla… ini Ahmadou.”

“Walaikum salam…” Jawab suara di ujung sana, suara-suara gaduh dan teriakan orang-orang membuat suara Abdalla tidak terdengar dengar jelas.

“Maaf, hari ini aku tidak bisa mengantarkan pesananmu… dalam perjalanan, polisi melarang aku memasuki Bangui.”

“Ya, kondisi di sini memang sangat gawat… orang-orang muslim dibunuh, tak peduli wanita dan anak-anak, masjid-masjid dibakar… aku sendiri hanya bisa pasrah kepada Allah…” Suara di ujung telepon mulai terputus-putus.

“Di mana kamu sekarang?”

“Aku berlindung di dalam toko.” Tiba-tiba saja sambungan telepon terputus.

Mendengar berita itu membuatku mengkhawatirkan kondisi Abdalla. Semoga dia baik-baik saja. Kondisi di Afrika Tengah semakin memburuk semenjak Seleka yang merebut kepemimpinan di Afrika Tengah membubarkan diri. Milisi-milisi atau kelompok sipil bersenjata tumbuh bagaikan jamur, mereka merajalela. Menyerang kota-kota, membunuh dan menjarah rumah-rumah penduduk. Ah, aku tak tahu bagaimana kekacauan ini bisa berkembang biak.

Aku mulai membuka ikatan karung yang berisi barang dagangan, lalu memanggulnya masuk ke dalam toko sekaligus rumah lalu menuangkan isi karung ke kotak-kotak berbaris tempat bumbu-bumbu dapur untuk dijual. Ya, akhirnya barang dagangan itu aku jual sendiri. Tak ada kepastian kapan kondisi Bangui akan aman kembali.

Malam menyapa Kota Mbaiki, sudah menjadi rutinitasku saat malam tiba waktunya berkumpul dengan istri dan anak. Menikmati hidangan Fufu hangat yang dimasak istriku, sambil menyantap kami biasa menonton televisi. Putriku yang mulai beranjak dewasa menekan remote televisi menampilkan acara berita.

Kondisi Kota Bangui semakin memanas, para milisi merangsek ke dalam kota pada pagi hari pukul 06.00 dan kerusuhan terus berlangsung hingga malam ini. Sedikitnya 70 orang tewas dan 94 orang luka-luka. Sebagian besar korban mengalami luka akibat tebasan parang. Beberapa korban diantaranya wanita dan anak-anak. Para korban dilarikan ke rumah sakit terdekat.

            Aku terdiam menyaksikan berita itu, layar televisi sedang menayangkan gambar korban-korban yang bergelimpangan di koridor rumah sakit. Korban-korban tewas dijejer berbaris di lantai dengan darah yang masih mengucur deras. Membuat lantai rumah sakit berubah warna menjadi merah. Sekilas aku melihat Abdalla, sedang duduk merintih kesakitan dengan kepala diperban. Salah seorang reporter menghampirinya untuk wawancara.

“Saat itu masih pagi hari, aku berniat untuk membuka toko. Namun saat aku melihat keluar, dari kejauhan rombongan orang-orang bersenjata berlari dengan cepat. Mereka berteriak-teriak sambil mengangkat parangnya seperti kesetanan… Para warga berlari melindungi diri. Aku melihat seorang pria ditebas kepalanya. Dalam keadaan panik aku segera mengunci semua pintu dan jendela… Beberapa jam kemudian mereka mulai mendobrak pintu tokoku… Kami terlibat perkelahian. Syukurlah aku masih selamat”

“Berapa orang jumlah mereka?” Tanya repoter.

“Entahlah mungkin puluhan orang…”

Berita beralih menangkap gambar suasana Kota Bangui saat itu, aku melihat sebuah masjid sedang terbakar. Kaca-kacanya pecah berserakan di lantai. Sekumpulan orang dengan parangnya tampak lalu lalang di halaman masjid. Mereka sangat beringas. Sementara itu putriku serius mendengarkan, matanya tak beralih dari televisi.

Sambil menonton dia bertanya padaku, “Ayah, kenapa mereka dibunuh? Kenapa masjid-masjid dibakar?”

“Ayah juga tidak tahu, Nak… Ayah hanya pedagang biasa.” Rasanya terlalu rumit menjelaskan semua kejadian yang dilihat putriku, kondisi politik di Afrika Tengah selama beberapa tahun terakhir memang tidak berjalan mulus. Aku sendiri tidak mengerti mengapa kondisi itu jadi berkembang ke pengusiran dan pembunuhan muslim di Afrika Tengah. Seiring waktu berjalan putriku akan mengerti.

***

Siang itu aku menuju ke Masjid Lobaye untuk Shalat Jum’at, seorang imam masjid naik ke mimbar. Dia imam masjid sekaligus wakil walikota Mbaiki. Sesaat kemudian dia mulai mengisi kutbah dengan wajah menyiratkan kesedihan.

