Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / A Miracle Around Us!

A Miracle Around Us!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

Dan siapa yang benar dalam taatnya
pasti mencapai tujuan kemuliaannya
Dan siapa yang melaksanakan
tugas dan kewajibannya dengan baik,
Maka bahagia hidupnya.
(Al-Hikam)

dakwatuna.com – Suatu hari yang melelahkan di sebuah negeri mayoritas muslim. Ada beberapa kawanan pemuda yang melepas penat sambil berdikusi tentang nikmat yang diberikan Allah. Mereka begitu bersyukur bahwa Allah masih mencukupkan rezeki mereka di tengah-tengah kesusahan menjalani hidup yang bersaing ketat dengan manusia lain. Sembari menikmati senja hari, mereka memuji Allah dengan segala ketulusan, menghitung-hitung betapa agungnya karunia Allah, tak berbanding dengan usaha mereka meraih cinta-Nya. Namun satu kalimat terujar memecah suasana riang.

“Tidak! Aku yakin bukan Allah yang memberi kita rezeki. Apakah Allah akan tetap memberi kita rezeki di tempat yang bahkan mustahil kita mendapat makanan?”

Kawan-kawannya terkesiap. Mereka begitu kaget dengan pertanyaan salah satu rekannya yang begitu berani tidak memercayai bahwa Allah lah Sang Pemberi rezeki. Setelah pertanyaan itu terlontar dari lidahnya, semua orang di sekelilingnya kembali meyakinkannya, mencoba menggali logika yang paling logis untuknya. Namun sama saja. Pemuda itu, yang mempertanyakan kasih sayang Allah itu, tetap saja acuh.

Malah, ia semakin ingin membuktikan kebenaran perkataannya dengan melakukan sebuah uji coba. Ia yakin dengan uji coba yang akan dia jalani, membuat teman-temannya tak punya kata lain untuk membantah pernyataannya. Dengan tekad bulat, satu pagi yang cerah ia azzamkan untuk mencari tempat yang ‘mustahil kita mendapat makanan’. Ia berpikir sejenak, lalu memutuskan tempat mana yang akan ia tuju.

Hutan. Itu jawaban yang ada di benaknya. Hutan, tempat itu begitu sempurna baginya agar dapat membuktikan pernyataannya di hadapan kawan-kawannya. Bukan sekadar hutan saja yang dipikirkannya. Sesampainya ia di sana, ia pilih pohon paling tinggi di tengah-tengah belantara, memilah tapak memanjat, lalu duduk di cabangnya yang paling kuat. Dengan senyuman kecut, ia berkata pada dirinya sendiri,”Jika memang Allah yang memberikan makan bagi hamba-hamba-Nya, maka Dia akan mengirimkan makanan kepadaku di sini.”

Sejak pagi ia duduk, melihat kesana-kemari, dan sama sekali tak menemukan makanan datang padanya.”Apa kubilang, bagaimana mungkin Allah dapat memberikanku makan di tempat seperti ini?” pemuda itu makin jauh saja dari kebenaran. Menjelang siang, ada rasa lapar mulai menyelinap di perutnya. Sedangkan matahari makin tinggi, ia belum juga mendapatkan ‘makanan’ yang kata kawan-kawannya akan datang dari Allah. Sambil menahan lapar, ia teruskan duduk untuk menggenapi sehari.

Sore datang, mentari mulai turun dari tugasnya, dan bulan menggantikannya. Sementara pemuda itu, masih saja duduk di atas cabang pohon tertinggi, menahan lapar, menahan kantuk, dengan tubuhnya yang pegal-pegal. Ia masih mempertanyakan rezeki yang akan Allah berikan, ”Apakah ada rezeki yang dikatakan mereka? Buktinya tak ada rezeki datang!”. Saat itu, ia hampir benar-benar yakin sengan pernyataannya, dan berjanji membantah seluruh kalimat dari kawan-kawannya tentang rezeki dari Allah.

