Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Agama dan Kepercayaan / Pengertian Syiah (Bagian ke-3): Kesimpulan, Analisa, dan Komentar

Pengertian Syiah (Bagian ke-3): Kesimpulan, Analisa, dan Komentar

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
  1. Kesimpulan, Analisa dan Komentar

bahaya_syiahdakwatuna.com – Sebenarnya, jika apa yang dimaksudkan dengan Syiah adalah mereka yang memiliki kecenderungan, dukungan, atau anggapan bahwa Imam Ali dan Ahli Bait lebih utama dalam memegang tampuk kepemimpinan pasca-Nabi Saw, seperti yang diungkap oleh Imam Asy’ari, Ibnu Hazm, Ibnu Khaldun, dari kalangan Ahli Sunnah, maupun Al-Qummi, an-Naubakhti serta Mufid, dari kalangan Syiah, maka kita dapat jumpai sejumlah Sahabat yang tidak terorganisir seperti Salman al-Farisi, al-Miqdad, Abu Dzar al-Ghifari, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam dan lain-lain, termasuk di dalamnya beberapa anggota dari Bani Hasyim yang memiliki kecenderungan, angan-angan dan pandangan bahwa Imam Ali adalah Sahabat yang paling layak untuk  menjadi khalifah pasca-wafatnya Nabi Saw.

Namun demikian, menurut Ibnu Khaldun, “Karena kuatnya kaki mereka tertancap dalam keislaman (maksudnya, kuatnya pemahaman dan pengamalan terhadap ajaran Islam), serta karena didorong oleh semangat untuk menjaga kebersamaan dan kesatuan umat, apa yang mereka lakukan, tidak lebih dari sekadar kecenderungan, pandangan, menyesal dan menyayangkan”[1].

Hingga pada akhirnya mereka membaiat ketiga khalifah sebelum Imam Ali, serta bersatu-padu dalam membela, mengajarkan dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Intinya, mereka tidak sampai membuat kubu, apalagi berkembang menjadi sebuah gerakan oposisi yang selalu melawan pemerintahan yang ada.

Demikian kondisi terus berlanjut hingga akhirnya Imam Ali dibai’at menjadi khalifah keempat setelah syahidnya khalifah ketiga Utsman bin Affan Ra., yang disusul dengan terjadinya peristiwa Jamal, lalu peristiwa as-Shiffin, di mana peristiwa terakhir ini kemudian memunculkan tiga kubu: Kubu Muawiyah bin Abi Sofyan, kubu Khawarij, dan kubu pendukung Imam Ali bin Abi Thalib. Pada saat itulah awal dimungkinkannya pemakaian lafal Syiah dengan makna pendukung Imam Ali yang membaiat dan membela serta berperang di barisannya melawan dua kubu lainnya.

Namun, pengertian Syiah yang sangat longgar ini -menurut Dr. Muhamad Emarah- bukan pengertian yang tepat secara epistemologi (istilah). Sebab ciri paling khusus yang membedakan Syiah dengan kelompok lainnya bukan sekadar kecederungan kepada Imam Ali, bukan pula pandangan bahwa Imam Ali dan Ahli Bait adalah sosok yang paling tepat untuk memegang tampuk kepemimpinan pasca-meninggalnya Rasulullah Saw. Perhatikanlah, kelompok Mu’tazilah Baghdad dianggap berbeda dengan kelompok Mu’tazilah Bashrah di antaranya karena mereka memandang bahwa Imam Ali lebih utama menjadi khalifah ketimbang Sahabat lainnya. Namun demikian, mereka bukanlah Syi’ah. Mereka bahkan dikenal sebagai lawan Syiah secara pemikiran maupun politik, meskipun mereka terkadang tidak keberatan dijuluki Syiah Mu’tazilah.

Jadi, sekali lagi, pemikiran yang menyatakan bahwa Imam Ali lebih utama daripada Sahabat lainnya, bukanlah standar yang membedakan Syiah dengan madzhab lainnya. Tapi yang membedakannya, sebagaimana ditulis oleh Dr. Emarah, adalah keyakinan bahwa kepemimpinan itu ditetapkan dengan cara “Nash” (Naskah tertulis) serta “Washiyyah” (wasiat) dari Nabi [2].

Sehingga definisi yang paling lengkap dan sempurna untuk menjelaskan Syiah adalah definisi Syahrustani dan Muhammad Jawad Mughniyah. Dalam hal ini Syahrustani mengatakan:

Orang-orang yang mengikuti dan mendukung Imam Ali, berkeyakinan bahwa Imam Ali adalah pemimpin pasca-wafatnya Nabi melalui naskah tertulis dan wasiat (baik jelas maupun samar) dari Nabi, lalu kepemimpinan tersebut diwariskan secara turun-temurun kepada keturunannya, di mana kepemimpinan tersebut tidak keluar dari mereka kecuali karena kezaliman dari pihak lain, atau karena taqiyyah dari mereka. Mereka juga memandang bahwa masalah Imamah (pemerintahan) ini adalah masalah prinsipil dan termasuk salah satu rukun agama, yang tidak boleh diabaikan oleh Rasul serta tidak boleh diserahkan kepada pilihan publik (umat).

Selain mensepakati konsep Imamah berdasarkan naskah tertulis dan wasiat, mereka juga sepakat tentang kemaksuman para Nabi dan Imam (baik dari kesalahan besar maupun kecil), serta konsep at-tawalli wa attabarri (mengangkat Imam Ali dan keturunannyaa sebagai wali atau pemimpin serta berlepas diri dari para musuhnya, baik secara lisan maupun perbuatan)[3].

Hanya saja apa yang disampaikan oleh Sahrustani lebih tepat untuk mendefinisikan Syiah Imamiyah dari aliran Itsnā Asyariah (dua belas Imam) dan Ismailiyah, karena dengan definisi mereka itu, mengeluarkan Syiah aliran Zaidiyah, sebab Zaidiyah (Moderat) tidak berpendapat “Nash wal Washiyyah“, tidak pula menganggap Ahlu Sunnah telah melakukan kezaliman, serta tidak memiliki keyakinan tentang taqiyyah. Juga mengeluarkan Syiah aliran ekstrem, sebab Syiah aliran ini mengangkat derajat Imam Ali setingkat dengan derajat Nabi bahkan Tuhan. Pendapat ini tentunya berdasarkan pandangan sebagian peneliti yang membagi Syiah ke dalam: Zaidiyah, Imamiyah dan Ghulah (aliran ekstrem)[4].

Tapi, jika kita ingin mendefinisikan Syiah dengan memasukkan seluruh alirannya maka definisi yang paling tepat adalah:

“Pendukung dan pengikut Imam Ali dan Ahlu Bait, yang berpandangan bahwa Imam Ali lebih utama dari Sahabat lainnya, serta lebih berhak untuk menjadi khalifah pasca-wafatnya Nabi”.

Sementara keharusan adanya nash (naskah tertulis) dan wasiat Nabi, merupakan ciri khas dari Syiah Imamiyah dan Isma’iliyah, seperti yang akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa apa yang disampaikan oleh an-Naubakhti dan al-Qummi bahwa telah terbangun sebuah kubu di zaman Rasul, telah didustakan oleh realita sejarah, sebab dalam kenyataannya Rasulullah sangat memerangi segala bentuk pengkubuan dan fanatisme dan menganggapnya sebagai bentuk sisa-sisa jahiliyah, karena semuanya itu ujung-ujungnya bermuara pada perpecahan.

Dalam hal ini peristiwa Abu Dzar yang mengolok-olok Bilal bin Rabah dengan sebutan Ibnu as-Sauda’ (anak hitam/negro), bisa dijadikan contoh; di mana Rasulullah sangat marah melihat peristiwa tersebut.

Contoh lain adalah tatkala salah seorang Anshar berkelahi dengan salah seorang Muhajirin, lalu sang Anshar memanggil kawan-kawannya dari Anshar, sang Muhajirpun memanggil kawan-kawannya dari Muhajirin, Rasulullah lalu bersabda: “Bagaimana kalian bisa mengungkit-ungkit kembali semangat jahiliyah, sementara saya berada di tengah kalian”[5]. Dalam kesempatan lain menanggapi masalah seperti ini Rasulullah bersabda: “Tinggalkan hal itu, karena sesungguhnya ia busuk”[6].

  1. Syiah Imamiyah

Untuk menjelaskan lebih jauh karakteristik Syiah Imamiyah, selain definisi di atas, Sahrustani menambahkan:

Mereka adalah “Kelompok yang mengatakan bahwa Imam Ali adalah pemimpin pasca-wafatnya Nabi melalui naskah tertulis dan wasiat dari Nabi secara jelas, serta melalui penunjukan langsung, bukan dengan isyarat melalui penyebutan kriteria”. Mereka juga berkata bahwa tidak ada urusan yang paling urgen daripada masalah penentuan seorang pemimpin, sehingga saat beliau wafat hatinya telah kosong dari seluruh urusan umat, karena sebenarnya beliau diutus untuk mengangkat perselisihan dan mewujudkan persatuan, oleh karena itu tidak layak bagi beliau wafat sementara masih membebani mereka tugas berat. Maka menjadi kewajiban Nabi untuk memilih seorang yang akan menjadi rujukan melalui naskah tertulis. Dalam realitanya beliau telah menunjuk Imam Ali Ra terkadang dengan bahasa isyarat, terkadang dengan bahasa yang cukup jelas”[7].

