Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Sebuah Perpisahan

Sebuah Perpisahan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (poeticpoems.wordpress.com)
Ilustrasi. (poeticpoems.wordpress.com)

dakwatuna.com – Kata Perpisahan sudah tidak lagi menjadi kosa kata asing ditelinga kita. perpisahan terkadang selalu dipasangkan dengan sesuatu yang berakhir. Yaa, perpisahan atau sebuah akhir bak satu dari dua sisi mata uang koin yang berlainan dengan pertemuan atau sebuah awal. Tapi apakah perpisahan selamanya akan beriringan dengan akhiran?
Begitupun dengan pertemuan, apakah akan selalu beriringan dengan sebuah awalan?

Kadang kita selalu merasa sebuah perpisahan merupakan akhir begitupun sebaliknya. Pun dengan pertemuan. Namun, ini bukan persoalan beriringan ataukah tidak, tapi bagaimana kita memaknai perpisahan.

Seorang istri dari salah seorang pejuang Islam di masa Rosulullah sholallahu’alaihi wasallam pernah mengalami dan memaknai perpisahan dengan begitu indah. Wanita ini adalah istri dari Hanzhalah, seorang sahabat yang gugur saat perang Uhud. Apa yang istimewa dari Hanzhalah? Persoalan gugur itu suatu kemungkinan dalam peperangan, syahid pun sebuah kepastian bagi seorang pejuang Islam. Tapi marilah kita perhatikan bagaimana jalan yang ia tempuh untuk mendapatkan syahadah dari Allah. Hanzhalah kala itu adalah seorang pengantin baru, yang penuh cinta dan rindu. Saat sedang bersama istrinya, tersiar kabar tentang peperangan yang dipimpin oleh Rosulullah, jiwanya terpanggil, hatinya mantap untuk saat itu juga bersiap dan berangkat untuk berperang, meski harus meninggalkan dan berpisah dengan istri yang sangat dicintainya. Begitupun istrinya, harus rela ditinggalkan dan berpisah saat itu juga. Apakah ini sebuah akhir atau perpisahan antara Hanzhalah dan istrinya? Apalagi Di akhir peperangan hanzhalah dikabarkan gugur sebagai syuhada. Betul ! ini sebuah akhir, tapi akhir hidup di dunia. Ini juga sebuah perpisahan, tapi perpisahan untuk sementara. Dan istrinya meyakini bahwa, biarlah ia melepaskan Hanzhalah untuk pergi berperang bahkan gugur, karena di sanalah cinta yang lebih besar dari cintanya terdapat. Bukankah syahidnya Hanzhalah adalah bentuk keberkahan, melalui syahidlah kemuliaan bisa didapatkan, sebuah hadits meriwayatkan tentang keutamaan kesyahidan :

“Seorang syahid memiliki enam keistimewaan di sisi Allah: Allah mengampuninya sejak awal; diperlihatkan tempat tinggalnya di surga; dihindarkan dari siksa kubur; bebas dari ketakutan terbesar (pada hari Kiamat); sebuah mahkota keagungan diletakkan di atas kepalanya, sebutir permata dalam mahkota tersebut lebih baik daripada kesenangan dunia dan seisinya; disandingkan dengan 72 bidadari sebagai istrinya; dan diberi wewenang memberi syafaat kepada 70 orang kaum kerabatnya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Bagi istri Hanzhalah, perpisahannya dengan Hanzhalah, suami yang ia cintai ibarat satu dari dua sisi mata uang, jadi ketika mendapatkan perpisahan, mudah saja, hanya tinggal membalik mata uang itu ke sisi yang lain yaitu pertemuan. Dan kerelaan Hanzhalah untuk berpisah dengan istrinya adalah sebuah penyangga untuk menggapai cinta yang lebih besar dari dunia dan seisinya. Gugurnya Hanzhalah merupakan pertemuan awal antara ia dan Rabbnya. Di satu sisi ia berpisah dengan istrinya, di sisi lain ia bertemu dengan Allah atas ridha-Nya. Seperti yang diungkapkan dalam hadits di atas. Bayangkan, syahidnya Hanzhalah merupakan ‘doorprize’ untuk 70 kerabatnya, termasuk istrinya, yang karena cintanya kepada Allah hingga merelakan suaminya untuk pergi berjihad.

Begitupun dengan Mush’ab bin Umair, yang rela meninggalkan kekayaannya, ketenarannya, bahkan ibunya hanya untuk Islam. Di satu sisi mata uang ia menjadi orang rendahan di mata manusia, tapi di sisi lain ia ditinggikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan Islam.

Begitulah selalu, sebuah perpisahan akan selalu berdampingan dengan pertemuan. Tinggal bagaimana kita bisa membalik sisi mata uang perpisahan menjadi sisi pertemuan yang lebih baik. Berpisah dengan harta, seseorang, atau lain sebagainya. Ingatlah bahwa Allah memiliki rencana di balik semua yang kita alami, dan Allah memiliki yang terbaik untuk menjadi pengganti.

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah menggembirakan hati orang yang berperang di jalan Allah, yakni orang yang berperang semata-mata karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya, bahwa ia akan kembali membawa kemenangan dan ghanimah, atau dimasukkan ke dalam surga. Andaikata tidak menyulitkan umatku, niscaya aku akan selalu ikut berperang. Aku ingin mati terbunuh di jalan Allah, kemudian hidup kembali dan terbunuh, kemudian hidup lagi dan terbunuh pula (Al Hadits)

Wallahu’alam.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Aktif sebagai crew di Alhikmah Radio dan aktif sebagai mahasiswa di STID DI dan STIU DI Alhikmah Jakarta.

Lihat Juga

Israel Lanjutkan Pembangunan Tembok Rasis di Perbatasan Jalur Gaza

Figure
Organization