Topic
Home / Berita / Opini / Ketika Dakwah Bermuhasabah Bag. 2: Halaqah Mekanistik

Ketika Dakwah Bermuhasabah Bag. 2: Halaqah Mekanistik

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (ummunashrullah.blogspot.com)
Ilustrasi. (ummunashrullah.blogspot.com)

dakwatuna.com – Ikhwah, sejenak mari menengok kembali halaqah kita. Tak sedikit di antara senarai halaqah nan indah ini kita alami, dimana satu persatu anggota halaqah mundur teratur. “afwan akhi, bertahun sudah ana mengikuti halaqah, tak pernah rasakan kejenuhan seperti masa belakangan. Mohon izin malam ini ana tidak hadir, titip salam mahabbah dan ihtiram untuk ustadz. Afwan.” Lalu begitulah, hari-hari ke depan ia absen dari halaqah, dan tak nampak lagi pada pertemuan-pertemuan berikutnya.

Bukan satu dua, fenomena mundurnya binaan dalam halaqah terjadi. Di beberapa tempat, halaqah kemudian dimerger karena makin sedikitnya kehadiran anggota. Penyebabnya tentu tak cuma satu, namun ada satu hal yang banyak diperbincangkan ikhwah, beberapa mundur karena merasakan halaqah yang kian kering, sebab liqa dipenuhi obrolan politik. Materi halaqah dipinggirkan, dan sejak awal hingga akhir isinya melulu membahas fenomena politik terkini, dari A hingga Z, mulai isu strategis hingga strategi-strategi pemenangan. Murabbi acap abai terhadap materi-materi pokok tarbiyah. Halaqah kemudian berjalan mekanistik. Seperti mesin, dinyalakan, dijalankan, lalu dimatikan. Sunyi dari ruh dan berjalan hampa. Seumpama shalat tak khuyu’, kering.

Memang, kader tidak boleh buta politik. Kader perlu mengetahui dan memandang fenomena politik dari sudut pandang yang shahih sesuai perspektif Islam. Selayak ucapan Bertolt Brecht, penyair dari Jerman yang mengatakan, bahwa buta terburuk adalah buta politik, sebab ia memengaruhi hampir semua aspek kehidupan kita yang diatur oleh regulasi. Tapi halaqah tak boleh hanya diisi oleh materi-materi politik. Justru agar ia dapat memandang fenomena politik itu dengan shahih, ia tetap perlukan Ma’na Syahadatain, ia tetap perlukan Syumuliyatul Islam, ia tetap harus tahu Ahdaf Al-Tarbiyah, Khasa’is Al-Tarbiyah, dan seterusnya. Materi-materi itulah yang, sekalipun sudah tak lagi berpanah-panah, akan membentuk cara pandang ikhwah hampir dalam segala hal. Itu sebabnya paradigma di antara kita relatif homogen, nyaris serupa.

Adalah ulama mulia, Imam Hassan Al-Banna mengatakan kepada kita mengenai kesempurnaan Islam. Katanya, “Islam adalah negara dan tanah air, atau pemerintahan dan umat, ia adalah akhlak dan kekuatan, atau kasih sayang dan keadilan. Ia adalah wawasan dan perundang-undangan, atau ilmu pengetahuan dan peradilan, ia adalah materi dan kekayaan, atau kerja dan penghasilan, ia adalah jihad dan dakwah, atau tentara dan fikrah, sebagaimana ia adalah akidah yang bersih dan ibadah yang benar.”

Ikhwah fillah, mari pahami pesan mujahid yang telah akhiri hidupnya untuk dakwah itu baik-baik. Sekiranya kita pahami bahwa Islam sedemikian syamil dan mutakamil, seyogyanya materi dakwah dalam halaqah menggambarkan Islam yang komprehenshif pula. mulai dari Aqidah Islamiyah, hingga Adabu Ta’amulu fi Al-Jama’ah. Dari Birrul Walidain hingga Ahwaal Al-Muslimun Al-Yaum. Melulu membahas politik dalam halaqah sejatinya telah melanggar prinsip syumuliyatul Islam, seakan Islam hanya bicara masalah siyasah.

Hingga kapankah kita akan berlindung di balik kalimat, “Halaqah sememangnya bukan tempat untuk mencari semua ilmu, ilmu-ilmu lainnya bisa dicari di tempat lain”, sebuah kalimat yang sejatinya benar, tetapi menjadi keliru jika digunakan untuk menjustifikasi kelemahan diri, yang merasa nyaman ngobrol politik namun abai pada materi-materi dakwah lainnya. Bukankah setidaknya cukup satu dua kali dalam halaqah bicara politik, dan seterusnya justru politik yang bisa dicari di tempat lain?

Sekiranya halaqah hanya pertemuan pengajian biasa tanpa kurikulum Madah Tarbiyah, maka asatidz di televisi sudah cukup memenuhi kebutuhan itu. Tapi tidak, kita ini gerakan. Kita ini berjuang dalam barisan yang teratur seumpama bangunan yang tersusun kokoh. Ia bukan kayu biasa, bukan ubin biasa. Ia diatur sedemikian rupa.

Bagi mutarabbi, selain sebagai teman, ayah, dan guru, sejatinya murabbi umpama syaikh yang mengisi ruhiyah dari kehampaan jiwa. Pandangan teduh murabbi kepada binaannya akan menguatkan iman, meneguhkan tapak. Air mata dan doanya adalah airmata binaan. Maka seyogyanya Murabbi senantiasa menguatkan ruhiyahnya. Karena kalimat yang keluar dari jiwa dengan ruhiyah kuat akan menjelma kalimat berbobot yang berat. Berisi nasihat yang menelusup ke dalam bagian di hatinya yang paling bening. Akan berbeda jika kalimat tersebut menelusur dari lisan yang tak lagi terukir dzikir, dari malam-malam tanpa sujud panjang. Obrolan politik terus menerus dan abai pada kondisi ruhiyah hanya membawa halaqah makin membosankan, kering dan hampa.

Sungguh kita merindukan, binaan yang tak berpunya ongkos memaksakan diri hadir dengan menggoes sepeda, berpeluh keringat ketika tiba di tempat liqa namun tak berkurang semangatnya. Kita merindukan, masa ketika hujan turun lebat, namun tak ragu ia kenakan jas hujan, menerobos deras guyuran air itu untuk menuju tempat halaqah. Dalam beberapa obrolan bersama ikhwah, kita tahu di beberapa tempat suasana itu masih kita rasakan, namun kini kian jarang dan makin jarang. Akankah kita senang mengatakan, “ia bagian dari yang berguguran di jalan dakwah?” padahal sejatinya ia gugur tersebab kita yang tak mampu memegang tangannya kuat-kuat.

Para Murabbi, mari bergenggaman erat, kita pejamkan mata dan saling menguatkan dalam do’a. Agar Allah senantiasa menjaga kafilah ini dari fitnah dan tipu daya, dari runtuhnya dakwah justru di tangan kita, tersebab kita yang tak lagi mau berpayah-payah mengkaji materi sebelum halaqah dimulai, sehingga hanya ambil jalan pintas mengobrol politik. Kita berdoa agar yang runtuh hanya mereka yang memang keyakinannya tak teguh, agar yang terlempar hanya mereka yang keyakinannya tak mengakar, bukan karena salah kita…

Mari erat bergenggam, kita membahu, saling ingatkan. Buku materi tarbiyah di lemari kita, usaplah ia lagi. Buka kembali dan rasakan suasana itu, saat kita bersama melingkar bertahun-tahun lalu. Masa-masa awal kala kita merasa damai dalam lingkaran-Nya. (usb/dakwatuna)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Kontributor di Sejumlah Media Islam Online @mistersigit blog: www.mistersigit.blogspot.com

Lihat Juga

Liqa Itu Penting

Figure
Organization