  1. Syiah Imamiyah Itsna Asyariah

Sementara, istilah Itsna Asyariah, yang merupakan ciri khas dari sebagian Syiah Imamiyah, dinisbatkan kepada mereka yang meyakini dua belas (12) Imam. Dalam bahasa Muhammad Jawad Mughniyah:

Sifat yang dinisbatkan kepada Syiah Imamiyah yang meyakini adanya dua belas Imam yang namanya tersebut secara jelas, mereka itu adalah: 1. Abu al-Hasan Ali bin Abi Thalib “al-Murtadha” (23 SH-40 H), 2. Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib “Az-Zaki” (3-50 H), 3. Abu Abdullah al-Husain bin Ali “Sayyid as-Syuhada'” (4-61 H), 4. Abu Muhammad Ali bin al-Husain “Zainal Abidin”, (38-94 H), 5. Abu Ja’far Muhammad bin Ali “Al-Baqir” (58-114 H), 6. Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad “as-Shadiq” (80-148 H), 7. Abu Ibrahim Musa bin Ja’far “al-Kadhim”, 8. Abu al-Hasan Ali bin Musa “Ar-Ridha” (153-203 H), 9. Abu Ja’far Muhammad bin Ali “al-Jawwad” (195-220), 10. Abu al-Hasan Ali bin Muhammad “al-Hadi” (214-254), 11. Abu Muhammad al-Hasan bin Ali “al-Askari” (214-254), Abu al-Kasim Muhammad bin al-Hasan “al-Mahdi” (256 H- …)[8].

Istilah ini, menurut Dr. Abdullah Fayyadh, muncul dan terkristal pasca-peristiwa ghaibah al-Kubra (gaibnya Imam ke dua belas), di mana peristiwa ini merupakan pondasi yang akan dibangun di atasnya seluruh bangunan Syiah Imamiyah itsna Asyariah[9].

Catatan Kaki:

[1] Ibnu Khaldun, Al-‘Ibar wa Dīwān al-Mubtada’, (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnaniyah, 1978), hlm. 3/364.

[2] Dr. Muhammad Emarah, Tayyār al-Fikri al-Islāmi, (Kairo: Dar as-Syuruq, 1991), hlm. 200-201.

[3] Syahrustani, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut: Dar Kutub al-ilmiah), hlm. 1/144-145

[4] Sebagian peneliti membagi Syiah ke dalam: Zaidiyah dan Imamiyah. Imamiyah terbagi ke dalam: Ismailiyah dan Itsnā Asyariah. Sebagian ada yang memasukkan Zaidiyah, Ismailiyah dan Itsna Asyariah ke dalam Imamiyah. Sementara Kasyif Ali Ghita’, mengeluarkan semua kelompok dari Imamiyah kecuali Itsna Asyariah. Menurutnya yang dimaksud dengan Imamiyah adalah Itsna Asyariah. Sementara Thabathabai dan Muhsin al-Amili berpendapat bahwa Imamiyah merupakan induk, yang menyempal darinya beragam aliran. (Lihat, Dr. Aisyah Yusuf al-Mana’i, Ushūl al-Aqīdah baina al-Mu’tazilah wa as-Syiah al-Imīmiyah, (Doha: Maktabah Tsaqafah, t.t), hlm. 39

[5] Imam al-Bukhari, Shaheh al-Bukhāri, Kitab: Manāqib, Bab: Ma nuhiya min dakwā al-Jāhiliyyah, No. 3257, dan Kitab: Tafsīr al-Qur’ān, Bab: Sawaun ‘alaihim astaghfarta lahum am lam tastaghfir lahum, No. 4525.

[6] Imam Muslim, Shaheh Muslim, Kitab: al-Birru wa as-shilah wa al-adab, Bab: Nasru al-akh dhāliman au madhluman, No. 4682.

[7] Syahrustani, al-Milal wa an-Nihal, hlm. 1/163

[8] Muhammad Jawwad Mughniyah, As-Syiah fi al-Mīzān, (Beirut: Daru al-Jawwad, dan Dar at-Tayyar al-Jadid, Cet. 10, 1989), hlm. 427

[9] Abdullah Fayyadh, Tārīkh al-Imāmiyah wa aslāfuhum min as- Syiah, (Beirut: Muassasah al-A’lami, Cet. II, 1975)

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Aqidah Pascasarjana ISID Gontor Jawa Timur.

Lihat Juga

Polisi Prancis Serbu Pusat Syiah di Prancis Utara

Figure
Organization