Topic
Home / Keluarga / Pendidikan Keluarga / Takkan Berakhir di Ujung Senja

Takkan Berakhir di Ujung Senja

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Terlihat wajah yang dipenuhi keringat dan debu terendap di pakaianmu, setiap kau tiba di rumah. Tak pernah aku mendengar keluhan yang selama ini kau rasa,meskipun aku tahu betapa berat beban yang kau tanggung.

Bagimu, umur bukanlah alasan untuk bermanja dalam waktu singkat. Setiap malam kau tiba di rumah dengan penuh senyuman ikhlas, tak sedikitpun tersirat dalam pikiranmu untuk meminta balasan lebih. Pada saat itu, aku masih duduk di kelas 2 SMA. Tak biasanya, malam itu kau terlihat sangat pucat, tidak hanya itu, badanmu yang tidak lebih tinggi dariku terlihat gemetar. Akupun bertanya padanya, “Ma, sehatkan?” tanpa sepatah katapun yang terucap, ia hanya tersenyum dan segera masuk dalam rumah. Rasa penasaran yang terus ada di pikiranku akhirnya terkalahkan oleh kelelahanku hari ini.

Keesokan harinya, seperti biasa kau selalu ada disetiap aku membuka mata, dengan pancaran matamu yang penuh cinta kau bangunkan aku dari mimpi semalam. Setelah aku menunaikan ibadahku, sarapan sudah tersedia di meja makan. Kau tidak pernah lupa akan tugasmu menjadi Ibu. Di mataku, ibu adalah wanita sempurna, tidak hanya menjadi ibu seutuhnya tetapi bisa menjadi ayah, kakak, maupun sahabat yang akan selalu ada untukku. Setelah aku bersiap berangkat mencari ilmu, Ibu selalu di sampingku sekadar memberikan sejuta semangat dan berkah untuk kedua anaknya. Hari itu, aku pergi dengan keadaan berat hati untuk meninggalkan Ibu. Pikiranku selalu tertuju pada Ibu. Sebelumnya, tidak pernah aku merasakan kekhawatiran mendalam seperti ini, pikiran negatif mulai menyelimuti otakku.

Beberapa kali kucoba untuk kembali fokus dalam pelajaran, tetapi entah mengapa pikiranku tetap pada Ibu. Pukul 11.45 kudapati pesan yang masuk dalam telepon genggamku, berisi bahwa Ibu jatuh pingsan. Segera kupautkan dengan pikiran pagi tadi. Ternyata dugaanku benar, sejak malam itu ibu telah menahan rasa sakitnya. Kekuatan batin ibu dan anak memang tidak bisa terkalahkan oleh waktu. Dengan panik, aku pulang untuk memastikan bahwa ibuku sudah tak apa. Kesedihan yang terlihat jelas dimataku membuat beberapa temanku menanyakan apakah aku baik-baik saja. Air mata mulai menetes di pipiku, perasaan sedih yang tak bisa kubendung lagi. Tanpa pikir panjang, segera aku berkemas melihat kondisi Ibu dirumah. Pikiranku tetap akan keselamatan Ibu, Ibu dan Ibu.

Sesampai di rumah, tidak ada yang menyambutku dengan hangat dan tidak ada satu pesan pun masuk padatelepon genggamku. Akhirnya, dengan perasaan panik dan tegang aku mencoba telepon Ibu, tetapi tak ada jawaban. Aku terus berusaha menelepon ayah dan kakakku, namun hasilnya nihil. Seluruh badanku mulai bercucuran keringat dan gemetar, tanpa menyerah aku terus menghubungi keluargaku. Setiap usaha pasti membuahkan hasil, saat itu pula kakaku menjawab teleponku dan memberitahukan bahwa sekarang Ibuku berada di Rumah Sakit Harapan Bunda. Semua pertanyaan menyangkut Ibu segera kulontarkan pada kakaku, “Gimana keadaannya? Mama sakit apa? Sekarang lagi di mana? Kok bisa?” tak kuasa menjawab, kakakku hanya menyuruhku segera datang dan temui Ibu.

Tiba di Rumah Sakit, kudapati infus yang ada di tangannya. Muka yang sangat pucat dan lemas bukan alasan untuknya. Ibu tetap menanyakan apakah siang ini aku sudah makan dan menunaikan ibadah. Dengan terbata-bata aku menjawab, “aku belum makan dan shalat ma, aku cuma mau mastiin kalo mama baik-baik aja. Mama sakit apa? Udh mendingan kan?”. Tak lama kemudian, dokter yang menangani Ibuku segera memberi tahu bahwa penyakit Ibu belum terdeteksi. Semakin panik dan sedih aku dibuatnya, untuk kesekian kalinya aku tak dapat menahan air mata yang sebentar lagi akan jatuh. Segera, kuhapus dengan jemariku. Tetapi entah apa yang ada di pikiran Ibu, ia hanya tersenyum mendapati hasil yang diberikan dokter. Sempat terbayangkan olehku, seberapa banyak pahala yang terkumpul oleh ibuku. Bisakah aku sesabar Ibu? Bisakah aku sekuat Ibu? Bisakah aku seikhlas Ibu? Sepertinya aku harus lebih belajar banyak oleh Ibu.

Tak sampai menunggu beberapa hari, hasil cek darah Ibu sudah keluar dan hasilnya positif demam berdarah. “jika tidak segera dibawa ke rumah sakit, kemungkinan ibu ini tidak akan tertolong” ujar Dokter.

Waktu terus berjalan, hari demi hari sudah terlewati tak terasa waktu begitu lama saat menunggu kepulihan Ibu. Pagi itu, pada hari Jumat kudapati pesan singkat dari Ayah, bahwa Ibu sudah bisa pulang hari ini. Dengan perasaan senang bercampur haru kuucapkan puji syukur pada Allah swt. Namun, kesedihan teramat dalam mulai menguak disaat Ibu pulih dari DBD dan kembali pada penyakit terdahulu yang membuat seluruh wanita enggan mendengarnya, yaitu miom dan tumor payudara. Selama sakitnya, Ibu tidak pernah mengeluh ia terus menjalankan kewajibannya sebagai ibu sekaligus ayah tanpa pamrih. Dengan ikhlas kau jalani semua ini, Ibu selalu berserah diri pada Allah swt ia selalu meyakini apa yang ia perbuat di dunia kelak akan dibalas di akhirat. Pulang malam karena kerja diluar rumah, tetap mengerjakan pekerjaan rumah ia lakoni setiap harinya. Saat ibu mengetahui penyakit yang secara bersamaan datang di hidupnya, ia sangat terpuruk. Terlihat wajah cantiknya, berubah menjadi kemurungan yang ditutupi senyum. Aku mengetahui, tanpa dijelaskan aku mengerti arti dari sebuah senyuman itu. Karena kuasa Allah, dan usaha serta tekad untuk sembuh akhirnya tumor payudara yang diderita lambat laun hilang tanpa operasi. Begitupun miom, dengan mengandalkan ramuan herbal dan berbagai macam buah maupun sayur penyakit yang diderita Ibuku hilang dalam hitungan bulan. Subhanallah…

Kini, aku mengerti pengorbananmu takkan berakhir di ujung senja. Waktu bukanlah alasan untukmu mencari secercah uang, suasana malam bukanlah halangan untukmu. Kau tak pernah peduli akan waktu yang terkuras banyak karena pekerjaanmu. Kau membuat aku mengerti betapa berharganya waktu. Kau mengajarkan segala sesuatu yang perlu aku ketahui. Kau adalah denyut nadiku, kau adalah nafasku, kau adalah motivasiku, kau adalah tujuanku untuk meraih kesuksesan di dunia maupun akhirat. Pengorbananmu yang belum sempat terbalaskan olehku dan keikhlasanmu belum bisa kutandingi. Disetiap ibadahku terselip namamu, Ibu. Kaulah Ibuku, Idolaku.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswi dari Politeknik Negeri Jakarta Program Studi Penerbitan (Jurnalistik).

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization