Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kisah Ibu 3 Zaman

Kisah Ibu 3 Zaman

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Pagi itu, setelah raja memutuskan vonis mati terhadap seorang pemuda atas perampokan, pencurian dan berbagai aksi kejahatan yang dilakukan olehnya, alun-alun kerajaan tempat pemuda akan dieksekusi sudah ramai oleh penduduk yang ingin menyaksikan pemuda dihukum mati. Sebenarnya mereka sudah sejak lama resah dengan tingkah laku pemuda tersebut.

Pemuda itu, anak dari seorang ibu. Kemarin lalu sang ibu yang telah renta usianya, bungkuk tubuhnya, rambutnya yang telah memutih mendatangi raja dengan diri penuh pinta agar Raja mencabut hukuman mati atas anaknya. Anaknya yang bahkanpun ketika belum dilahirkan ke dunia ini, tak henti ia doakan untuk kebaikannya. Sampai ketika hari-hari ketika penuh ujian tentang pengaduan penduduk akan tingkah laku anaknya, “ Duhai Robbi… tunjukkan hidayah-Mu kepada yang tercinta, anakku. Maafkan dia, ampuni dia.”

Maka kurang lebih, seperti itu jugalah pintanya pada Raja, “Duhai, sungguh aku tau tugasmu adalah menegakkan kebenaran. Sungguh akupun tak menyangsikan akan tidak benarnya kelakuan anakku dan akupun tak membenarkan akan apa yang sudah anakku lakukan. Tetapi, Duhai Raja… tidakkah kau bersedia memberi ia kesempatan untuknya memperbaiki diri? Atau… biarlah saya yang sudah renta ini menggantikan posisinya dalam hukuman itu, Duhai Raja. Maafkanlah dia…maafkan anak saya…” susah payah Ia berbicara tersebab pilu yang tengah menutupi hatinya. Air matanya sudah sungguh deras. Bahunya terguncang karena tangisnya begitu sesegukan. Meski begitu, raja tetap pada keputusannya. “Maafkan saya, Duhai Ibunda. Aku tak menyangsikan betapa luas kasihmu pada anakmu dan akupun tak menyangsikan bahwa anakmu berhak mendapat kesempatan itu. Tetapi, apa yang sudah dilakukan anakmu memang sudah sungguh keterlaluan, esok anakmu harus tetap dihukum mati.” Maka sang ibu pulang dengan hati bagai kaca pecah.

Dan hari itu, sang pemuda digiring ke alun-alun. Dengan penuh sesal ia membayangkan wajah sang ibunda. Tiba-tiba saja matanya panas, bahunya terguncang meratapi kebodohannya. Duhai…betapa sia-sianya penyesalan ini. Matanya mencari sang Ibunda di antara kerumunan. Sungguh ia ingin memeluknya untuk kali terakhir. Ia tertunduk ketika menyadari betapa ibunya tak mungkin hadir tersebab ia tak mungkin kuasa melihat anaknya dihukum mati.

Sesuai perencanaan, pemuda itu akan dihukum setelah lonceng pertama berbunyi tanda dimulainya hukuman. Lama Raja, para punggawa kerajaaan dan rakyat menunggu. Lonceng itu tak kunjung berbunyi. Suasana mulai gaduh. Petugas yang membunyikan lonceng pun heran, sebab sedari tadi ia sudah menarik tali lonceng tetapi tak ada dentang bunyinya.

Saat suasana telah gaduh, dari tali lonceng mengalir darah yang berasal dari atas tempat lonceng diikat. Semua mata berpandangan, kiranya apa yang terjadi. Dengan segera, sang petugas naik ke atas untuk memeriksa sumber darah. Betapa terkejutnya ketika ia melihat tubuh seorang ibu tua dengan kepala berlumuran darah, tengah memeluk bandul di dalam lonceng. Itulah sebab mengapa lonceng tak berbunyi. Sebagai gantinya, kepalanya yang terbentur di dinding lonceng.

Seluruh mata yang menyaksikan menangis melihat kejadian itu. Ternyata, malam sebelum sang anak dihukum mati, ibundanya susah payah memanjat tiang lonceng untuk mehanan agar lonceng tak berbunyi. Menahan agar hukuman mati untuk anaknya tak jadi dilakukan. Dengan penyesalan yang semakin bertambah, sang anak memeluk jasad ibunya. Sang Raja benar, tak ada yang bisa menyangsikan luasnya kasih ibu kepada anaknya.

Di zaman yang berbeda, maka kita temui kisah yang berbeda pula. Namun, siapa yang bisa mengatakan bahwa luas kasih ibunda akan hilang juga seiring perbedaan zaman?

Api itu sudah berkobar. Percikannya begitu banyak. Dilihat dari nyalanya, tentu akan langsung menghanguskan tubuh yang akan dimasukkan di dalamnya. Ya, api itu dimaksudkan untuk membakar sejasad manusia yang sedang sekarat. Al Qomah namanya. Seorang sahabat dari manusia paling mulia, Muhammad.

“Ya Rasulullah….Benarkah hal ini akan kita lakukan untuk Al Qomah?” seorang sahabat bertanya tak yakin.

“Ya. Lebih baik, daripada ia harus mengalamai sakaratul maut yang begitu sulit sehingga membuat ruhnya sulit untuk keluar.

Kisah yang melatarbelakanginya adalah ketika setelah diselidiki, Ibunda dari Al Qomah tak ridha atas satu perlakuan yang dilakukan anaknya terhadapnya. Itulah yang tak pernah bisa ia maafkan dari sikap anaknya.

“Tapi kini, anakmu tengah mengalami sakaratul maut yang begitu sulit. Tidakkah engkau berkenan untuk memafkannya, Duhai Ibunda?” bujuk sang Rasul.

“Biar. Biar ia merasakan betapa sakitnya hatiku atas perlakuannya semasa hidupnya.”

Sungguh beliau tau rasa sakit hati ibunda Al Qomah. Sungguh beliau pun tak membenarkan atas perlakuan sikap Al Qomah pada ibunya. Tapi api itu beliau lakukan hanya strategi darinya. Beliau tahu, sesakit apapun rasa sakit ibu pada anaknya, tapi rasa sakit itu hanya bagai setitis air di antara lautan cintanya yang begitu dalam dan luas.

Maka saat api sudah siap dan Al Qomah siap dimasukkan, kalimat itu keluar dari lisan ibunya yang penuh cinta, “Jangan lakukan itu, Ya… Rasulullah. bagaimana mungkin aku tega membiarkan anakku dibakar. Aku sudah memaafkan dia…aku sungguh memaafkan anakku… Ya Roaulullah…” maka pada akhirnya, seperti yang kita tahu, Al Qomah mengalami kemudahan dalam sakaratul mautnya.

Dan saat ini, di zaman sekarang kita hidup, kita menemui kisah Nenek Fatimah yang digugat oleh anak dan menantunya tersebab sangketa tanah. Seorang anak, menggugat ibunya sendiri ke pengadilan. Duhai… Belum cukupkah kisah Al Qomah membuat kita tersadar?

Di zaman sekarang kita hidup, kita akan menemui ibu dari seorang anak yang mendapat labelling “Pembegal” dari masyarakat. Ketika cinta seorang ibu kapanpun, di manapun tak pernah memuai seperti besi, tak mencair layaknya es salju, tak pernah terkikis, menciut atau memudar.

Tubuhnya mulai ringkih, dari balik sebagian ujung kerudung yang ia pakai untuk tutupi wajahnya, terlihat kelelahan, kesedihan, dan penyesalan. Entah sesal tersebab merasa gagal menjadi seorang ibu yang baik atau sesal sebab apa yang sudah anaknya lakukan, atau bahkan penyesalan atas sikap masyarakat yang telah membakar anaknya hidup-hidup.

Hari itu, setiap stasiun televisi menyiarkannya. Berita tentang anaknya, juga tentang wawancara dirinya. Orang-orang mungkin akan berkata ia adalah ibu dari seorang pembegal yang akhir-akhir ini meresahkan penduduk di berbagai daerah Indonesia, mungkin juga mereka akan berkata bahwa ia telah gagal mendidik anaknya, dan berbagai komentar miring lainnya. Tentang caci-maki yang ditujukan untuk anaknya. Tapi bagaimanapun sikap anaknya, seorang ibu tetaplah seorang ibu. Di antara kalimatnya yang terputus-putus dan terbata ketika diwawancarai, ia menanggung atas perbuatan anaknya. Dengan sesegukan dan bahu yang masih terguncang, ia mengatakan permohonan maaf kepada seluruh rakyat negeri ini. Indonesia. “Saya minta maaf. Mohon maafkan anak saya…” kata-kata itu, sederhana saja, tapi mungkin membuat sebagian yang menyaksikan turut berduka kepada sang Ibunda. Beliau, seorang ibu, yang betatapapun besarnya kesalahan anaknya, cintanya jauh lebih besar dari itu semua.

Kita semua adalah anak dari seorang ibu. Maka setidaknya, sebelum bertindak sesuatu tak perlu jauh-jauh berpikir apakah orang lain akan rela? Cukup pikirkan apakah Ibu kita ridha atas apa yang kita lakukan? Tak berlebihan jika Teladan paling agung, Rasulullah Muhammad mengatakan kalimat yang bisa jadi pegangan kita. Bahwa ridha-Nya Allah tergantung pada ridha ibu, dan sebaliknya: murka-Nya tergantung pada murka ibu kita.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Dede El Triana, Tercatat sebagai mahasiswi di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta. Aktif dalam keanggotaan di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Syahid. Motto hidupnya adalah Bukan seberapa lama kamu hidup, tapi seberapa bermanfaat dirimu bagi sekitarmu. Saat ini novelnya yang telah terbit adalah Math VS Sastra (DAR!MIZAN, 2011), Antologi Cerpen �Bisik Rindu dari Masjid Sekolah� (Pustaka Puitika. 2014), dan antologi Cerpen dan Puisi Palestina �Goresan Indah Pena Syahid Intifadhah� (Raditeens Publisher. 2014). El dapat dihubungi di: twitter: @Dede_eltriana Facebook: Dede Al Khansa Tumblr: eltrianaideas.tumblr.com

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization