Topic
Home / Keluarga / Pendidikan Anak / Peranan Orang Tua dalam Pendidikan

Peranan Orang Tua dalam Pendidikan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

keluargadakwatuna.com – Seorang sahabat pernah berkata bahwa hasil yang berkualitas itu juga tumbuh dari bibit yang berkualitas. Dalam rumah tangga bisa disimpulkan bahwa anak yang berkualitas juga lahir dari ibu yang luar biasa, kenapa? karena ibu adalah “madrasatul ula lil aulad”, ibu adalah sekolah pertama untuk anaknya. Pelajaran pertama yang diterima anak berasal dari orang tua terutama ibunya, setelah itu baru merambah ke lingkungan keluarga. Pada umumnya saat anak mulai belajar bicara maka kata pertama yang terucap dari mulutnya adalah memanggil ibu. Semua ini wajar-wajar saja karena kurang lebih sembilan bulan lamanya bayi mendekam di rahim ibunya. Dia makan dari apa yang dimakan oleh ibunya, saat lahir pun dia akan dilayani sepenuhnya oleh ibu.

Seorang ibu yang baik bukan berarti yang namanya penuh deretan gelar akademik dengan fasilitas dunia yang seperti putri raja. Namun ibu yang baik adalah ibu yang sadar akan profesi dia sebagai ibu sekalipun tanpa gelar kebanggaan. Apa gunanya banyak gelar jika melupakan kewajiban terhadap anak, meskipun dengan dalih bahwa dia sibuk demi membahagiakan anaknya. Mengumpulkan harta dunia lalu lupa dengan diri yang sesungguhnya. Di samping gemerlapnya harta dunia ada hal paling penting yang dibutuhkan oleh anak, mereka butuh kasih sayang dan perhatian.

Jika ibu adalah sekolah pertama, maka ayah menjadi pendamping, penasehat bahkan sebagai pengajar juga di sekolah tersebut. Sampai kapan profesi mereka? Apakah sampai anak memasuki usia sekolah? Lalu profesi mereka berubah menjadi donatur bagi kelangsungan pendidikan anak atau malah berubah menjadi ibu kos tempat anak istirahat dan menginap sepulang sekolah?

Seharusnya jawaban untuk semua pertanyaan di atas hanya satu yaitu TIDAK, meskipun pada kenyataannya banyak yang kita jumpai seperti itu. Bahkan yang sangat tidak asing lagi saat pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada guru di sekolah. Padahal pertemuan guru dengan anak di sekolah hanya empat jam per hari, serta satu guru untuk banyak anak bukan satu guru satu anak. Sesampainya di rumah anak sibuk dengan deretan kewajiban yang harus mereka tunaikan. Sementara orang tua juga sibuk dengan profesi mereka dari pagi hingga sore hari. Saat pulang tubuh sudah lelah, yang terpikirkan hanya istirahat secepatnya karena besok pagi tugas sudah menanti. Kapan lagi waktu untuk anak? Tidak ada lagi, mereka sibuk, bahkan untuk sekadar bertanya kabar si anak pun seakan tak sempat bagaimana mau membantu mereka belajar di rumah?

Mengapa semua ini bisa terjadi? Apakah faktor ekonomi ikut mempengaruhi? Jawab saya hanya “entahlah” saya pun tidak bisa memberikan jawaban pasti, biarlah nanti para pakarnya yang akan meneliti. Di kota-kota besar sering kita dengar bahwa kurangnya perhatian orang tua kepada anak bukan karena mereka orang yang tidak mampu tetapi karena mereka orang yang sibuk dengan karir mereka. Sementara di sini, di tempat aku mengabdi untuk setahun ke depan kurangnya perhatian orang tua kepada anak disebabkan karena mereka rata-rata keluarga yang kurang mampu. Orang tua harus bekerja banting tulang di sawah dan dikebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terkadang anak pun ikut ambil bagian untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang mungkin menurut sebagian kita itu terlalu berat untuk mereka.

Suatu hal yang membuat saya ingin menangis, saat dua hari berturut-turut siswa saya yang duduk di kelas enam SD tidak masuk sekolah. Saat saya coba bertanya kepada teman-temannya ternyata tidak ada yang tahu ke mana dia. Sebagai orang baru disini saya pun tidak tahu medan. Setelah siswaku kembali ke sekolah saya sempatkan berbicara dengan dia,”anah, kamu kemana nak kemaren gak masuk sekolah, kamu sudah kelas enam nak, sebentar lagi akan ujian nasional, berapa hari kamu gak masuk sekolah?”. Dia seakan mengelak dari, namun terus saya panggil dia hingga dia menjawab dengan agak takut-takut “abi ngasuh buk.. dua hari abi teu masuk sekolah…orang tua abi kuli buk”, entah mengapa saya begitu letih mendengar jawaban itu semua. Dia seorang anak laki-laki yang harus libur sekolah untuk mengasuh adiknya karena orang tuanya hanya buruh tani di sawah orang lain. Tenggorokan saya seakan tercekat, hingga hanya mampu berpesan “anah sudah kelas enam kan jadi bilangin sama orang tuanya anah mesti hadir terus ke sekolah ya nak”, setelah melihat anggukannya saya pun berlalu membawa perasaan yang tak menentu. saya tak tahu harus menyalahkan siapa, bahkan rasanya sangat ingin marah, tapi pada siapa?