“Saudara-saudaraku, beberapa hari yang lalu telah terjadi tragedi kemanusiaan di Kota Bangui. Banyak saudara-saudara kita yang tewas, sisanya mengungsi dan keluar dari Afrika Tengah, masjid-masjid dibakar, dan toko-toko dijarah. Setelah Shalat Jum’at kita akan melaksanakan Shalat Ghaib untuk mendoakan saudara-saudara kita yang telah tiada.”

Para jama’ah Shalat Jum’at larut dalam kesedihan, seorang jama’ah yang duduk di sampingku bahkan menangis sampai menetes air di hidungnya. Usianya tak lagi muda, kepalanya sudah ditutupi uban, dan kulit tangannya keriput. Aku pun merasakan kepedihan yang sama, seusai Shalat Ghaib aku menyempatkan diri untuk mengobrol dengannya.

“Kek, tadi aku melihat Kakek menangis…” Ucapku dengan nada bicara berhati-hati.

“Dua hari yang lalu anakku baru saja meninggal setelah dirawat di rumah sakit, dia menjadi salah satu korban kebrutalan mereka… Anakku tinggal di sebuah desa kecil, kira-kira 50 km dari Kota Bangui.”

“Jadi kerusuhan sudah mulai meluas ke pinggiran kota?”

“Ya, bukan tidak mungkin mereka akan merangsek ke tempat kita tinggal, Mbaiki… esok aku mengungsi ke negara lain.” Kakek itu mengusap sudut-sudut matanya, air mata bening masih jatuh membasahi pipinya yang tirus.

Sepulang dari masjid aku melihat kesibukan beberapa orang tetangga yang hendak mengungsi, sepertinya berita tentang meluasnya kerusuhan sudah tersebar dari mulut ke mulut. Mereka menumpuk barang-barangnya menjadi satu ke dalam truk, saat aku tiba mereka menghampiri untuk berpamitan. Sedih rasanya kehilangan tetangga yang sudah menjadi bagian dari hidupku.

Gelombang pengungsi semakin hari semakin meningkat. Setiap harinya selalu ada yang pergi meninggalkan Mbaiki. Beberapa truk berbaris, mereka berjejalan di atasnya bersama barang-barang. Sampai hari itu hanya tersisa tiga keluarga, termasuk keluargaku.

Aku sendiri mengkhawatirkan keselamatan anak dan istri. Hanya saja berat rasanya meninggalkan Mbaiki. Bagaimana tidak? Di tempat inilah aku dilahirkan dan membesarkan anakku. Rasanya tidak terbayang harus pergi meninggalkan tanah air ke tempat yang antah berantah. Para tetangga yang tersisa terus membujukku untuk ikut mengungsi, tapi aku masih ingin bertahan di Mbaiki. Biarlah anak dan istriku saja yang mengungsi.

Esok harinya di tengah-tengah kawalan ketat polisi truk-truk berbaris, bersiap-siap untuk mengungsikan keluargaku dan tetangga yang masih tersisa.

Sebelum menaiki truk istriku berkata, “Jika berubah pikiran susul kami ke Sudan.” Matanya berkaca-kaca, dia menggenggam erat tanganku. Aku hanya mengangguk perlahan.

“Jaga putri kita.”

“Apa kau yakin tidak ingin ikut dengan kami? Ini rombongan yang terakhir… tak ada lagi muslim di Kota Mbaiki selain dirimu…” Ucap salah seorang tetangga.

“Tak apa, pergilah!” Aku berusaha meyakinkan mereka.

Mesin truk dinyalakan, perlahan-lahan truk itu pergi meninggalkanku. Sendirian. Dari kejauhan aku lihat putriku membenamkan wajahnya ke pelukan istriku. Ya, sudah sejak semalam sebelumnya dia menangis tanpa henti saat mengetahui akan berpisah denganku.

***

Semburat jingga menghiasi langit Mbaiki, suasana sore itu sangat hening. Kota itu tak lagi sama seperti Kota Mbaiki yang kukenal. Aku memacu sepeda motor melewati Masjid Lobaye, tak ada lagi suara-suara anak kecil yang tertawa riang. Biasanya di sore hari anak-anak berkumpul di masjid untuk mengaji.

Aku menghela nafas, beberapa meter kemudian tampak rumah sekaligus tokoku. Aku memasukkan motor ke dalam rumah, tiba-tiba saja kesepian mendera. Biasanya saat tiba di rumah ada anak dan istri yang menyambut hangat. Ah, kutepis saja semua rasa itu.

Malam semakin larut, aku berada di dalam rumah sambil menyiapkan parang untuk berjaga-jaga. Semua pintu dan jendela dalam keadaan terkunci. Aku tidur di ruang tamu sambil memeluk parang. Tiba-tiba suara langkah-langkah kaki terdengar, semakin lama semakin dekat.

Aku terperanjat. Waspada. Jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Mataku mengintip dari jendela, mencari sumber suara. Tiba-tiba saja bayangan beberapa orang berkelebat di halaman rumahku. Aku terlonjak mundur selangkah dari jendela, dada bergemuruh, dan mata terbelalak. Jantungku berdetak sangat kencang.

Mereka semakin mendekat! Aku menggenggam erat parang yang sudah diasah sejak kemarin. Brak! Brak! Mereka berusaha mendobrak pintu. Prang! Kaca jendela dipecahkan. Aku bersiap-siap mengambil posisi menyerang.

“Woaaaa! Woaaa!” Mereka berhasil masuk ke dalam rumah dan berteriak-teriak, parang-parang itu berkilauan terkena cahaya lampu rumah. Aku terus bertahan melancarkan serangan beberapa dari mereka terjerembab ke tanah setelah terkena sabetan parangku.

Kondisi semakin genting, beberapa kawan mereka berdatangan setelah mendengar keributan, aku terdesak masuk ke dalam toko. Tiba-tiba saja sabetan parang salah seorang dari mereka mengenai lengan dan kakiku.

“Aaaa!” Aku menjerit kesakitan, senjataku terjatuh ke lantai.

Mereka seperti kanibal yang ingin mengunyahku, aku terduduk di lantai. Sedikit demi sedikit mereka melangkah semakin dekat. Tiba-tiba tanganku menyentuh bumbu-bumbu halus yang terusun di kotak berbaris.

Ini bubuk cabai! Aku menggenggam bubuk itu sebanyak-banyaknya. Bagus teruslah mendekat! Mata mereka merah beringas, salah seorang dari mereka mengangkat parangnya tinggi-tinggi.

Ini saat yang tepat! Ya Allah, tolonglah hamba. Dalam hitungan detik aku melempar bubuk cabai itu ke mata mereka. Tak ada satu pun dari mereka yang luput. Mereka menjerit kesakitan dan saling melukai, mereka mengira temannya adalah diriku, karena tidak dapat melihat dengan jelas.

Dengan langkah terseok-seok aku memaksakan dari berlari ke motor. Tak lama motor itu melaju menyusuri jalanan Kota Mbaiki dengan kecepatan penuh. Saat itu aku akan berlindung ke kantor polisi. Nahas, motorku mogok di jalan. Padahal kantor polisi hanya tinggal beberapa meter lagi. Darah mengucur deras dari kaki dan lenganku, sambil menyeret kaki aku berjalan perlahan ke kantor polisi. Tiba-tiba saja beberapa orang milisi menghadangku. Mereka tersenyum sinis.

Mereka terus memukuli, tak ada lagi tenaga yang tersisa untuk melawan. Dalam keadaan setengah sadar mereka menarik kedua kaki dan tanganku. Samar-samar kulihat mereka mengangkat parangnya. Ya Allah, tolonglah hamba!

***

Truk itu mengantri di pintu perbatasan Afrika Tengah-Sudan, sudah hampir sepuluh jam aku berdiri di truk berjejalan dengan pengungsi dari kota-kota lain sekitar Bangui. Aku menatap langit Afrika Tengah untuk terakhir kalinya sebelum memasuki Sudan.

Luka-luka akibat perkelahian masih menyisakan nyeri yang amat sangat. Malam itu dalam keadaan setengah sadar sayup-sayup kudengar jeritan-jeritan histeris anggota milisi. Tiba-tiba saja mereka terpental dengan sendirinya beberapa meter ke udara, sementara aku tergeletak tak berdaya di tengah jalan. Suara-suara keras terdengar, seperti bunyi godam raksasa yang menghantam. Aku sendiri tak kuasa mendengarnya. Mereka merintih kesakitan, tak lama setelah itu tak ada lagi suara yang terdengar. Sunyi.

Aku ditemukan oleh beberapa orang anggota polisi dan dibawa ke rumah sakit. Saat tiba di rumah sakit mereka bertanya padaku, “Apa yang sudah kau lakukan terhadap kelompok milisi itu?”

Aku terbengong-bengong, tak mengerti maksud ucapan mereka, “Aku tidak melakukan apa-apa… ketika itu kesadaranku sedang menurun karena kehabisan banyak darah.”

“Kami menemukan kelompok milisi itu bergelimpangan di sekitarmu dengan wajah yang rusak dan tidak dapat dikenali… seakan-akan wajah mereka habis dihantam benda yang sangat keras.”

Saat itu aku tertegun mendengarnya, mungkinkah Allah SWT mengirimkan pasukan-Nya? Tiba-tiba saja air mata mengalir deras, membuat wajahku basah.

***

NB: Fufu: Makanan khas Afrika Tengah berupa sup kacang.

Cerpen ini terinspirasi dari artikel berita yang pernah dirilis dakwatuna.com yang berjudul Saleh Dido, Muslim Terakhir di Kota Mbaiki.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang ibu rumah tangga, yang sedang mencoba hobi baru yaitu menulis. Ternyata menulis itu mengasyikkan sama menariknya dengan membaca.

Lihat Juga

Jakarta Punya Modal Jadi Salah Satu Kota Terkemuka di Dunia

Figure
Organization