Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Meretas Rumah Surga di Berlin

Meretas Rumah Surga di Berlin

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Ineu Ratna Utami)
Ilustrasi. (Ineu Ratna Utami)

dakwatuna.com – “Hari ini terakhir kita shalat di masjid” ucap suamiku terdengar lirih. Raut wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa sedih.

“Benarkah?… kenapa?” tanyaku setengah tak percaya dengan apa yang kudengar.

Rasanya tak rela mendengar berita bahwa hari ini adalah terakhir kali bagi kami untuk merasakan kesejukan beribadah dalam rumah Allah di tepian Melanchthons Strasse. Tapi apa daya, pemilik gedung tak berniat untuk memperpanjang masa kontrak masjid yang sebentar lagi berakhir.

Padahal rasanya baru saja hatiku terpaut pada masjid yang bernama Al-Falah itu, dan terhitung baru tiga kali dalam tiap akhir pekan aku mengunjunginya. Menikmati dengan rasa syukur dan bahagia setiap perjumpaan dengan muslim lainnya sepanjang Ramadhan pertamaku setelah sebulan lebih menghirup udara bersih kota Berlin.

Masjid yang keberadaannya telah dirintis sejak tahun 1984 oleh para pelajar Indonesia itu, menempati ruang lantai dasar sebuah gedung seluas kurang lebih 90 meter persegi di kawasan Alt-Moabit, Wedding. Meski terasa sesak saat mendirikan shalat tarawih, namun tak menghalangi jamaah untuk merasakan suasana khusyuk dalam shalatnya. Hanya hening dan sesekali terdengar isak tangis jamaah kala Alquran dibacakan dengan tartil oleh sang imam.

Sungguh tak pernah kusangka sebelumnya, ternyata di negeri yang minoritas muslim ini kutemukan satu masjid dengan begitu banyak saudara seiman juga setanah air. Al-Falah merupakan satu-satunya masjid tempat berkumpulnya komunitas Indonesia di antara 80 masjid yang tersebar di Berlin.

Adzan Isya mulai berkumandang tanpa pengeras suara. Kami pun bergegas untuk memenuhi panggilan-Nya. Dalam sujud terakhirku di rumah-Nya ini, kupinta dengan penuh harap agar masjid Al-Falah dimudahkan mendapatkan tempatnya yang baru.

Al Falah terus berkembang dari masa ke masa, dan pada 2006 akhir saat ketua masjid dipimpin oleh Dr. Agustino Zulys, berubah menjadi sebuah yayasan yang terdaftar resmi di Amtsgericht (Departemen Kehakiman). Namanya menjadi Indonesisches Weisheits und Kulturzentrum e.V. (IWKZ e.V.).

Setelah hampir setahun, panitia pencarian gedung baru yang diketuai suamiku, pada akhirnya berhasil mendapatkan dua tempat yang saling berdampingan untuk disewa. Bangunan tersebut terletak di lantai dasar di mana awalnya satu tempat merupakan klub malam dan satu tempat sebelahnya merupakan rumah pijat. Kedua bangunan ini kemudian disatukan dan direnovasi selama 3 bulan hingga menjadi masjid yang cukup luas sekitar 215 m2. Maka sejak Mei 2007, masjid Al-Falah mulai menempati gedung tersebut di Feldzeugmeisterstrasse 1 dan Ecke Perleberger strasse 61. Hal ini sejalan dengan meningkatnya jumlah masyarakat muslim Indonesia di Berlin dan juga kegiatan mereka.

Al-Falah, sejak didirikannya sebagai sebuah masjid lebih dari 20 tahun yang lalu, tidak hanya menjadi tempat melaksanakan ritual ibadah saja akan tetapi telah menjadi pusat kegiatan sosial, pendidikan, dan dakwah bagi masyarakat muslim Indonesia di Berlin dan sekitarnya. Masjid itu menjadi ramai terutama di setiap akhir pekan.

Seperti hari itu, setelah shalat Zhuhur, seorang pembina keislaman remaja mengajak jamaah untuk menjadi saksi bagi seorang pria Jerman yang akan masuk Islam. Pekik takbir terucap dari pria Jerman lainnya usai temannya mengucap syahadat. Serentak kami pun menyambut takbir tersebut dengan sepenuh rasa. Hari itu masjid menjadi tempat seorang manusia mengucapkan ikrar saat menemukan jalan hidup yang sesungguhnya, sekaligus menjadi tempat diketuknya pintu-pintu hati jamaah untuk mensyukuri nikmat iman Islam yang disandang selama ini.

Usai menjadi saksi atas bersyahadatnya pria Jerman itu, jamaah yang sebagian besar merupakan remaja peserta kajian rutin Islam dalam bahasa Jerman juga anak-anak yang belajar baca Al-Quran beserta orangtuanya dan para guru kembali disibukkan dengan aktivitas belajar-mengajar. Hari itu masjid menjadi tempat berkumpul jiwa-jiwa yang semangat mendekat kepada-Nya.

Beranjak sore, orang tua murid TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) bertambah banyak. Hari itu memang para guru mengundang seluruh orangtua untuk hadir dalam rapat dengar pendapat yang rutin mereka adakan. Para orangtua begitu antusias menyampaikan pendapat, ide dan harapannya kepada para guru untuk kebaikan anak-anak mereka. Hari itu masjid menjadi wadah dialog para pendidik di dalam dan di luar rumah yang serius berupaya mencari metode agar terbentuk pribadi-pribadi shaleh yang tangguh menghadapi arus budaya Barat yang kapan saja dapat mengikis warna Islam dalam diri anak-anak dan remaja tersebut.

Suasana masjid semakin semarak saat menjelang Maghrib, karena hari itu masjid kembali menjadi wahana berkumpulnya masyarakat muslim Indonesia setiap akhir bulan untuk menambah wawasan dan pemahaman mereka tentang Islam di samping sebagai ajang silaturahim. Lebih dari dua ratus orang berkumpul memenuhi seluruh ruang masjid yang tak seberapa besar itu.

Masjid beserta jamaah yang ada di dalamnya pun menjadi saksi saat sebuah acara spesial diadakan malam itu selepas ceramah. Lima orang jamaah yang baru saja berhasil meraih cita-citanya, “diwisuda” ala masjid Al-Falah. Acara yang baru pertama kalinya diadakan di masjid ini merupakan bentuk kepedulian dan penghargaan masjid akan prestasi para jamaah juga untuk menjadi pemacu semangat para pelajar lainnya untuk dapat menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh hingga terwujud harapan dan cita-citanya.

Seorang sahabat pernah menyebut masjid tempat berkumpulnya muslimin Indonesia tersebut sebagai “pondok cinta” dikarenakan masjid yang menurut penilaian seorang ustadz lebih mirip mushala itu adalah tempat berkumpulnya jiwa-jiwa yang mengharap ridha dan cinta-Nya. Atas dasar cinta itulah masjid ini terasa hidup dan cukup memainkan peranannya dalam dinamika umat Islam Indonesia di Jerman, khususnya di Berlin baik sebagai tempat penggemblengan akhlak, tempat penambahan wawasan keislaman dan keilmuan duniawi, tempat penempaan semangat berprestasi juga sebagai tempat mengokohkan persatuan umat.

Setelah berkiprah lebih dari 20 tahun kini Al-Falah berusaha memberikan kontribusi yang lebih luas untuk masyarakat Berlin. Diiringi semangat membuka diri, Al-Falah saat ini tergabung dengan jaringan masjid-masjid Berlin di Initiative Berliner Muslime (IBMUS), dan paguyuban lintas budaya dan agama di Buergerplatform Wedding-Moabit.

Al-Falah bersama IBMUS kini sedang berjuang mengajukan sebuah usulan ke Dewan Kota Berlin untuk menjadikan Idul Fitri dan Idul Adha menjadi hari libur lokal di Berlin. Saat ini Al-Falah termasuk salah satu yang dipilih mewakili umat Islam dalam Komisi Integrasi Departemen Dalam Negeri Jerman, suatu hal yang sangat membanggakan buat kita, muslimin Indonesia.

Menyadari pentingnya keberlangsungan masjid Al-Falah, maka saat ini muslim Indonesia di Berlin mendambakan sebuah tempat ibadah yang secara penuh bisa dimiliki dan dikelola sendiri. Kini mereka bertekad membangun masjid Indonesia yang permanen karena jumlah jamaah yang jumlahnya terus meningkat hingga harus diimbangi dengan perluasan kapasitas masjid, selain itu agar tidak perlu lagi mencari-cari gedung baru bila masa sewa/kontrak telah habis.

Kebulatan tekad ini secara simbolis diluncurkan melalui piagam yang dibacakan bersama para pengurus Masjid Al Falah IWKZ e.V. dan para jamaah, Jumat 12 September 2009 lalu dengan dicanangkannya proyek Rumah Surga. Masjid yang permanen diharapkan dapat menjawab kebutuhan umat muslim Indonesia di Berlin.

Menurut ketua masjid Al-Falah pada periode kepengurusan berikutnya–Dr.Makky Sandra Jaya, hal ini merupakan proyek bersejarah yang insya Allah akan menjadi masjid permanen pertama yang dibangun oleh putra-putri Indonesia di Jerman. Rencananya pembangunan masjid akan bertempat di kawasan Wedding atau Moabit-Berlin, di mana di wilayah tersebut terdapat banyak warga Indonesia.

Seluruh umat Islam Indonesia di Berlin dilibatkan dalam ikhtiar bersama ini. Dukungan penuh mengalir dari segenap masyarakat Indonesia yang merupakan mahasiwa, tenaga profesional dan KBRI. Dana untuk pembelian dan pembangunan masjid ini akan dikelola dengan konsep dari umat dan untuk umat. Pengurus masjid Al-Falah dan para jamaah mengundang umat Islam Indonesia di Jerman, di luar negeri lainnya dan juga di Tanah Air untuk ikut berperan serta menyukseskan proyek rumah surga ini.

Denyut aktivitas masjid Al-Falah yang pernah saya rasakan dengan keluarga, menumbuhkan kecintaan kami pada masjid tersebut. Artikel yang saya tulis ini pun merupakan wujud cinta dan saya persembahkan sebagai sumbangsih untuk Al-Falah. Anda yang sedang membaca tulisan ini semoga dapat turut berperan dalam mewujudkan masjid Al-Falah yang permanen agar keberlangsungan Al-Falah di Berlin dalam menegakkan syiar-syiar agama berlangsung seterusnya..

“Barangsiapa membangun sebuah masjid karena mengharapkan keridhaan Allah maka Allah akan membangun pula untuknya sebuah rumah di dalam surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Seorang yang belajar menuliskan catatan hati untuk memaknai hidup lebih hidup. Seorang yang berbahagia bila engkau berhasil menemukan hikmah di setiap jejak kehidupan yang dituliskan. Seorang yang berharap dengan menulis, dapat meretas satu dari sekian banyak jalan untuk menjadi bagian dari "khairunnas anfa'uhum linnas" - Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.

Lihat Juga

Muhammad Jadi Nama Paling Populer di Berlin dan Sejumlah Kota di Eropa

Figure
Organization