Mengapa anak tidak bisa punya waktu belajar di rumah? Apakah begitu banyak tugas rumah tangga yang mesti mereka pikul? Atau malah mereka yang tidak mau belajar di rumah? Di satu sisi terkadang saya pun berfikir bahwa hal seperti ini tidak sepenuhnya kesalahan orang tua. Tak jarang bahkan orang tua yang penuh kesibukan masih meluangkan waktu untuk memperhatikan anak serta membantu mereka belajar dirumah. Tetapi sekarang masalahnya terletak pada anak tersebut, dia yang tidak mau di ajar oleh orang tuanya di rumah. Ketidak tegaan orang tua untuk memaksa anak belajar biasanya meluluhkan hati mereka.

Kondisi ini sering dimanfaatkan oleh anak untuk mewadahi rasa malas mereka mengulang pelajaran di rumah. Jika di sekolah mereka menurut pada gurunya karena mereka tahu tidak akan gurunya mau memenuhi keinginannya untuk tidak belajar. Saat mereka tidak mau belajar maka guru punya taktik tersendiri membuat mereka kembali tekun belajar meski “terpaksa”. Sementara di rumah, saat anak merajuk ingin bermain maka orang tua dengan senang hati mempersilahkan. Kondisi ini juga menyebabkan pendidikan anak secara tidak langsung telah beralih menjadi tanggung jawab guru di sekolah. Masih mendingan jika orang tua menyediakan guru les privat untuk anak belajar di rumah, namun bagi yang tidak mampu, ya sudah cukup belajar di sekolah saja.

Sesungguhnya sesibuk apapun orang tua tanggung jawab mereka terhadap anak tidak pernah bisa diwakilkan kepada siapapun. Selama hayat masih dikandung badan selama itu juga kewajiban mereka masih tetap ada. Apalagi kita tahu bahwa tidak ada yang namanya mantan guru sebagaimana tak ada mantan murid. Sementara orang tua punya dua profesi utama, sebagai orang tua dan guru bagi anaknya, tidak akan pernah ada yang namanya mantan orang tua dan juga mantan guru. Maka sampai kapanpun kewajiban mereka atas profesi yang diamanahkan tetap harus ditunaikan. Tidak hanya sekadar materi tetapi moril pun dibutuhkan anak.

Kewajiban pemenuhan materi untuk anak mungkin bisa gugur saat mereka telah mampu hidup mandiri, namun hak mereka untuk perbaikan moral masih mereka butuhkan sepanjang hayat. Para orang tua yang budiman, bapak dan ibu generasi, mari kita kembali saling mengingatkan akan tugas dan tanggung jawab sebagai orang tua. Dari tangan bapak dan ibu lah akan lahir para pewaris peradaban, yang akan melanjutkan masa depan bangsa dan agama kita. Mari kita dekap mereka, jaga mereka dan bentuk mereka menjadi manusia yang cerdas intelektual serta spiritualnya. Para bapak, selaku imam dalam rumah tangga maka akan dimintai tanggung jawabmu terhadap seluruh makmummu kelak. Salam dari kami anak-anak negeri.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Januarita Sasni, S.Si, SGI. Lahir di Sumatera Barat pada tanggal 25 Januari 1991. Menyelesaikan Pendidikan menengah di SMAS Terpadu Pondok Pesantren DR.M.Natsir pada tahun 2009. Menyelesaikan Perguruan Tinggi pada Jurusan Kimia Sains Universitas Negeri Padang tahun 2014. Menempuh pendidikan guru nonformal pada program Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI DD) sejak Agustus 2014 hingga Januari 2015, kemudian dilanjutkan dengan pengabdian sebagai relawan pendidikan untuk daerah marginal hingga Januari 2016. Sekarang menjadi laboran di Lab. IPA Terpadu Pondok Pesantren Daar El Qolam 3 sejak Februari 2016. Aktif di bidang Ekstrakurikuler DISCO ( Dza ‘Izza Science Community) sebagai koordinator serta pembimbing eksperiment dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Tergabung juga dalam jajaran redaksi Majalah Dza ‘Izza. Mencintai dunia tulis menulis dan mengarungi dunia fiksi. Pernah terlibat menjadi editor buku “Jika Aku Menjadi” yang di terbitkan oleh Mizan Store pada awal tahun 2015. Salah satu penulis buku inovasi pembelajaran berdasarkan pengalaman di daerah marginal bersama relawan SGI DD angkatan 7 lainnya. Kontributor tulisan pada media online (Dakwatuna.com) sejak 2015.

Lihat Juga

UNICEF: Di Yaman, Satu Anak Meninggal Setiap 10 Detik

Figure
Organization