Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Aqidah / Strategi Menghadapi Aliran-Aliran Sesat di Sekitar Kita (Bagian ke-1)

Strategi Menghadapi Aliran-Aliran Sesat di Sekitar Kita (Bagian ke-1)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (jalmilaip.wordpress.com)
Ilustrasi. (jalmilaip.wordpress.com)

dakwatuna.com – Ada dua hal yang menurut Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dianggap sebagai penyebab utama kerusakan: Pertama: Fasad al-Ilmi Rusaknya Ilmu, dan Kedua: Fasad al-Qoshdi Rusaknya I’tikad baik (motivasi). Rusaknya ilmu menyebabkan kesesatan (adh-dhalal), sementara rusaknya i’tikad menyebabkan datangnya kemurkaan Allah (Ghadhabullah).

Sesat dalam bahasa Arab disebut adh-dhalal. Dari lafal dlalla-yadhillu-dhalal. Dhalal bermakna: suluk tariqin la yuwasshiluhu ila al-mathlub (menapaki jalan yang tidak menyampaikan kepada tujuan). Sementara Ad-dhal (orang yang tersesat) bermakna Kullu man inharafa ‘an dinillah al-hanif (Setiap orang yang menyimpang dari jalan Allah yang lurus). [2]

Agama Allah (Islam) terdiri dari tiga (3) komponen utama: Pertama: Aqidah, Kedua: Syari’ah dan Ketiga: Akhlaq. Ushul (Prinsip-prinsip dasar) ketiga unsur utama ini telah dijelaskan dengan tuntas oleh Al-Quran dan Sunnah. Sehingga menjadi hal yang paten dalam Islam, konstan dan tidak dapat diubah-ubah. Selain itu (Prinsip-prinsip dasar) masuk dalam kategori furu’ (cabang) yang bersifat mutaghayyir (tidak konstan/berubah-ubah), akan tetapi tetap harus merujuk kepada prinsip-prinsip dasar. Seorang yang komitmen kepada prinsip-prinsip dasar Islam, serta cabangnya yang masih dalam bingkai prinsip-prinsip dasar, dianggap berada dalam jalan yang lurus, sementara keluar dari batas prinsip-prinsip dasar ajaran Islam tersebut dianggap telah melenceng dari jalan yang lurus tersebut atau tersesat.

Munculnya beragam firqah (kelompok), madzhab, aliran, organisasi, partai mengakibatkan banyak orang menjadi bingung; Mana yang benar (Mana jalan yang lurus) dan mana yang sudah melenceng (sesat), karena masing-masing mengaku dirinya benar, sementara yang lain salah atau dianggap salah.

Menyikapi hal ini perlu kiranya dijelaskan beberapa hal berikut:

Pertama: Dengan diutusnya Nabi Muhammad Saw, berarti telah berakhir pula rentetan kenabian dan kerasulan yang dimulai sejak Nabi pertama Adas As. Yang berarti bahwa ajaran Islam telah sampai kepada kesempurnaan, yang tidak membutuhkan penambahan dan pengurangan.

“ … Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)

Kedua: Di sisi lain, merupakan salah satu sunnatullah dalam penciptaan adalah keragaman atau pluralitas. Keragaman ini merupakan karakteristik seluruh makhluk Allah di alam semesta; yang tercermin dalam keragaman etnis dan bahasa[3], jenis kelamin[4], bangsa dan suku[5], langit dan bumi yang berjumlah tujuh[6], hari yang juga berjumlah tujuh, bulan yang berjumlah dua belas[7], keragaman dalam undang-undang dan syariat[8], keragaman dalam agama, kepercayaan atau keyakinan[9], pepohonan, bebatuan, tanah, gunung, bunga, buah-buahan, keragaman dalam cara pandang, kecenderungan, corak berpikir dan seterusnya[10].

Dalam pandangan Islam hanya Dzat Allah saja yang bersifat tunggal atau esa, selebihnya semuanya bersifat plural atau beragam[11]. Karakteristik keesaan yang unik ini selanjutnya melekat erat kepada Islam, sehingga Islam dikenal sebagai agama Tauhid. Lebih dari itu, perhatian yang cukup besar dari umat Islam terhadap masalah keesaan Allah ini memunculkan disiplin ilmu yang secara khusus membahas tentang keesaan Allah ini baik dari sisi (dzat, sifat, uluhiyah, dan rububiyah-Nya) yang kemudian dinamakan Ilmu Tauhid.

Di atas sunnatullah “keragaman” ini, terbangun sunnatullah lain yaitu “perbedaan dan perselisihan” (wala yazaluna mukhtalifin – mereka senantiasa akan terus berselisih); Karena adanya keragaman, secara otomatis akan mendorong masing-masing entitas untuk menegaskan dirinya dengan cara menonjolkan karakter uniknya masing-masing. Hal ini tentu akan memicu terjadinya benturan atau gesekan, akibat obsesi masing-masing entitas untuk mempertahankan dan membesarkan ego serta eksistensinya. Dalam kondisi seperti ini perselisihan rasanya sulit untuk dihindarkan.

Dalam surat Hud, secara gamblang Allah menjelaskan bahwa terjadinya perselisihan antara umat manusia merupakan kehendak Ketuhanan, yang tak bisa dihindari:

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) Telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (Hud: 118-119).

Sehingga dalam ranah sosial; fenomena perbedaan, perselisihan, perpecahan dan persengketaan menjadi realitas yang tidak bisa dielakkan. Untuk itu memimpikan kesatuan secara mutlak dalam segala hal adalah mustahil.

Walaupun demikian, perselisihan yang telah menjadi sunnatullah itu tidak terjadi di luar proses kemanusiaan. Menurut Dr. Muhammad Abdurrahman, terjadinya perselisihan tersebut disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya: 1. Rancunya obyek perbedaan itu sendiri; 2. Fanatisme kelompok, madzhab dan aliran; 3. Konflik kepentingan; 4. Perbedaan kecenderungan atau mood dan tabiat; 5. Perbedaan cara pandang, 6. Taqlid buta kepada para pendahulu, senior atau nenek moyang, 7. Perbedaan daya pikir 8. Dan perebutan Kekuasaan politik[12].

Namun realitas yang memang sesuai dengan sunnatullah tersebut pada hakikatnya bukan merupakan hal yang direstui atau diridhai-Nya, sebagaimana Allah menetapkan kekafiran namun tidak merestuinya. Dalam bahasa Dr. Qaradhawi “Perbedaan (al-ikhtilaf) itu legal (masyru’) namun perselisihan, pertikaian, persengketaan yang mengarah kepada perpecahan (at-tafarruq) itu tercela (madzmum) atau sesuatu yang tidak diinginkan oleh Allah”. [13] Artinya walaupun tercipta beragam yang berkonsekuensi perpecahan, namun kesatuan atau (al-wihdah) merupakan harapan ideal yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan, sehingga terwujud kesatuan dalam keragaman, atau keragaman dalam kesatuan. Upaya mewujudkan kesatuan inilah yang menjadi titik penilaian Allah, lahan kebaikan bagi umat manusia serta menjadi lahan ibadah bagi umat Islam:

“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”[14]

“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”[15]

Ketiga: Di hadapan keragaman yang menyebabkan banyak kalangan bingung ini, sejatinya Allah telah memberikan rambu-rambu dalam Al-Quran dan Sunnah, untuk memilih mana di antara kelompok-kelompok ini yang mewakili kebenaran. Rambu-rambu tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa akan tetap ada sekelompok dari umat Islam yang secara konsisten mereprentasikan kebenaran yang dibawa oleh Islam. [16]
  2. Ciri-ciri kelompok ini juga dijelaskan dengan gamblang oleh hadis lain yaitu: Ma alaihi Ana wa Ashabi (Komitmen terhadap ajaran Rasul dan para Sahabat), atau Wahiya al-Jama’ah (Komitmen terhadap jamaah.)[17] Yang dimaksud dengan jamaah adalah para sahabat dan yang mengikuti jalan mereka hingga hari kiamat.
  3. Karena kriteria-kriteria di atas (Ma alaihi Ana wa ashabi) dan (wahiya al-jama’ah), para ulama’ menamakan kelompok ini dengan sebutan: Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Perlu dijelaskan bahwa penamaan ini, merupakan penamaan tambahan dari penamaan asli yang sesungguhnya yaitu “muslim” atau “mukmin”. Dikarenakan kelompok-kelompok yang muncul ini walaupun telah memiliki nama yang khusus, namun dalam kenyataannya mereka masih tetap menisbatkan dirinya kepada Islam juga.
  4. Siapa Ahlu Sunnah itu, dan apa karakteristiknya?. Berikut penjelasan lebih rinci mengenai hal tersebut.

Bersambung…

Catatan Kaki:

[2] Majama’ al-lughah al-Arabiyah, Mu’jam al-Washith, (Kairo, Cet. IV, 2004), Hal. 542

[3] Surat ar-Rum: 22

[4] Surat al-Hujurat: 13

[5] Surat al-Hujurat: 13

[6] Surat al-Thalaq: 12

[7] Surat at-Taubah: 36

[8] Surat Al-Maidah: 22

[9] Surat at-Taghabun: 2

[10] Buku paling komprehensif dalam menjelaskan masalah pluralitas dalam kesatuan ini adalah “Al-Islam wa At-Ta’addudiyyah; Al-Ikhtilaf wa at-Tanawwu’ fi Ithar al-Wihdah”, Dr. Mohammad Emarah, (Kairo, Dar ar-Rasyad li an-Nasr wa at-Tauzi’)

[11] Lihat Surat al, Baqarah: 163, an-Nisa’: 171, Al-Maidah: 73, al-An’am: 19, Ibrahim: 52, an-Nahl: 22, 51, al-Kahfi: 110, al-Anbiya’: 108, al-Hajj: 34, Fushilat: 6, al-Ikhlas: 1, dll

[12] Dr. Muhammad Abdurrahman, al-Madzahib wa al-Milal, (Makkah al-mukarramah, Ma’had al-Buhuts al-Ilmiyah, 2001), p. 6-8

[13] Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, as-Shahwah al-Islamiyah baina al-ikhtilaf al-masyru’ wa at-tafarruq al-madzmum.

[14] Surat al-Hujurat: 12

[15] Surat al-Hujurat: 10

[16] عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ (البخاري)

[17] افترقت أمتي إلى ثلاث وسبعين فرقة، كلهم في النار إلا واحدة، قالوا ومن هي؟ قال ”ما عليه أنا وأصحابي“ (الترمذي، الحاكم) قيل: ”وهي الجماعة“ (أبو داود، أحمد، ابن ماجة)  ”عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين (أبو داود، ابن ماجه)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Aqidah Pascasarjana ISID Gontor Jawa Timur.

Lihat Juga

Washington Post: Strategi AS di Suriah Ditakdirkan Gagal

Figure
Organization