Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Menasihati Tanpa Menyakiti

Menasihati Tanpa Menyakiti

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Nasihat, bila ditilik dari segi bahasa, berarti bersih dari campuran (murni). Ada pula penjelasan yang menyebutkan bahwa nasihat itu artinya adalah menghendaki kebaikan bagi yang diberi nasihat. Artinya, ketika saudara kita melakukan kesalahan, kita datang untuk meluruskannya. Ketika saudara kita lupa, kita mengingatkannya. Ketika saudara kita lalai, kita pun menegurnya. Tentu saja, ada aturan dalam hal ini. Itulah yang akan kita bahas kali ini. Mudah-mudahan catatan sederhana ini bermanfaat bagi kita semua. Allahumma Amiin.

Pertama, nasihat adalah pertanda cinta. Rasulullah saw bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kamu, hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kita tentu saja senang apabila ada saudara kita yang datang menegur ketika kita salah. Persis, seperti kita sangat berterima kasih kepada orang yang memberitahukan jalan yang benar ketika kita tersesat. Nah, begitu pula yang akan kita lakukan kepada saudara kita. Kita mengingatkannya ketika ia salah, lupa, lalai, dan khilaf. Karena cinta.

Kedua, ihsan dalam menasihati. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan untuk berbuat ihsan dalam segala sesuatu.” Maka, itu termasuk ketika kita ingin memberi nasihat kepada saudara kita. Apa artinya ihsan? Seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadits Jibril as, Ihsan adalah seseorang beramal seakan-akan ia melihat Allah. Kalau ia tidak bisa melihat Allah, ia menyadari sepenuhnya bahwa Allah melihatnya.

Ini tentang niat. Ketika menasihati orang lain, sering kali tersisip niat atau maksud lain di balik nasihat itu. Kita harus memastikan dengan sebenar-benarnya, nasihat kita kepada saudara kita adalah semata karena Allah Ta’ala, tidak ada sebab lain yang mengiringi.

Ketiga, menasihati tanpa menyakiti. Fudhail bin Iyadh menjelaskan kepada kita, “Orang mukmin menyembunyikan aib dan menasihati, orang jahat mengumbar aib dan menjelek-jelekkan.”

Dewasa ini, ketika komunikasi sudah dipermudah oleh media sosial, betapa sering ditemukan orang yang sengaja menasihati pihak tertentu melalui media itu. Bentuknya bermacam-macam, bisa berupa status di Facebook, surat terbuka di website atau blogspot, dan lain-lain. Seakan-akan hal itu lumrah.

Ketika mendapati hal seperti ini, saya selalu berpikir, “Apakah dengan menuliskan nasihat dengan cara seperti itu, nasihatnya akan sampai kepada tujuannya?” Jawabannya adalah; belum tentu. Tapi, kesalahan seseorang tersebut sudah tersebar kepada khalayak. Bagaimana bila kita yang bersalah, lalu orang lain mengumbarnya di media?

Mungkin yang menjadi niat bukan untuk mencari ridha Allah Ta’ala, tapi nasihat itu hanya sarana agar terkenal. Agar dipandang bijaksana. Agar dipandang berwawasan luas. Sungguh, itu satu kedzhaliman.

Islam tidak hanya mengajarkan kita untuk saling berbagi nasihat, tapi ada juga tuntunan mengenai caranya. Kita diajarkan untuk berkata benar; benar perkataannya, benar caranya, dan benar waktunya. Tidak hanya asal ceplas-ceplos. Tidak dengan mengumbar-umbar. Tidak memaksakan memberi nasihat di tengah orang ramai agar mendapat perhatian.

Marilah saling menasihati, tanpa menyakiti. Wallahu A’lam.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa S1 Ilmu Keperawatan USU. Ketua �Al-Fatih Club�. Murid. Penulis. Beberapa karyanya yang sudah diterbitkan; Istimewa di Usia Muda, Beginilah sang Pemenang Meraih Sukses, Cahaya Untuk Persahabatan, dan lain-lain

Lihat Juga

Pantaskah untuk Menyakitinya?

Figure
Organization