Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Suami Super Romantis

Suami Super Romantis

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (amnahakim.com)
Ilustrasi. (amnahakim.com)

dakwatuna.com – Setiap wanita di dunia ini tentu ingin memiliki kisah cinta romantis seperti di dalam dongeng-dongeng masa kecil. Tentang Rapunsel, si Putri yang dikurung di dalam menara tinggi selama bertahun-tahun kemudian berhasil dibebaskan oleh pangeran tampan berkuda putih dari penyihir jahat. Tentang cinderella, di mana karena sepatu kacanya yang tertinggal saat berdansa dalam pesta kerajaan, sang pangeran sampai melakukan sayembara untuk menemukan Cinderella dan menjadikannya sebagai istri.

Seperti juga kisah-kisah percintaan nan romantis yang ada di dalam drama-drama korea. Di mana tokoh utama wanitanya walau dalam kondisi pesakitan sekalipun akan ada pria tampan yang siap menemani bahkan rela mati. Menyanyikan lagu-lagu romantis, makan malam bersama, perhatian yang tiada henti dan memberikan bunga-bunga nan mekar. Sungguh romantis, bukan?

“Lelaki ini bukan tipeku!” Aku meletakkan sebuah foto seorang lelaki yang dijodohkan oleh Ayahku, ke atas meja.

“Kata Ayah namanya kak Nanang, kak.” Sela Mila, adikku. “Dia baik lho, kak.”

“Tahu darimana?”

Mila kikuk. Dilihatnya kembali foto lelaki bernama Nanang itu. Aku memicingkan mata. Curiga.

Mila tampak kebingungan. Kemudian meringis.

“Dari matanya.” Jawab Mila ngeles.

Aku mendengus. Sudah kuduga Mila hanya asbun alias asal bunyi.

“Tapi pancaran mata penting juga lho, kak. Pancaran mata itu menggambarkan pancaran jiwa.” Ujar Mila lagi.

Aku tetap tak bergeming. Tetap bersikukuh dengan pendapatku mengenai Nanang, lelaki dalam foto itu. Dia tetap bukan tipeku!

Setidaknya tipeku itu haruslah seperti pangeran dalam dongeng-dongeng. Tinggi, gagah, berkulit putih, tampan, mapan. Paling penting haruslah romantis. Bisa berpuisi, membuat kalimat-kalimat indah, mengajak makan malam romantis, memberikan bunga setiap malamnya.

Tapi lelaki dalam foto itu jauh dari ekspetasiku selama ini. Menurut cerita Ayah, lelaki bernama Nanang itu tipe-tipe orang serius. Tipe orang serius itu sudah dapat dipastikan akan jauh dari sifat romantis. Contohnya ada di hadapanku sendiri. Ayahku sendiri. Ribuan kali ibu selalu mengeluh tentang sifat dingin Ayah yang jauh dari romantis selama puluhan tahun pernikahan.

Aku tak ingin memiliki nasib serupa seperti Ibu. Ya! Sudah kuputuskan Nanang bukanlah tipeku.

“Fisik itu kan relatif, kak. Sifatnya fana. Keindahannya mudah punah dimakan masa.” Mila kembali menasihatiku. “Keindahan fisik belum tentu membawa kita ke surga-Nya. Lagi pula Kak Nanang lumayan ganteng juga.”

Adikku yang baru berusia 17 tahun itu semenjak mengaji di sekolahnya memang sering kali menceramahi seisi rumah. Ah, tau apa dia? Anak kecil!

“Usiamu sudah hampir 30 tahun.” Ayah menyela keributan kecil antara aku dengan Mila. “Jangan sampai kau mengesampingkan syarat utama menikah hanya karena masalah sepele. Mau sampai kapan kau memiliki pola pikir seperti itu, nduk?”

Aku dan Mila hanya diam. Karakter ayah yang pendiam dan sangat berwibawa membuat kami segan.

Aku merutuk dalam hati. Kesal. Percuma kukatakan kepada mereka. Oh, andai seisi rumah ini tahu. Aku pun ingin menikah. Tetapi menikah itu kan tak semudah yang dibayangkan dan diucapkan. Perlu ada kecocokan jiwa dalam membinanya. Ini soal selera. Soal kecocokan.

Ayah menjodohkanku dengan lelaki yang sama sekali belum kukenal sebelumnya. Namanya Nanang. Ayah berkenalan dengan Nanang beberapa bulan silam di masjid kantor departemen pemerintahan tempat ayah bekerja.

Lelaki kulit sawo matang yang berprofesi sebagai pedagang bakso di kantin departemen tempat ayah bekerja, dan baru beberapa bulan berjualan di sana, telah menarik perhatian ayah. Keindahannya dalam mengumandangkan adzan, kefasihannya dalam memimpin shalat jama’ah serta anggah ungguh nya yang begitu sopan. Sangat njawi begitu.

Karena itu ayah memberanikan bertanya kepada Nanang apakah dia sudah menikah atau belum, sudah ada calon atau belum. Gayungpun bersambut. Nanang belum menikah, juga belum memiliki calon istri. Kesibukkannya merintis wirausaha baksonya membuat Nanang belum memikirkan pernikahan.

Dan itu dijadikan peluang atau kesempatan bagi ayah untuk menjodohkanku dengan lelaki pilihan ayah itu. Huh!

Ayah menceritakan panjang lebar tentang kelebihan-kelebihan Nanang pada ibu, aku dan Mila.

Ibu dan Mila tampak terkagum-kagum mendengar cerita ayah. Sementara aku tetap tak bergeming. Telingaku justru merasa panas mendengar itu semua. Dia bukan tipeku. Aku tak suka. Titik.

“Pilihan Ayahmu sudah tentu baik, Resti. Bahagiakanlah kedua orang tuamu.” Kali ini ibu yang bicara. Ibu yang biasanya membelaku saat aku sedang berbeda pendapat dengan ayah, kini berbalik mendukung ayah. Dan itu membuatku tidak bisa berkutik lagi. Huft!

***

Dalam tiada daya, terpaksa aku menerima perjodohan ini. Sekeras apapun watak dan keinginanku, aku pun tak ingin menjadi anak yang durhaka yang membiarkan kedua orangtuanya murka.

Lagipula kata orang, rasa cinta bisa muncul karena terbiasa, pun karena kebersamaan. Kali ini aku mencoba mengalah, mencoba berdamai dengan diriku sendiri. Berharap rasa cinta akan segera tumbuh. Walaupun suamiku kelak akan jauh dari bayanganku selama ini.

Pernikahan pun dilaksanakan selang tiga bulan kemudian. Dan saat ini aku telah menjadi istri dari seorang lelaki bernama Nanang. Menantu kesayangan ayah.

Aku yang berharap memiliki suami seperti pangeran dalam dongeng-dongeng atau drama-drama percintaan, sepertinya harus mengubur dalam-dalam impianku itu. Aku harus membuka mata lebar-lebar. Mulai berpikir realistis. Terutama tentang kenyataan kalau aku tak memiliki suami yang romantis.

Apa yang aku khawatirkan terjadi juga. Tiga bulan kami menjalani pernikahan, rasanya gersang. Tak ada bunga mawar. candle light dinner¸ pujian suami istri, tak ada puisi atau kata-kata romantis.

Cinta di hati belum juga tumbuh, namun sikap mas Nanang yang datar, seperti tak ada effort untuk menumbuhkan cinta didalam pernikahan kami, semakin membuatku sebal dengan pernikahan ini. Ada sedikit sesal menerima perjodohan ini.

“Mawarnya bagus, Ran. Tumben beli bunga mawar.” Begitu sampai kantor, kudapati satu bucket bunga mawar di atas meja rekan kerjaku.

Rani tersenyum. “Iya, hadiah ulang tahun dari suami.”

Oh…

Aku ber-oh ria.

“Suamiku memang sering kasih kejutan, Resti. Padahal tadi pagi dia sudah kasih aku puisi. Eh, mau berangkat kerja dia malah ajak aku ke toko bunga.” Rani terus menceritakan keromantisan suaminya dengan wajah berbinar-binar.

Aku malas mendengarnya. Aku jadi teringat dengan mas Nanang. Suamiku yang super serius dan dingin itu.

Tiga bulan kami menikah tapi satu kalipun ia belum pernah membuatkan kata-kata romantis atau puisi. Jangankan puisi atau satu bucket bunga, memuji kecantikanku saja belum pernah. Padahal di kantor, kecantikanku selalu dipuji. Jadi, wajar, kan, kalau aku dulu mendamba suami seperti pangeran-pangeran dalam dongeng atau drama percintaan?

“Kalau suami mu nggak romantis, apa salahnya kau yang memulai terlebih dahulu keromantisan itu?” Saran Dini, sahabatku, suatu hari. Ia juga sudah menikah. Suaminya dulu katanya juga tidak romantis, tapi karena kerja kerasnya toh akhirnya suami Dini jadi lelaki romantis juga.

“Komunikasi.” Ujar Dini semangat. “Komunikasi, honey!”

“Komunikasi ada kalau ada rasa cinta, Din.” Gumamku.

“Jadi…?!?” Dini Kaget. “Sudah tiga bulan kalian menikah tetapi belum tumbuh rasa cinta itu?”

Aku menggeleng. Menjawab pelan. “Dia memang bukan tipeku.”

“Kalau kau tak mencintainya, untuk apa kau menikahinya?” Dini mendengus. Geleng-geleng. “Kalau kau tidak menginginkan pernikahan ini seharusnya kau menolaknya sejak awal.”

“Itu karena Ayah dan Ibuku yang menjodohkan…!” Tiba-tiba rasa marah karena perjodohan ini muncul lagi, kemudian aku coba meredamnya. “Juga karena usiaku yang sudah kepala tiga.” Ucapku lirih. Terisak.

***

Kucoba perlahan meredam emosi dalam diri. Kucoba untuk berdamai pada diriku sendiri. Mas Nanang memanglah bukan tipe-ku. Aku sama sekali tidak mencintainya. Tetapi aku telah memilihnya untuk menjadi suamiku. Dan aku harus berpikir realistis. Tidak boleh mengandai-andai.

Walaupun sejak awal pernikahan, aku selalu menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, tapi bila itu aku lakukan tanpa adanya rasa cinta, rumah tangga yang semestinya seperti surga akan berubah seperti neraka.

Bila mas Nanang tak mampu melakukan suatu hal yang dapat meluluhkan hatiku yaitu dengan bersikap romantis, dan tak mampu membuatku mencintainya, maka aku sendirilah yang akan membuat diriku sendiri bisa mencintai mas Nanang.

“Mas, kata teman-teman kantor aku cantik.” Suatu malam, sebelum berangkat tidur, aku coba membuka komunikasi seperti yang disarankan Dini.

“Oh.” Mas Nanang masih sibuk membuat adonan bakso.

“Menurutmu aku cantik tidak?” Tanyaku lagi. Dalam hati gemas. Ingin tahu apakah ada jawaban selain “Oh”,”iya”,”oke”, seperti kebiasaan menjawab mas Nanang yang sudah-sudah.

“Iya.” Jawab mas Nanang singkat. Masih masyuk menguleni adonan bakso. Aku makin gemas dengan sikap mas Nanang yang datar-datar saja. Nanti kalau aku sudah uring-uringan, solusi yang diberikan mas Nanang bukanlah kata-kata romantis atau rayuan tapi perkataan singkat, ciri khas mas Nanang, “Tidur duluan, dik. Mas masih banyak pekerjaan.”

Tuh, kan? Tidak ada romantis sama sekali, kan? Ugh! Sebal!

***

Berbulan-bulan kami menjalani pernikahan, namun pernikahan kami berdua masih terasa hambar. Lama kumemikirkan ini, jangan-jangan sikap mas Nanang yang selama ini datar disebabkan karena ketiadaan cinta di hati mas Nanang. Jangan-jangan Mas Nanang juga tidak pernah mencintaiku sejak awal kami menikah. Maka dari itu ia tak pernah bersikap romantis seperti suami-suami yang lain. Hanya sibuk bekerja.

“Aku mau cerai, Mas.” Aku terisak di dalam kamar.

“Cerai? Kenapa?” Mas Nanang terkejut. Baru kali ini ekspresinya berbeda dengan keseharian Mas Nanang yang datar.

“Untuk apa pernikahan dipertahankan bila tak ada cinta di dalamnya.”

“Maksudmu?” Mas Nanang keheranan.

“Aku tidak mencintaimu, Mas. Dari sejak awal perjodohan ini hingga berbulan-bulan pernikahan kita, aku tidak pernah mencintaimu, Mas!” Tangisku meledak .”Aku juga tahu Mas tidak mencintaiku, kan?”

Mas Nanang diam. Air wajahnya tampak terkejut bercampur dengan gurat sedih. Tapi bukan Mas Nanang namanya kalau dia tidak bersikap datar. Tiba-tiba Mas Nanang memegang keningku. “Pasti kamu lagi capek dengan pekerjaanmu di kantor, ya?”

“Mas mau suruh aku tidur?” Tanyaku meledak-ledak “Mas tidak memiliki kata-kata lain selain memintaku untuk tidur? Bosan aku, Mas. Pokoknya aku mau cerai!”

Dengan penuh kekesalan, aku pergi tidur menghadap tembok. Tidak seperti suami-suami lain yang akan mencoba membujuk istrinya yang sedang marah, Mas Nanang malah keluar kamar dan membiarkanku menangis sendirian. Tidak ada bunga, coklat atau kata-kata romantis. Tidak ada!

Menjelang subuh harinya ada sedikt sesal atas ucapanku semalam, apalagi setelah kudapati mas Nanang tertidur di sofa ruang tamu. Kupandangi wajah Mas Nanang tampak sangat lelah saat itu. Salah sendiri kenapa sepanjang hari sibuk bekerja. Gumamku dalam hati.

Aku menuju ke dapur, sudah bersih semua. Tak ada cucian piring kotor ataupun pakaian kotor. Semua sudah rapi. Sepertinya sudah dirapikan oleh mas Nanang. Ah, aku jadi merasa bersalah dengan kejadian semalam. Dalam lelahnya bekerja, mas Nanang masih mau membantuku merapikan pekerjaan rumah.

Masih dengan rasa gengsi yang bercampur rasa kesal, kuhampiri mas Nanang untuk membangunkannya sholat subuh.

“Mas. Subuh, Mas.”

Mas Nanang tidak bergeming. Ia tampak menggigil. Wajahnya pun pucat.

“Mas.” Kupegang keningnya dengan cemas.

Oh, Tuhan. Kening Mas Nanang panas tinggi.

“Mas…! Mas Nanang…!”

Saat itu aku merasakan khawatir yang berlipat-lipat. Walaupun aku tidak mencintai mas Nanang, tapi aku tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa mas Nanang. “Mas….!”

***

Mas Nanang belum sadarkan diri. Berselimut kan selimut putih khas rumah sakit. Selang infus dan peralatan medis sudah menancap di tubuh Mas Nanang. Keningnya masih panas tinggi. Wajahnya masih pucat pasi.

Kata dokter, Mas Nanang terkena heat stroke. Faktor utamanya adalah kelelahan luar biasa. Pasti keluhannya sudah lama, hanya saja mungkin tak dihiraukan oleh pasien. Begitu penjelasan Dokter.

Untung Mas Nanang segera dibawa ke rumah sakit. Sehingga Mas Nanang bisa cepat keluar dari masa kritis.

“Kak Resti.” Mila sudah datang membawa satu tas berisikan pakaian. Tadi aku memang menelpon Mila yang kebetulan sedang libur sekolah pasca ujian untuk mampir ke rumahku dan membawakan beberapa pakaian aku dan Mas Nanang ke rumah sakit.

“Ibu dan Ayah sedang di minimarket rumah sakit, membelikan makanan untuk Kak Resti.” Kata Mila lagi. “Bagaimana keadaan kak Nanang, kak?”

“Belum sadar. Tapi sudah melewati masa kritis.”

Selang beberapa menit kemudian datang seorang lelaki bernama Budi. Salah stau karyawan mas Nanang di kedai bakso. Begitu mendengar mas Nanang jatuh pingsan dan masuk rumah sakit, Budi langsung bersegera menjenguk mas Nanang ke rumah sakit. Kupersilahkan Budi masuk. Kujelaskan apa yang menimpa mas Nanang. Supaya dia dan karyawan Mas Nanang yang lain tidak perlu khawatir dan bisa fokus bekerja.

“Mas Nanang itu memang pekerja keras, mbak. Bertanggung jawab sama keluarga.”

Aku kurang sepakat. Bekerja keras tapi mengorbankan kesehatan apa gunanya?

“Orangnya rendah hati lagi. Mas Nanang itu kan lulusan S1 tapi dia malah memilih jadi wirausaha. Dagang bakso lagi. Tidak peduli perkataan orang. Saya bekerja dengan Mas Nanang dari awal dia merintis usaha ini. Orangnya rajin. Apalagi setelah menikah, makin rajin bekerjanya.” Cerita Budi disela-sela obrolan kami.

“Dia sering memuji mbak Resti, lho. Katanya dia itu beruntung punya istri seperti mbak Resti. Pintar, cantik, dan shalihah. Dan saya rasa benar adanya.”

Aku tertegun tak percaya. Mas Nanang memujiku di depan orang-orang? Ada sesak yang masuk ke dalam dada.

“Saya sering dikasih wejangan oleh mas Nanang. Kebetulan saya kan bulan depan mau menikah, mbak. Katanya saya harus rajin bekerja sebagai bentuk tanggung jawab suami terhadap istrinya, juga terhadap orang tua istrinya. Tapi saya kurang setuju juga kalau kerja terlalu keras sampai mengorbankan kesehatan sendiri.” Ucap Budi lagi.

Aku semakin terdiam. Tak percaya dengan apa yang kudengar. Kupandangi mas Nanang yang masih belum sadarkan diri. Di balik sikap pendiam dan datarnya, di balik sikapnya yang tidak romantis. Ia selalu memujiku di depan orang-orang banyak.

Dan kini aku sadar, ada beban berat di benaknya sebagai seorang suami. Cintanya adalah realistis adalah tindak nyata. Ia memiliki caranya sendiri dalam menunjukkan cintanya kepadaku. Bukan dengan bunga, coklat dan kata-kata romantis. Bukan mengandalkan kata tetapi tindak nyata.

Ada sesal atas ucapanku semalam. Atas sikapku selama ini. Aku telah durhaka dan telah menyakiti hati suami yang begitu mencintaiku dengan caranya sendiri.

Inilah kali pertama aku sangat bersyukur dengan perjodohan ini. Di usiaku yang ketiga puluh tahun, Allah karuniakan aku suami seperti mas Nanang. Seketika bayangan-bayangan pangeran sempurna dalam dongeng dan drama percintaan musnah sudah.

Pernah kudengar kata-kata bijak, bahwa Allah akan mendatangkan jodoh di saat kita sudah lebih dewasa dimata-Nya dari waktu sebelum-sebelumnya. Mungkin ini benar adanya.

Kuciumi punggung tangan mas Nanang yang masih lemah. Aku tak dapat menahan isak tangis.

Mas Nanang memang tidak seperti pangeran-pangeran dalam dongeng. Mas Nanang memang tidak setampan dan seromantis tokoh-tokoh lelaki dalam drama korea atau drama percintaan. Tapi bagiku, saat ini dan sampai nanti, mas Nanang adalah suami super romantis.

“Cepat sembuh Mas….” Dalam isak tangis, kuusap dan kuciumi tangan mas Nanang.

“Iya, dik.”

***

*Teruntuk insan-insan yang masih bersandar pada kecantikan dan ketampanan.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Penulis berkulit sawo matang ini sudah menyukai dunia tulis menulis sejak masih berusia 8 tahun. Baginya, menulis merupakan suplemen jiwa. Alasan lain yang membuatnya menyukai dunia tulis menulis adalah �Dengan tulisan, bisa jadi kita mampu mengubah peradaban�

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization