Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Uma Ana dan Uma Ani

Uma Ana dan Uma Ani

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi (ruangpsikologi.com)
ilustrasi (ruangpsikologi.com)

dakwatuna.com – Sore itu selepas shalat ashar ada kajian di masjid kampus. Annida sangat bersemangat untuk mengikutinya. Gadis-gadis seusianya memang sangat antusias jika ada pengajian dengan materi munakahah. Begitukah? Tentu saja, itukan salah satu langkah persiapan sebelum memasuki gerbangnya.

Jam kuliah sudah berakhir satu jam yang lalu. Annida bisa santai dan tenang menunggu dimulainya acara. Wuih, Alhamdulillaah, ternyata banyak juga teman-teman sekampusnya yang seperti dirinya, semangat menuntut ilmu. Setelah mengambil air wudhu dan shalat tahiyatul masjid, Annida duduk di dekat pintu samping masjid sambil menunggu adzan Ashar. Dari dalam tas ia keluarkan mushaf kecil yang selalu dibawanya kemana-mana. Dengan suara lirih mulailah ia melafadzkan ayat-ayat agung Sang Khalik.

Tak berapa lama adzan pun berkumandang. Annida menghentikan tilawahnya untuk bersiap menyambut panggilan muadzin. Annida merasakan nikmatnya shalat berjamaah di masjid kampus. Suasananya tenang, tidak ada suara gaduh dan berisik. Ya tentu saja karena tidak ada anak-anak kecil di sana.

Selesai shalat acara segera dimulai. Kajian yang sangat menarik, disampaikan dengan menarik pula. Pembicaranya alumnus kampus itu pula yang sudah menikah dan punya 3 anak. Annida mendengarkan dengan seksama dan mencatat hal-hal yang penting. Sesekali ia bertukar pandang atau berdiskusi kecil dengan teman yang duduk di sebelahnya, Dinni. Dinni teman sekampus tapi beda jurusan, namun mereka saling kenal karena sering terlibat kegiatan masjid kampus bersama-sama.

Setengah jam sebelum maghrib acara sudah ditutup. Sebelum beranjak dari duduknya Dinni bertanya,

“Nida, boleh saya nebeng sampai rumah? Motor saya masih di bengkel.” Katanya.

“Oh iya, boleh Din, kebetulan sekali, biar saya ada teman jalan.” Jawab Annida sumringah, “Ayo Din buruan biar sampai rumah sebelum maghrib. Nanti gantian aku nebeng shalat maghrib di rumahmu ya?!”

“Iya, ayo!” sahut Dinni ceria. Gadis ini memang selalu ceria. Itulah mengapa ia punya banyak teman lintas jurusan.

Bergegas mereka menuju parkiran motor dan Annida segera memacu motornya ke rumah Dinni. Tak sampai setengah jam sampailah mereka di sebuah rumah yang cukup besar. Bentuknya seperti dua rumah kembar yang digandeng. Dinni mengetuk salah satu pintunya sambil mengucapkan salam. Namun sampai 3 kali tak ada jawaban. Dinni pun beralih ke pintu yang satunya lagi. Seperti tadi ia mengetuk pintu dan mengucap salam. Terdengar jawaban dari dalam rumah. Tak lama kemudian seorang gadis remaja membukakan pintu.

“Oh Kak Dinni, baru pulang Kak?” Tanya gadis itu sambil mengulurkan tangan pada Dinni kemudian menciumnya. Demikian pula ia lakukan pada Annida. Adab yang sangat santun.

“Iya Dik, tadi ada kajian. Uma Ana kemana Dik? Kok saya ketuk pintu sebelah tidak ada yang bukain?” Tanya Dinni.

“ Oh, itu Kak, Uma Ana sama Uma Ani pergi ke bandara jemput Abah. Saudara-saudara yang lain juga pada ikut, sekalian mau mampir ke rumah nenek Maryam katanya.”

“Oh gitu, ya sudah Kakak mau shalat maghrib dulu ya? Ayo masuk Nid!” ajak Dinni.

Merekapun segera shalat bersama-sama. Selesai shalat mata Annida tertuju pada sebuah foto keluarga. Mungkin itu foto keluarga besar Dinni. Seorang lelaki paruh baya duduk di tengah diapit dua orang wanita dan dikelilingi beberapa anak-anak. Ada wajah Dinni juga di sana.

“Itu foto keluarga besar kami Nida.” Kata Dinni seolah mengerti gejolak pikiran temannya.

“Banyak adikmu ya Din?”

“Ada tujuh Nid.”

“Yang manakah ibumu?”

Dinni tersenyum sambil memandang foto itu.

“Yang sebelah kiri Nid. Aku punya 2 orang ibu.” Lanjut Dinni.

“Maaf, kalau kau tidak enak hati, saya baru tahu.” Sahut Annida buru-buru.

“Oh tidak apa-apa Nid. Tidak ada yang tidak enak hati, kami sudah terbiasa.” Timpal Dinni. Sejurus kemudian Dinni mulai bercerita. Ia paham temannya itu pasti penasaran.

“Dulu sebelum menikah dengan ibuku, Uma Ana, ayah sudah menjelaskan bahwa mungkin nantinya ibu bukanlah satu-satunya istri ayah. Awalnya ibu dan keluarganya sangat keberatan dengan pernyataan itu. Tapi Ayah terus meyakinkan mereka akan tekadnya untuk menjadi suami dan ayah yang adil. Setelah melalui banyak istikharah, pertimbangan masak-masak dan percaya akan kesungguhan ayah, akhirnya ibu memutuskan untuk bersedia menjadi istri ayah. Tentu bukan hal yang mudah bagi seorang wanita untuk menerima syarat seperti itu. Namun paling tidak ibu sudah tahu seperti apa model rumah tangganya nanti…”

“Begitukah?”

“Ya begitulah. Setelah aku lahir, ayah benar-benar menikah lagi, untunglah Ayah selalu berusaha untuk menepati janjinya. Menurut cerita ibu, sejak awal ayah meminta pendapat ibu tentang calon istri barunya, memperkenalkannya, dan mengakrabkan mereka. Pernah ibu tidak berkenan dengan seorang calon istri ayah, maka untuk menghormati ibu, ayah membatalkan pernikahannya. Sampai dengan Uma Ani ini, rupanya ibuku berkenan, walaupun tanpa bisa menghilangkan kekhawatiran dan kecemburuan, jadilah mereka bermadu. Satu hal yang selalu ayah tekankan pada kami, yakni bahwa kami ini satu keluarga, bukan dua keluarga. Apapun yang terjadi, kami adalah satu keluarga.”

“Ckckckc… hebat orangtuamu Din, tumben saya tahu seperti ini. Trus bagaimana hubunganmu dengan ibu tiri dan adik-adik tirimu Din?” Tanya Annida penasaran, “Maaf, itupun kalau kamu tak keberatan untuk cerita Din?” intonasi Annida sedikit dikendorkan.

Dinni kembali mengumbar senyumnya, ia sudah terbiasa mendapatkan pertanyaan seputar itu sejak kecil.

“Tadi sudah saya katakan bahwa ayah memberi pemahaman pada kami sejak kecil bahwa kami ini satu keluarga, sama seperti keluarga-keluarga yang lain. Hanya bedanya di keluarga kami ada dua bintang. Jika anak yang lain punya satu ibu, saya beda, saya punya dua ibu, dan itulah keistimewaan saya. Selama ini tidak ada masalah, kami bahagia, kami tumbuh layaknya anak-anak yang lain. Uma Ana punya 4 anak, demikian pula Uma Ani. Sewaktu bayi kami sering disusui bergantian oleh ibu-ibu kami, karena usia kami tidak jauh beda. Adik-adik saya dari Uma Ani menghargai dan memperlakukan saya layaknya kakak kandung. Demikian pula saya memperlakukan mereka. Kadang-kadang kami juga bertengkar, sama seperti anak-anak yang lain. Ya begitulah. Namun ibu-ibu kami tidak membedakan antara anak kandung dan anak tiri, kamipun tidak membedakan ibu kandung apa ibu tiri, kecuali di akte kelahiran.”

Annida terpana mendengarnya. Selama ini yang ia tahu dan ia dengar, ada banyak ketidak harmonisan dalam keluarga yang poligami.

“Hei, kenapa jadi bengong gitu?”

“Terus terang Din, baru kali ini aku mendengar cerita seindah itu.”

“Begitulah Nid, selama orangtua tetap sayang, perhatian dan memperlakukan anak dengan baik serta tidak menanamkan kecurigaan atau kebencian pada pihak lain, tak akan terjadi konflik. Kami kan hanya anak-anak, tak berpikir neko-neko, hanya perhatian dan kasih sayang itu yang kami butuhkan. Sewaktu kecil saya pikir semua keluarga seperti keluarga saya, punya ibu lebih dari satu. Waktu TK, Uma Ana dan Uma Ani bergantian mengantar jemput kami. Ketika saya lihat teman-teman yang lain diantar jemput oleh ibu yang itu-itu saja, malah saya katakan pada mereka, kenapa kalian hanya punya satu ibu? Bukankah lebih enak punya ibu dua? Mereka hanya melongo tidak mengerti. Hahaha…” tawa Dini terdengar renyah.

“Tidakkah ada perasaan iri antara ibu-ibumu Din?” Annida masih penasaran juga. Sambil berpikir sejenak Dini menjawab,

“Dalam hati mereka mungkin ada. Tapi dalam tindakan keseharian tak tampak jelas. Alhamdulillah. Ayahku mendekatkan mereka seperti saudara, layaknya kakak-beradik. Kupikir kuncinya ada pada ayahku. Beliau benar-benar berusaha jadi wasit yang tak pilih kasih, bertindak jadi manager yang handal, yang mampu mengelola konflik dengan baik. Perselisihan-perselisihan kecil atau masalah-masalah sehari-hari tetaplah ada, tapi takkan dibiarkan jadi besar. Kami akan berkumpul bersama untuk mengurainya.”

“Ayahku juga sejak awal telah memperkenalkan istri-istrinya kepada lingkungan keluarga, teman, dan sejawatnya. Sehingga kamipun anak-anaknya tidak malu mengatakan bahwa kami punya dua ibu. Tidak ada yang ditutup-tutupi dan tidak ada yang menang kalah di sini, yang ada adalah kami satu keluarga.”

Pembicaraan mereka terhenti tatkala terdengar klakson mobil berhenti di depan rumah. Rupanya keluarga Dinni sudah datang. Satu keluarga, begitulah yang tertangkap mata Annida. Annida pun segera berpamitan pulang.

Sepanjang jalan hingga sampai rumah Annida masih sangat terkesan dengan cerita Dinni tadi. Setahunya ada beberapa teman sekolah dan juga teman kuliah yang ayahnya poligami, ceritanya selalu sama. Ayah yang tak lagi perhatian, istri pertama yang merana, istri kedua yang tertawa bahagia di atas penderitaan madunya, ataupun sebaliknya. Annida teringat kembali uraian pembicara pada kajian sore tadi. Syari’at Islam diturunkan oleh Allah Subhaanahu Wa Ta’ala untuk kemaslahatan hamba-Nya. Tak terkecuali syari’at poligami ini. Masih terngiang di telinga Annida perkataan Dinni yaitu kuncinya ada pada ayahku.

“Ya, kuncinya ada pada kaum Adam” Jika saat ini poligami masih menjadi momok yang sangat menakutkan bagi kaum Hawa, itu bukanlah karena mereka meragukan syari’at Allah Ta’ala ataupun menentangnya, tapi pengemban syari’at itu yakni kaum Adam yang masih sangat diragukan kemampuannya. Teladan dari yang telah menjalankannya pun masih sangat minim.

“Begitukah? Entahlah, Wallaahu a’lam, karena aku hanya punya satu ibu” gumam Annida dalam batin, sebelum terlelap karena capek.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Hamba Allah Ta'ala yang selalu berusaha untuk mendapat cinta-Nya. Lahir di Jawa Timur dengan nama Susanti Hari Pratiwi binti Harmoetadji. Pendidikan formal hanya sampai S1 Teknik Kimia ITS

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization