Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Buanglah ‘Lelah’ Pada Tempatnya!

Buanglah ‘Lelah’ Pada Tempatnya!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (liveinternet.ru)
Ilustrasi. (liveinternet.ru)

dakwatuna.com – Terlihat, di tepi jalan Margonda Raya Depok terdapat jalan (bukan) raya yang banyak dilewati oleh pengendara mobil maupun motor, selain dijadikan jalan alternatif jalan tersebut juga menjadi sebagian sejarah bagi pelalu lalang yang melewatinya. Pun sejarah perjuangan seorang laki – laki separuh baya bernama Muhammad Ali (64) yang telah mengabdi untuk menjadi penjaga “Palang Pintu Kereta Api” arah Stasiun Pondok Cina – Stasiun Depok Baru (sebaliknya) sejak tahun 90an. Tanpa bosan, jera, apalagi lelah.

Saat matahari belum menampakkan wujudnya, Pak Muhammad Ali sudah bersiaga untuk berjaga di palang pintu kereta api, jika kereta lewat segera ia turunkan palangnya, begitupun sebaliknya. Ya, pukul 05.00 pagi ia celi-kan matanya. Apa yang ia dapat? Sungguh, tidak sebanding dengan pengabdiannya. Materi senilai 1000 atau 2000 rupiah yang ikhlas diberikan pengendara padanya, itupun sudah cukup. Meski tak sedikit yang kurang akan kesadaran terhadap pengabdiannya itu sama sekali tak membuat surut semangatnya. Hasil yang ia dapat harus dibagi rata pada rekannya yang ikut andil dalam berjaga.

Tak jarang muncul celotehan yang tidak enak dari lisan – lisan pengendara terhadap dirinya, meski emosi campur kelelahan yang ingin muncul, namun itu semua dilawannya demi pengabdian. Karena baginya kepercayaan masyarakat terhadap dirinya harus ia jaga sebaik mungkin, apabila terjadinya pencideraan kepercayaan masyarakat ia amat sedih. Pernah sesekali, ia mendapati seorang pengendara motor yang berkepala batu, sulit sekali untuk diperingati bahwa akan ada kereta yang lewat. Akhirnya terjadilah yang ditakuti. Motor dan pengendaranya itu terserempet kereta, namun alangkah bersyukurnya ia karena dapat menyelamatkan pengendara yang membangkang itu.

Waktu istirahat tidak bisa ia nikmati dengan puas, melihat tidak menentunya kereta yang lewat membuatnya harus meminimalisir waktu untuk beristirahat. Kapan waktunya beristirahat? Hanya saat datangnya waktu shalat saja. Selebihnya ia standby dengan ‘mata rantai’ untuk mengawasi kereta yang lewat. Tanpa alat bantuan hanya gerekan tangan yang secara manual untuk menurunnaikkan palangnya. Sudah sering ia taruh harapan pada pemerintah agar membuat fasilitas yang lebih layak untuk jalan yang sering dijamah pengendara itu, akan tetapi hasilnya tak kunjung ia dapati. Padahal, jika ditambah fasilitas yang lebih memadai keamanan-pun makin terjamin. Namun ia bersyukur, jarang bahkan tak pernah terjadi kecelakaan saat ia menjaga palang pintu kereta api tersebut.

Demi seorang istri dan 10 orang anak ia berpeluh pedih. Saat muda ia amat mencintai dunia olah raga, terkhusus sepak Bola. Bahkan pernah ia menjadi atlet yang diakui teamnya. Tidak hanya mencintai tetapi sepak bola juga pernah ia jadikan wadah penghasil uang, bahkan empat orang anaknya ia besarkan dari hasil bermain bola. Siapa yang tahu nasib ke depannya seperti apa. Karena beberapa masalah ia terpaksa harus meninggalkan dunia yang ia cintai dan beralih menjadi seorang penjaga palang pintu kereta api. Sejak itu juga sang istri mulai menjual nasi uduk untuk membantu penghasilan. Dengan kesederhanaan ia membentuk keharmonisan. Meski tak kesampaian membuat anaknya mencicipi dunia perkuliahan tetapi tak satupun anaknya yang putus sekolah. Ekonomi rendah tidak membuatnya pesimis terhadap pendidikan anak – anaknya.

Hidup memang tak selalu lurus, kadang naik kadang turun kadang pula datar. Saat isu bahkan terjadinya kenaikan harga BBM ia rasakan juga dampaknya. Melihat istrinya yang bekerja sebagai seorang penjual nasi uduk ia merasakan dua kali lebih sulit untuk mendapatkan bahan – bahan penjualannya. Harga yang semakin mahal, serta pemasukan yang semakin tipis. Beruntung ia bukan orang yang pandai berkeluh kesah, segalanya ia nikmati dengan bergerak selagi masih diberi nyawa. sampai pada pukul 24.00-pun kadang ia masih mengayun – ngayun tangganya ke atas ke bawah tanda memberi aba – aba pada setiap pengendara yang lewat. Ia adalah tipe orang yang sangat berjiwa sosial, tak jarang seusai berjaga ia memantau lingkungan sekitarnya. Jika dirasa aman barulah ia pulang.

Disinggung masalah pemerintahan yang sedang carut marutnya ini, ia menanggapi dengan ekspresi korban ketidak adilan namun tetap santai dalam tegaknya. Katanya, biarlah orang – orang rakus disana saling memperebutkan kekuasaan. Toh, hari – hari yang mereka lewati tidak senyaman dan seharmonis manusia tertindas ‘ekonomi’ yang selalu menjunjung tinggi kejujuran dalam setiap apa yang dihasilkannya. Pun, batinnya tak semewah raganya. Ketenangan-pun bagai emas permata yang bisa didapat dengan harga mahal tak terkira. Setiap perbuatan akan menuai hasil, mereka yang berbuat baik akan mendapat kebaikan, mereka yang berbuat buruk akan mendapat keburukan. Hidup susah, asal bersyukur, Insya Allah akan merasa berkecukupan.

Meski berada di keluarga yang terbilang menengah ke bawah, Pak Muhammad Ali tetap memiliki ekpetasi hidup yang lebih madani. Pada realitanya memang tidak seindah ekspetasi tetapi segala yang ia dapat sekecil apapun ia syukuri. Benar sekali kata D’masiv “Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah, tetap jalani hidup ini melakukan yang terbaik”. Bahkan beberapa rekannyapun berkata bahwa Pak Muhammad Ali tak pernah jera untuk men-jangan menyerah-kan orang. Sungguh, tak bisa dipungkiri jalan juangnya.

Ia punya harapan, untuk anaknya yang masih sekolah agar bisa mencicipi dunia perkuliahan. Meski belum terlihat dari mana akan datang ‘dana’nya tapi ia akan menyemangati dirinya sendiri dan anaknya bahwa setiap angan akan sampai selama kita mau berusaha untuk mencapainya. Ia disegani orang – orang dilingkungan rumahnya berkat tingkah laku dan pengabdiannya. Baginya memang tak seberapa bahkan tak bernilai, hanya menjadi seorang penjaga palang pintu kereta api, tetapi akan sangat berjasa ketika setiap kali kedua tangannya bergerak menaik turun-kan palang yang bertujuan keselamatan bagi siapa saja yang berlalu – lalang. Pun akan semakin bernilai pada setiap peluh sebesar biji jagung yang bercucuran bersamaan dengan ikhlasnya.

Ia berpesan pada para pemuda, jangan sia-siakan waktu yang diberikan Tuhan. Buat sedetikpun waktu yang dilalui agar berkualitas, bahkan saat istirahatpun usahakan agar membuahkan hasil yang bermanfaat . Sambil menunjuk ke atas langit ia berkata “Dari sanalah semua rezeki diturunkan, maka panjatkan keinginan kita setinggi itu. Jangan lupa usaha keras buat mengambilnya”. Jika ‘lelah’ dibuang ‘pada tempatnya’ maka semangat akan tertata rapih dan tersedia sesuai porsinya. Sambil tersenyum ia membalas jabat tangan, berpisah di bawah senja langit kota Depok.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Nurul Habibi E.G. seorang mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta, berada pada prodi Jurnalistik yang memiliki amanah besar sebagai ketua himpunan jurusan Teknik grafika dan penerbitan 14/15, hobi menggambar dan menulisnya sudah tergeluti sejak berada di sekolah dasar. Tanggal 18 januari 1995 adalah hari pertamanya melihat Bumi Allah.�

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization