Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Uni Islamic States: Resolusi Diplomatik Indonesia untuk Timur Tengah yang Lebih Damai

Uni Islamic States: Resolusi Diplomatik Indonesia untuk Timur Tengah yang Lebih Damai

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (pixgood.com)
Ilustrasi. (pixgood.com)

dakwatuna.com – Konflik berkepanjangan di Timur Tengah, diakui atau tidak, telah mampu mengetuk hati setiap orang yang menyaksikannya untuk bisa ikut terlibat memberi solusi terbaik dalam menyelesaikan konflik ini, apalagi konflik Timur Tengah semakin menunjukkan perubahannya dari sekadar konflik politik menjadi sebuah trilogi tragedi kemanusiaan yang memprihatinkan. Konflik antara Israel-Palestina, Irak-Kuwait, Iran-Irak, konflik saudara di Sudan, Suriah, hingga konflik antara liga Arab melawan Islamic States (IS) atau yang terkenal dengan nama ISIS, semuanya seolah menjadi rangkaian episode sebuah drama kemanusiaan yang telah menelan banyak nyawa tidak berdosa dari anak-anak sampai mereka orang tua berusia lanjut.

Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa konflik Timur Tengah terjadi murni karena faktor agama, sebuah isu yang telah menjadi rahasia umum hingga tidak sedikit menyebabkan sifat antipati dari satu agama terhadap agama lain, padahal permasalahan konflik ini bukan hanya melulu tentang agama[1], tetapi ada masalah yang lebih kompleks[2], yang lebih mencakup banyak aspek di mana satu sama lainnya saling berkesinambungan. Namun terlepas dari kompleksitas penyebab terjadinya konflik, ada beberapa hal cukup menarik dan tentunya mempunyai andil besar –meskipun secara tidak langsung- akan terjadinya konflik penyebab tragedi kemanusiaan di Timur Tengah.

Pertama, instabilitas negara-negara Arab pasca masa kekhalifahan Turki Utsmani yang terpecah dalam kungkungan imperialisme dunia barat. Tanah arab sebagai tuan rumah dari kedigdayaan Islam selama beberapa abad tentunya sudah terbiasa dengan hidup penuh kedamaian dan persatuan di bawah naungan kekhalifahan Islam, namun itu tidak terjadi ketika Turki sebagai patronase Islam takluk di bawah kaki Mustafa Kemal Attaturk, bahkan negara-negara Arab harus merelakan wilayahnya terbagi-bagi dan dikuasai oleh Inggris yang merupakan pemenang perang dingin saat itu, bahkan ada beberapa daerah pula yang sempat dikuasai oleh Uni soviet. Negara-negara Arab seperti kehilangan tajinya dalam membangun kembali peradaban ideal yang pernah mereka rasakan sendiri, sekat-sekat nasionalisme yang ditancapkan Inggris beserta sekutu, sedikit demi sedikit mulai menampakkan hasil yang menguntungkan mereka, sejak dipelopori Gamal Abdul naseer, negara-negara Arab seperti tetangga yang dipaksa tidak peduli –secara sadar tidak sadar- dengan kondisi sekitarnya, di mana keinginan untuk membantu mengatasi sebuah konflik di negara lain akan sirna dengan sesaat karena di negara sendiri pun muncul konflik yang tidak kalah memprihatinkan.

Kedua, Inggris (beserta sekutu) merupakan sebuah representasi kekuatan dunia saat ini dengan tren materialis-kapitalisnya, tentu dengan mental penguasanya –apalagi ditunjang ideologi kapitalis- akan sangat sulit untuk melepaskan begitu saja pengaruh mereka di Timur Tengah dengan mudah, apalagi pada sebuah wilayah yang telah berhasil dikuasainya[3]. Oleh karena itu, Inggris (pada selanjutnya Amerika) akan terus melakukan manuver-manuver politik yang mampu menjaga eksistensi dan kepentingan mereka di Timur Tengah, apalagi jika melihat potensi alam yang terdapat di negara arab dan tidak mereka miliki. Sejak dari konflik Palestina-Israel hingga Arab-ISIS, Amerika Serikat (sekutu) terlihat seperti tidak pernah absen dalam menampakkan kesan bahwa mereka memang mempunyai kepentingan di negeri sarangnya minyak dunia ini.

Ketiga, seperti penulis singgung sekilas di poin pertama, negara-negara Arab seolah dinina-bobokan oleh pihak asing (baca: barat) dengan terus ditumbuhkan kecintaan akan kemegahan duniawi, proyek-proyek yang bersifat mega seolah menjadi perlombaan tersirat negara-negara Arab yang tidak kalah gaungnya daripada jeritan tangis masyarakat sipil yang tertindas oleh kekejaman perang membabi buta, dari pembangunan gedung-gedung pencakar langit, kompleks industri mewah, hingga bidding Piala Dunia 2022, menjadi satu dari sekian banyak bukti mulai membesarnya penyakit wahn[4] pada diri para pemimpin arab saat ini. Hal ini belum ditambah proyek-proyek di segala aspek meliputi politik, sosial, militer dan lainnya antara negara-negara Arab dengan pihak AS dan sekutu yang justru dibanggakan meski semakin menjerat negara-negara Arab untuk tidak bisa berlepas tangan dari Barat.

Keempat, negara-negara muslim (baca: OKI) terkesan masih malu-malu dalam menegaskan peran dan sebab keberadaan mereka selama ini yang tidak lain untuk melindungi hak dan kepentingan umat Islam. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa negara-negara Arab secara tidak langsung mereka juga adalah negara-negara Islam, kemunculan OKI pada tahun 1969 pun tidak terlepas dari konflik politik yang terjadi di Timur Tengah, Palestina khususnya. Bahkan resolusi-resolusi yang ditawarkan dari mulai tujuan berdirinya OKI sampai OIC 10-years Program of Actions[5] seolah kurang begitu menggigit dan memberi dampak signifikan yang mampu setiap orang saksikan, bahkan tidak jarang ada banyak orang yang tidak merasakan keberadaan atau hanya menganggap OKI sebagai wadah formalitas belaka yang kepeduliannya begitu kaya di lisan para petinggi negara namun miskin dalam dunia riil.

Kelima, sama halnya dengan OKI (Organisasi Kerjasama Islam), Indonesia pun dirasa masih belum maksimal dalam memberikan peran yang lebih krusial dalam membantu menangani konflik Timur Tengah. Hampir seluruh negara-negara di Timur Tengah telah menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia, pun dengan keterlibatan Indonesia di PBB yang cukup menunjukkan keberpihakan dan kepedulian Indonesia terhadap perkembangan dunia Arab, namun lagi-lagi Indonesia hanya mampu bermain di zona nyaman saja, keberpihakan itu tidak lantas diikuti dengan cepat melalui aksi-aksi yang lebih nyata meski itu terkesan out of the box. Ini wajar dirasa, karena untuk saat ini hanya ada dua motif besar di balik hubungan baik dan keberpihakan Indonesia pada negara-negara Timur Tengah, politik balas budi dan kepentingan pragmatis (ekonomi)[6], atau boleh kita tambahkan satu (meski masih kalah dominan), yakni beban sosial karena Indonesia adalah negara dengan muslim terbanyak di dunia.

Poin pertama sampai ketiga merupakan permasalahan yang tumbuh dari internal negara-negara Timur Tengah sendiri, perlu adanya kesadaran pada diri para pemimpin Timur Tengah akan permasalahan ini, kalaupun ada, maka kesadaran itu akan dengan mudah terdeteksi dan ditangani para pemangku kepentingan di Timur Tengah. Ini akan terasa sulit diatasi selama kecintaan akan kemegahan fisik masih menjadi hiasan nomor wahid para pemimpin Arab. Membentuk karakter pemimpin ideal layaknya para khalifah empat dahulu adalah hal yang paling memungkinkan untuk dilakukan para orang tua di sana, karena seorang pemimpin adalah cerminan rakyatnya, pemimpin dibentuk dan diciptakan oleh masyarakat, satu hal pasti yang telah menjadi sunnatullah.

Adapun poin keempat dan kelima adalah permasalahan yang berasal dari pihak diluar negara-negara Arab yang sebenarnya mampu berbicara lebih banyak dan lebih nyata dalam mengatasi krisis kemanusiaan di Timur Tengah. Keberadaan OKI tidak bisa diabaikan karena sejatinya OKI ada untuk Timur Tengah dan umat Islam, juga posisi Indonesia pun tidak bisa dianggap sepele begitu saja, karena pada Indonesia-lah harapan besar banyak pihak tergantung untuk terwujudnya kedamaian di Timur Tengah.

Ada dua resolusi meliputi jangka pendek dan jangka panjang yang dinilai penting untuk dilaksanakan secara serius oleh pemerintahan Indonesia. Pertama, meliputi resolusi jangka pendek, Indonesia diharapkan mampu lebih meningkatkan motivasi dan aksi dalam menegaskan posisinya sebagai negara sahabat bagi negara-negara Timur Tengah, perlu adanya peningkatan motivasi dalam membangun hubungan bilateral yang penulis anggap cukup materialistis menjadi lebih emosional dan kultural. Sampai saat ini, dari poin-poin yang dijelaskan oleh kementrian luar negeri Indonesia, terlalu banyak alasan dan keuntungan yang bersifat materi yang menjadi faktor terbesar adanya hubungan bilateral antara dua pihak (Indonesia dan Timur Tengah), lagi-lagi ini adalah imbas dari peradaban saat ini yang lebih menekankan aspek materi sebagai alasan di balik setiap tindakan, termasuk dalam kerjasama-kerjasama antar negara baik itu regional, bilateral, multilateral, bahkan internasional. Indonesia harus lebih pintar dan ikhlas dalam menumbuhkan kesadaran bahwa Indonesia dan Timur tengah bukanlah sekadar tetangga dalam bernegara, tetapi saudara dalam beragama, motivasi ini hanya baru tumbuh pada pribadi-pibadi dan belum berevolusi menjadi mental dan motivasi institusi atau negara dalam malakukan hubungan diplomasi. Memang kita tidak sedang bicara masalah agama, tetapi inilah virus selanjutnya yang berhasil dunia barat tularkan dengan peradabannya, agama seolah menjadi hal terlarang bahkan hanya untuk sekadar menjadi motivasi dalam melakukan tindakan skala internasional, padahal jika motivasi ini mampu terbangun, maka tidak aka nada tindakan dan putusan yang bersifat malu-malu dari Indonesia dalam aksi menjaga kedamaian di wilayah Timur Tengah.

Selanjutnya aksi pun sudah harus dimodifikasi atau ditingkatkan, tidak lagi hanya terus menerus monoton dengan mediasi, perundingan, dan bantuan kemanusiaan berupa barang semata. Selain doa yang lebih gencar, tentunya Indonesia pun harus mulai berani memasuki wilayah militer dalam mengatasi krisis ini, jika belum ada, maka Indonesia harus berani mengirim bala tentara yang katanya terlatih dan terbaik untuk berada disana, jika sudah, maka perlu adanya penambahan kuantitas dan kualitas hingga keberadaan para tentara disana bukan hanya sebagai running teks, tetapi benar-benar memberi peran lain yang lebih menjamin keselamatan warga sipil.

Kedua, resolusi jangka panjang adalah dengan beraninya Indonesia untuk menggagas Uni Islamic States, sebuah badan kerjasama Internasional layaknya apa yang telah dilakukan oleh Uni Eropa[7]. Tanpa mengecilkan peran dan keberadaan OKI, tetapi ada banyak celah yang harus ditambal dari kebijakan OKI yang justru kekurangan itu menjadi faktor mengapa Timur Tengah tetap bergejolak sampai saat ini. Penulis tidak memperdulikan apakah Uni Islamic States itu merupakan evolusi dari OKI atau sebuah badan kerjasama terpisah, yang pastinya ada beberapa hal yang setidaknya terpenuhi guna mencapai tujuannya dalam meredam tragedi kemanusiaan di Timur Tengah. Antara lain:

Negara Islam yang bergabung harus mempunyai komitmen tinggi dalam menjaga nama Islam, menjaga kehormatan, harta, dan darah umat Islam.

Beberapa aspek perlu dimasukkan seperti militer yang mana ini tidak tercatat dalam visi misi OKI sebagai aspek negara yang ditingkatkan secara bersama-sama.

Adanya keberanian pada setiap negara yang bergabung untuk berlepas diri dari kepentingan barat yang bersifat mengikat dan menjerat.

Adanya komitmen kerjasama global yang mampu diakses secara mudah dalam aspek-aspek penting seperti Iptek, sosial budaya, pendidikan, militer, hingga politik.

Komitmen paling penting dan paling menjanjikan, adanya usaha dan keinginan dari setiap negara anggota untuk mengusahakan terlaksananya syariat islam di wilayah Uni Islamic States, karena sejatinya, dengan ini pulalah setiap jiwa akan terlindungi dari konflik sepanas dan seganas apapun.

Selain menjadi resolusi jangka panjang tragedi kemanusiaan Timur Tengah, Uni Islamic States, atau apapun namanya, bisa menjadi solusi dari perdebatan keberadaan khilafah Islamiyah[8] yang malah saat ini memperkeruh konflik di Timur Tengah, Uni Islamic States bisa menjelma menjadi sebuah kekuatan Islam Internasional yang bersifat kenegaraan tanpa harus menembus dinding-dinding nasionalisme yang masih kabur hukum namun terlanjur kuat mengakar pada jiwa masyarakat. Hingga akhirnya Uni Islamic States bukan hanya menjadi sebuah wadah konferensi biasa layaknya OKI yang hanya merasa dimiliki oleh para pejabat tertentu, tetapi menjadi sebuah wadah persatuan negara-negara muslim dalam naungan semangat (Syariat) Islam yang juga dimiliki oleh segenap rakyatnya. Bukan mustahil, jika dua resolusi ini mampu Indonesia eksekusi dengan baik[9], bukan hanya tragedi kemanusiaan di Timur Tengah yang tertanggulangi, tetapi dahaga setiap jiwa akan adanya kesejahteraan bersama di dunia akan terwujud, karena ini bukan hanya bicara langkah politik, jauh lebih dari ada campur tangan janji-Nya untuk kita semua. Wallahu a’lam

***

[1] Huntington mengatakan bahwa sumber konflik yang lebih dominan adalah masalah budaya, karena sejatinya konflik antara Arab (Islam) dengan barat adalah pertarungan antara dua kebudayaan. (Fergez Fawaz, 1999: 28)

[2] Hal ini berkaitan dengan hal politik (kebijakan luar negeri) negara terkait, setidaknya ada tiga faktor yang turut mempengaruhi, yaitu kondisi politik dalam negeri, kemampuan ekonomi dan militer, serta lingkungan internasional negara terkait. Ini adalah pendapat William D. Coplin sebagaimana yang kutip oleh Riza Sihbudi dalam bukunya, Indonesia dan Timur Tengah: masalah dan Prospek (1997).

[3] Letak strategis Timur Tengah yang menjadi penghubung tiga benua (Asia, Eropa, dan Afrika) juga menjadi salahsatu alasan terkuat mengapa barat begitu ngotot untuk menguasai wilayah ini. (Sihbudi dalam Menyandera Timur Tengah, 2007: xxiv)

[4] Rasulullah bersabda, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu (memperebutkan) hidangan makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu (jumlah umat Islam) banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud).

[5] OIC 10-years Program of Actions merupakan awal perubahan OKI yang tidak hanya menfokuskan pada masalah politik, tetapi juga ekonomi perdagangan. Program Aksi 10 tahun OKI mencakup isu-isu politik dan intelektual, isu-isu pembangunan, sosial, ekonomi, dan ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat menjawab kesenjangan kesejahteraan umat. Di bidang politik dan intelektual, dalam 10 tahun OKI diharapkan mampu menangani berbagai isu seperti upaya membangun nilai-nilai moderasi dan toleransi; membasmi ekstrimisme, kekerasan dan terorisme; menentang Islamofobia; meningkatkan solidaritas dan kerja sama antar-negara anggota, pencegahan konflik, penanganan masalah Filipina, hak-hak kelompok minoritas dan komunitas muslim, dan masalah-masalah yang dialami Afrika. (http://www.kemlu.go.id/)

[6] F.S. Northedge menyebutkan ada lima macam kepentingan nasional sebuah negara, pertama, kepentingan strategis, mencakup keamanan teritorial negara dan pertahanan perimbangan negara yang menguntungkan. Kedua, kepentingan politik, mencakup kekuasaan. Ketiga, kepentingan ekonomi, mencakup distribusi kekayaan internasional. Keempat, kepentingan hukum, mencakup usaha mempertahankan perjanjian internasional. Dan kelima, kepentingan ideologis, mencakup falsafah hidup dan idologi politik negara tersebut dalam mencegak pengaruh buruk dari pihak luar. (Sihbudi, 1997: – )

[7] Usulan ini seolah baru tapi lama, karena terkait bentuk sebuah kerjasama antar negara (baca: Uni Islamic States) telah diusulkan oleh komite Kongres iskandaria pada tahun 1944, kerjasama bisa berbentuk negara kesatuan, negara federal, atau sebuah konfederasi negara-negara Islam, yang pasti tidak hanya berbentuk sebuah asosiasi –yang masih di bawah standar konfederasi- layaknya yang kita lihat pada OKI dan Liga Arab. Lihat Sihbudi (2007: 111)

[8] Satu keuntungan dan kemudahan terbentuknya Uni Islamic States adalah ketidak-sepakatan beberapa negara Arab dengan sistem demokrasi, karena sebuah kesatuan negara (Uni), seperti yang disebutkan Wattimena (2007: 184) sering dituding Barat sebagai sistem yang “defisit demokrasi”.

[9] Ada banyak keuntungan secara politik juga bila Uni Islamic States terwujud, dengan kebhinekaan dan NKRI nya, Indonesia bisa menjadi figur panutan dalam menjalani perbedaan, belum ditambah peluang Indonesia yang begitu besar untuk menjadi “ibukota” ke-Uni-an ini, tentunya perubahan ekonomi dan promosi budaya akan sangat terasa disini, bahkan Indonesia pun bisa menjadi pusat perkembangan Iptek negara-negara anggota Uni nanti.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa sastra Arab Unpad 2011, Wakil Ketua BEM FIB Unpad dan aktif di Hima Persis Unpad.

Lihat Juga

Netanyahu: Israel Punya Hubungan Baik dengan Negara-Negara Arab

Figure
Organization