Setelah hari mulai gelap, ia memutuskan untuk mengambil langkah kembali ke rumahnya, lalu menyiapkan kata-kata paling pedas untuk kawan-kawannya. Namun sebelum turun dari cabang pohon di tengah hutan itu, ia melihat dari kejauhan ada beberapa musafir yang sedang kelelahan mencari tempat berteduh untuk bersitirahat. Di hutan belantara, menjelang malam, bisa-bisanya ada beberapa orang yang mencari tempat teduh. Apalagi setelah mencari-cari, para musafir itu memutuskan berteduh di bawah pohon yang sedang ia naiki.

Akhirnya Si Pemuda memilih duduk diam di atas pohon, memerhatikan mereka, melihat apa yang mereka lakukan sambil masih terbingung. Yang ia yakini, jarang sekali orang bertamasya di hutan belantara seperti ini, malam-malam lagi. Tak butuh waktu lama bagi para musafir menyiapkan tenda untuk merehatkan diri, lalu mencari beberapa dahan kayu kering. Setelah terkumpulkan beberapa dahan, mereka membuka tas dan mengeluarkan beberapa kacang-kacangan dan seikat sayuran segar untuk mengobati rasa lapar.

Ketika sayuran dan kacang-kacang sudah dipersiapkan dan air di panci yang dipanaskan dengan dahan yang dibakar sudah siap sedia, mereka memasukkan segenggam cabe dan memberi minyak untuk memasak bumbu. Aroma pedas yang menggiurkan terhembus ke udara, menghampiri pemuda yang sedari tadi diam di atas menahan laparnya yang sudah tak tertahankan. Dengan secepat angin, aroma cabe itu membuatnya bersin-bersin tak karuan.

Jelas saja para Musafir yang bertenda di bawahnya menyadari ada seseorang di atas pohon. Dengan segera, mereka memanggil si pemuda, dan tanpa ada rasa curiga sedikitpun mengajak si pemuda untuk menyantap hidangan makan bersama mereka, penuh dengan kehangatan api dan kehangatan persaudaraan, tanpa merasa asing.

Esok harinya, setelah pemuda kembali ke rumah dan bertemu kawan-kawannya, ia menceritakan kisah uniknya dengan bahagia,”Apa yang kalian katakan benar. Tetapi kalian tidak menceritakan semua kepada saya”, katanya. Kawan-kawannya bingung, tapi senang, tapi penasaran. Namun, sebelum mereka bertanya, si pemuda melanjutkan kalimatnya, ”Tentu saja Allah menyediakan makanan bagi anda. Namun untuk itu anda harus bersin dan turun dulu dari atas pohon untuk mendapatkannya!”

Nah, mari kita sudahi kisahnya. Hehe, bagaimana kawan? Sudah bisa ambil kaidahnya? Alangkah bijaknya jika kita tanyakan pada seorang tokoh muslim India yang fenomenal ini, kepada Maulana Wahiduddin Khan, begini beliau menyikapinya,”Walaupun nadanya terdengar seperti lelucon, namun anekdot kecil ini serius” tulisnya. “Meskipun peranan manusia sangat rendah, namun itu sangat penting.”

Mengapa? Sebab di situ kita disuguhi sebuah hikmah; Seorang Hamba, apapun kondisinya, ia takkan bisa memperoleh pertolongan Allah kecuali membuktikan usahanya terlebih dahulu. Tak ada usaha, tak ada upah bermakna. Tak ada pembuktian, tak ada pemberian. Seperti itulah proses keajaiban terjadi di muka bumi. Keberangkatan 314 pasukan dari Madinah menuju lembah Badar adalah pembuktian ikhtiar, maka ajaib, Allah turunkan kemenangan yang ‘tak masuk akal’ di penglihatan manusia.

Sama seperti kisah mulia Khalilullah Ibrahim alaihissalam dengan Istri dan anaknya, di sebuah dataran kering kerontang tak berpenghuni. Ketika Sang Nabi meninggalkan Istri dan anaknya di padang gersang itu berdua saja, dengan keyakinan ini adalah perintah Allah maka Dia-lah yang menjaga Siti Hajar dan Ismail. Dalam episode bersejarah itu, ketika Ismail menangis kehausan, Ibunda Hajar mencoba ikhtiarnya mencari seteguk minum bagi anak yang dia sayangi.

Terus mencari. Padahal di hatinya terbersit suatu keraguan,”Bagaimana mungkin di padang segersang ini ada air jernih yang bisa diminum?” Namun ada suatu keyakinan kuat yang terbesit di jiwanya, seperti yang terang-terangan dijelaskan Allah dalam surat Ar-Ra’du ayat 11,” Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Berbolak-balik beliau mencari air dari bukit Shofa ke Marwa tujuh kali, adalah bentuk Ikhtiarnya agar Allah melihat kesungguhan beliau.

Maka, begitulah proses keajaiban-keajaiban besar yang terjadi di muka bumi. Dengan karunia Allah yang Mahabesar, terbitlah dari sisi Ismail mata air yang tercurah deras dan jernih. Alirannya begitu menenangkan, menghidupkan, dan menciptakan kesuburan yang mencengangkan. Zam-zam, mata air itu terbit tercurah sebagai tanda; bahwa Allah akan menurunkan kemenangan ketika hamba-hamba-Nya membuktikan usaha yang maksimal.

A miracle around us! Betapa banyak manusia menyangsikan Islam akan terbit kembali mencerahkan peradaban. Biarlah mereka mencibir dan meragukan.

Apabila Islam dijatuhkan, Apa yang akan kita lakukan?
Apabila Islam dihinakan, Tugas kita adalah berjuang!
Tugas kita adalah berjuang!

Masalah hasil, itu urusan Allah. Bukankah Allah tidak melihat hasil yang ada? Yang Dia lihat adalah bagaimana Agen-agen perubahan terus dan terus berkarya memperbaiki keadaan, apapun yang terjadi. “Kewajibanku menurut perintah Allah. Adapun Allah kuasa berbuat sekehendak-Nya. Akan tetapi amal tentulah ada gunanya. Jika aku bahagia, maka amal menambah pahala. Jika aku celaka, maka amal tetaplah berarti bahwa aku telah menunaikan kewajiban”, begitu tulisan yang ditaburkan Ayahku di beberapa lembar Buku pemberiannya padaku. Entah itu tulisan siapa, tapi sangat bermakna.

“Akan tetapi percayalah”, lanjut kalimat indah tulisan Ayah,” bahwa Allah tidak akan menyianyiakan orang yang taat dalam berkarya. Sebab Dia sudah berjanji bahwa Dia akan memberi pahala kepada orang yang taat itu. Barangsiapa datang menghadap kepada Allah dengan iman dan taat, niscaya Surgalah balasannya, bukan karena hasil amalnya, melainkan karena demikianlah janji-Nya.” Indah sekali. Yang digaris bawahi di sini adalah “bukan karena hasil amalnya, melainkan karena demikianlah janji-Nya.” Tugas kita adalah berjuang, maka All Miracle Around Us! Seperti itulah proses segala keajaiban terjadi di muka bumi. Bekerja karena Allah, berharap karena Allah, maka Allah menurunkan kemanangan yang nyata, Fathan Qoriba!

                Barangkali kalimat Seorang Arif Bijak ini menambah keteguhan kita berjuang memancing datangnya keajaiban,”Amal datang tanpa kenal henti, mengalirlah bersama amal-amal ini, niscaya ia akan mengalirkan dirimu… Menuju keajaiban!”

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir | Alumni SMPIT Ihsanul Fikri Mungkid Magelang | Alumni Ponpes Husnul Khotimah Kuningan

Lihat Juga

Hikayat Negeri Ajaib

Figure
Organization