Topic
Home / Konsultasi / Konsultasi Agama / Air Mutanajis, Bagaimanakah?

Air Mutanajis, Bagaimanakah?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi (volusia.org)
ilustrasi (volusia.org)

dakwatuna.com – Afwan Ust, ane ada penyakit terkadang air seni mau keluar sendiri setetes… maka Ane gak pede hanya sekedar pakai underwear, ane ambil plastik tidis dan balutkan ke dzakar. Lalu pertanyaannya: jika tadinya ada setetes apa boleh istinjanya dengan cara memasukan (mencelupkan) dzakar ke gayung untuk praktis, bukankah air sedikit tidak akan mutanajis jika tidak ada yang berubah? –Jazakallah khairan.

Jawaban:

Bismillah hal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah, wa ba’d:

Semoga Allah Taala memberikan kesembuhan kepada Anda, dan kesabaran atas apa yang Anda alami.

Cara istinja yang Anda lakukan memang cukup unik. Tapi, usul saya lakukanlah yang normal dulu, sesuai sunah, sejauh yang Anda mampu. Karena Allah Taala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka, bertaqwalah semampu kamu. (At-Taghabun: 16)

Atau dalam hadits, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Dan apa-apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka jalankanlah sejauh kemampuan kalian. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Cara sesuai sunah adalah sebagai berikut:

  • Menggunakan tangan kiri
  • Jangan menggunakan benda-benda keras yang melukai, seperti tulang
  • Jangan menggunakan benda yang mengandung najis, seperti dengan kotoran
  • Membersihkannya dengan air
  • Bisa juga dengan benda yang menyerap air seperti batu, dan tidak boleh lebih sedikit dari tiga buah. Bisa juga dengan tisue, atau apa saja yang lembut, kesat, dan menyerap air.
  • Paling utama adalah istinja dengan batu dulu, baru dengan air.
  • Mengusap tangan ke tanah setelah istinja, untuk menghilangkan sisa najis. Hal ini, zaman ini bisa diganti dengan mencuci tangan memakai sabun.

Cara-cara ini sesuai beberapa keterangan sebagai berikut:

Dari Qatadah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَأْخُذَنَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ، وَلاَ يَسْتَنْجِي بِيَمِينِهِ، وَلاَ يَتَنَفَّسْ فِي الإِنَاءِ

Jika kamu kencing maka janganlah memegang kemaluannya dengan tangan kanannya, dan jangan istinja dengan tangan kanan, dan jangan menghembuskan nafas di bejana. (HR. Bukhari No. 154)

Dari Salman Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ

Rasulullah telah melarang kami buang air besar atau kencing menghadap kiblat, atau istinja dengan tangan kanan, atau istinja dengan kurang dari tiga batu, atau istinja dengan menggunakan kotoran hewan dan tulang. (HR. Muslim No. 262)

Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bercerita:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ، أَجِيءُ أَنَا وَغُلاَمٌ، مَعَنَا إِدَاوَةٌ مِنْ مَاءٍ، يَعْنِي يَسْتَنْجِي بِهِ»

Dahulu ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar ingin buang hajat, maka aku mendatanginya dan saat itu aku masih kecil, sambil membawa seember air. Beliau beristinja dengannya. (HR. Bukhari No. 150)

Hukum Air Mutanajjis

Air mutanajjis adalah air suci yang tercampur dengan najis. Apa yang Anda lakukan, istinja dengan cara mencelupkan kemaluan ke air di gayung, jelas sekali membuatnya menjadi mutanajjis.

Lalu bagaimana hukumnya? Imam Malik dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, mengatakan bahwa air mutanajjis adalah suci, JIKA tidak ada perubahan sifat air suci baik bau, rasa, dan warna, baik air itu sedikit atau banyak, lebih dua qullah atau kurang. Tetapi, jika membuat berubah sifat air tersebut maka najis, dan tidak boleh digunakan untuk mandi dan bersuci.

Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:

قال ابن المنذر: قد أجمع العلماء: على أن الماء القليل والكثير إذا وقعت فيه نجاسة فغيرت له طعماً، أو لوناً، أو ريحاً فهو نجس، فالإجماع هو الدليل على نجاسة ما تغير أحد أوصافه

Berkata Ibnul Mundzir: “Para ulama telah ijma’ bahwa air yang sedikit dan banyak, jika terkena najis lalu berubah rasa, warna, dan aroma, maka dia menjadi najis.” Maka, ijma’ adalah merupakan dalil atas kenajisan sesuatu yang telah berubah salah satu sifat-sifatnya. (Subulus Salam, 1/91)

Dalilnya adalah, dalam Sunan Abi Daud dan lainnya, sebagai berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيهَا الْحِيَضُ وَلَحْمُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

Dari Abu Sa’id Al Khudri, bahwa ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Apakah kami boleh berwudhu dari sumur budhaa’ah, yaitu sumur yang kemasukan Al Hiyadh, daging anjing, dan An Natnu (bau tidak sedap).” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Air itu adalah suci, tidak ada sesuatu yang menajiskannya.” (HR. Abu Daud No. 67, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 1513, Imam Al Baghawi, Syarhus Sunnah, 2/61, dll. Hadits ini Shahih, sebagaimana dikatakan Imam Ibnu Hajar, Imam An Nawawi, dan lainnya)

Pada hadits ini menyebutkan bahwa hukum dasar bagi air adalah suci, tidak ada sesuatu pun yang bisa mengubahnya menjadi najis, walau dia terkena benda-benda yang dianggap najis seperti daging anjing, darah haid, dan sesuatu yang berbau, selama tidak mengubah sifat-sifat kesuciannya. Tentunya, apalagi ketika tidak diketahui adanya benda-benda yang mencampurinya, maka kesuciannya bisa dipastikan lagi. Dan, ini menjadi pendapat Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu. Berikut ini keterangannya:

وبهذا الحديث استدل مالك على أن الماء لا يتنجس بوقوع النجاسة- وإن كان قليلاً- ما لم تتغير أحد

أوصافه.

Dengan hadits ini, Imam Malik berdalil bahwa sesungguhnya air tidak menjadi najis dengan terkenanya dia dengan najis –jika najis itu sedikit- selama salah satu sifatnya belum berubah. (Subulus Salam, 1/16)

Sedangkan mayoritas fuqaha mengatakan, bahwa air mutanajjis, jika kurang dari dua qullah maka dia najis, baik berubah atau tidak sifatnya. Ada pun jika lebih dari dua qullah, dan tidak merubah sifatnya, maka air tersebut suci. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Ada pun ukuran dua qullah, menurut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili adalah 270 liter.

Dalilnya adalah, dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi waSallam bersabda:

إِذَا كَانَ الْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ

Jika air sejumlah dua qullah maka najis tidaklah mempengaruhinya. (HR. Abu Daud No. 63,64,65. An Nasa’i, 1/46, 175, At Tirmidzi No. 67, Ibnu Majah No. 517, Al Hakim No. 132, Ibnu Hibban No. 1249, Ibnu Khuzaimah No. 92. Dishahihkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ibnu Hibban, dan lainnya)

Demikian. Wallahu a’lam

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.
Figure
Organization