Topic
Home / Keluarga / Pendidikan Keluarga / Pelita dalam Kegelapan

Pelita dalam Kegelapan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (anggawakurnia.blogspot.com)
Ilustrasi. (anggawakurnia.blogspot.com)

dakwatuna.com – Begitu besar perjuangan dan pengorbanan yang telah ia lakukan. Segala bentuk kasih sayang selalu ia curahkan, tanpa lelah, tanpa bosan, dan tanpa henti. Walau harus menanggung lapar dan pedih, yang terpenting baginya adalah kebahagiaan anaknya.

Orang tua, mendengar kata itu tentu aku akan menerawang jauh tentang mereka. Sosok yang sabar, penyayang dan rela berkorban. Memberikan kasih sayang, merawat dan membesarkanku hingga sebesar ini. Mereka yang telah mengajariku tentang kehidupan dan memberitahuku mana yang salah dan benar. Mengajarkanku untuk menjadi seseorang yang berguna bagi orang lain dan dapat menolong sesama, itulah Ayah dan Ibuku.

Sembilan belas tahun yang lalu lahirlah bayi perempuan dari seorang wanita yang sangat kuat. Ia harus melawan maut dan berusaha untuk melahirkan anaknya tersebut. Walaupun sakit dan takut ia rasakan, namun ia terus berusaha untuk melahirkan anaknya dengan normal. Setelah berjuang mati-matian, akhirnya anak itu pun lahir. Senyum bahagia terukir manis oleh wanita kuat tersebut, yang biasa kusebut Ibu.

Waktu terus berjalan, aku tumbuh menjadi gadis remaja. Ibuku yang telah merawat dan membesarkanku hingga kini. Ibuku hanya seorang Ibu Rumah Tangga biasa, ia tidak bekerja karena ia ingin fokus merawat anak-anaknya. Setiap hari ia mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, menyetrika, dan membersihkan rumah. Ia juga harus merawat ketiga buah hatinya, terlebih saat ini aku masih memiliki adik yang masih balita. Tentu, itu harus ada perawatan khusus yang dilakukan Ibu.

Rasa lelah dan bosan tidak ia hiraukan. Melakukan pekerjaan itu setiap hari tentu akan membuat jenuh. Namun, tidak dengan Ibuku. Ia selalu tersenyum setiap hari di depan aku, adik-adik, dan ayahku. Ia menyiapkan sarapan di pagi hari. Menyambut kami pulang ke rumah, tidak jarang aku mencurahkan segala isi hatiku tentang pelajaran, teman, ataupun percintaan terhadap Ibu. Ia selalu menjadi pendengar yang baik dan memberikan solusi yang terbaik pula. Sosok yang halus, perhatian dan penyabar yang pernah kukenal ialah Ibuku.

Berbeda dengan Ibu, Ayahku termasuk seorang yang cuek dan terlihat dingin. Namun, di balik itu semua ia sosok yang sangat penyayang dan rela berkorban untuk istri dan anak-anaknya. Setiap hari ia bekerja untuk menghidupi keluarganya. Walau peluh menetes dan rasa lelah menerpa, hal tersebut tak pernah ia hiraukan. Ia selalu bekerja dan berusaha kuat di hadapan kami. Tak pernah mengeluh dan selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah. Ia sosok yang sangat taat beragama, di sela kesibukannya ia tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Saat maghrib tiba, ia selalu shalat di masjid sampai dengan shalat isha yang diselingi oleh mengaji.

Walaupun terlihat cuek, tetapi ia sangat menyayangi dan memperhatikan anak-anaknya. Ayah selalu khawatir saat ia pulang bekerja dan ada anaknya yang tidak ada di rumah. Aku masih ingat betul, awal masuk kuliah. Saat itu sedang ospek atau yang disebut PKKP dan ada ESQ di Menara 165 di daerah Cilandak. Seluruh peserta dilarang membawa handphone, hal itu membuatku kesulitan untuk menghubungi orang tuaku. Selesai ESQ, aku dengan teman-temanku pulang naik kopaja. Karena jam pulang kantor akhirnya macet. Selain itu, kopajanya pun sangat jarang, membuat kami harus berjalan yang jauh supaya kami kebagian naik kopaja. Saat sampai di rumah pukul 21.00 WIB, ayah sedang bersiap-siap ingin naik motor untuk menjemputku. Ternyata ia sangat khawatir karena diriku belum pulang. Ibu menceritakan bahwa ayah sangat khawatir, ia mencoba menghubungi teman-temanku yang satu kampus denganku. Namun, hasilnya nihil karena teman-temanku pun tidak membawa handphonenya. Beberapa kali ia bolak-balik dari rumah ke depan gang di pinggir jalan raya untuk menungguku pulang. Bahkan ia tidak sempat untuk makan sepulang bekerja karena mengkhawatirkanku. Mendengar itu semua, aku sangat merasa sedih karena telah membuatnya khawatir.

Ayah juga sosok yang rela berkorban, jika ia memiliki sedikit uang lebih, ia selalu membelikan sesuatu untuk kami. Sedangkan ia sendiri tidak pernah membeli barang apapun untuk dirinya sendiri, kecuali kami yang membelikan untuknya. Jika Ibu hanya memasak sedikit makanan enak seperti ayam goreng, ia akan mengalah untuk tidak memakannya dan memilih makan ikan asin. Jika Ayah mendapat bingkisan apapun dari atasan atau teman saat ada acara, ia akan berikan kepada kami, saat kami menawarinya ia akan berkata “sudah itu untuk kalian saja.”

Ketika aku duduk di bangku kelas dua SMA, seluruh siswa akan pergi study tour ke Yogyakarta. Aku memberitahu Ayah tentang study tour ini dan ayahku hanya bilang berdoa saja semoga ada rezeki. Saat itu, kondisi keuangan keluargaku memang sangat lemah membuatku tahu diri untuk tidak memaksakan ikut. Wali kelasku, terus menanyakan keputusan bahwa aku akan ikut atau tidak. Aku tidak bisa menjawab apa-apa karena memang Ayah belum mengatakan sesuatu tentang study tour ini. Untuk menanyakannya saja aku tidak tega karena aku yakin ayah tidak memiliki uang. Hingga tujuh hari menjelang keberangkatan study tour, saat ayah pulang bekerja aku mencoba memberanikan diri untuk menanyakannya. Aku bilang, jika tidak ada uang, aku tidak apa-apa tidak ikut study tour, yang terpenting adalah keputusan karena wali kelasku sudah menanyakannya terus. Tiba-tiba Ayah mengeluarkan amplop yang berisi uang dan ia berkata “Kamu tetap ikut study tour, Ayah sudah mengumpulkan uang dan sebagian lagi ayah pinjam ke atasan Ayah. Uang itu juga ada sisa untuk perbekalan kamu di Yogya nanti.” Ujar ayah. Mendengar itu semua, aku hanya bisa mengucapkan terimakasih dan rasanya aku ingin menangis. Namun, coba kutahan agar air mata tidak menetes dari mataku.

Ayah sangat berharap agar aku kuliah di Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN). Namun, karena aku sudah diterima di Politeknik Negeri Jakarta, hal tersebut membuatku menjadi kurang serius saat tes masuk STSN. Hasilnya akupun gagal kuliah di STSN, jelas betul terlihat wajah kecewa di muka Ayah saat itu. Aku hanya bisa menangis dan meminta maaf karena telah mengecewakannya. Namun, Ayahku terus memberiku semangat dan mencoba ikhlas karena memang jalanku sudah ditentukan untuk kuliah di PNJ.

Mengingat begitu banyak pengorbanan yang telah dilakukan oleh Ibu dan Ayahku membuatku ingin membalas budi kepadanya. Memberikan yang terbaik dan membuat mereka bangga terhadapku. Aku berharap agar orang tuaku dapat merasakan masa di saat aku sukses dan mereka menerima balas budi dariku. Ibu yang halus, lembut, dan sabar serta Ayah yang penyayang dan perhatian membuatku bangga memiliki orang tua seperti kalian. Aku berjanji akan membuat kalian bangga karena telah membesarkanku, wahai Ayah dan Ibuku.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswi dari Politeknik Negeri jakarta, program studi penerbitan (jurnalistik). Aktif di Himpunan Mahasiswa Grafika dan Penerbitan, sangat gemar menulis, dan memiliki rasa ingin tahu yang besar.

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization