Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Etika Seorang Muslim Terhadap Diri Sendiri

Etika Seorang Muslim Terhadap Diri Sendiri

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (wallpaperpanda.com)
Ilustrasi. (wallpaperpanda.com)

dakwatuna.com – “Setiap anak cucu adam pasti bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang banyak bertobat (Hr. Tirmidzi)”.

Manusia tidak ada yang sempurna dan juga tidak bisa lepas dari dosa-dosa yang telah diperbuat. Oleh karena itu seorang muslim seharusnya senantiasa berusaha untuk memperbaiki dan menyucikan dirinya dari perbuatan dosa yang mengotori aktivitas dan amal-amal perbuatannya. Dalam memenuhi etika untuk membersihkan dan menyucikan diri sendiri seorang muslim dapat menempuh beberapa cara yakni :

  1. Taubat

Manusia yang tak bisa lepas dari dosa oleh karena itu setiap muslim butuh ampunan dari Allah. Ampunan Allah dapat diperoleh dengan istighfar dan taubat. Rasulullah yang sudah terjaga dari dosapun tetap beristighfar dan bertaubat. Sebagaimana Rasulullah bersabda “Demi Allah sesungguhnya aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepadaNya dalam satu hari lebih dari 70 kali.” (Hr. Bukhari).

Esensi dari taubat sebenarnya adalah menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan dan bertekad untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Allah sendiri mencintai orang-orang bertaubat dan memberikan hadiah berupa ampunan dan surga yang kekal bagi mereka.

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang suka bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun (beristighfar) terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (QS. Ali Imran: 135-136).

  1. Muhasabah (Evaluasi Diri)

Seorang muslim yang beretika pada dirinya sendiri hendaknya melakukan muhasabah terhadap semua aktivitas yang telah dilakukan, baik aktivitas dunia maupun aktivitas akhirat. Muhasabah atau evaluasi penting dilakukan bagi seorang muslim karena dengan itu seorang muslim dapat melakukan perbaikan diri di mana orientasi dari perbaikan diri ini adalah akhirat.

Sebagaimana sabda Rasulullah “Orang yang cerdas (sukses) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.” (Hr. Tirmidzi).

Hal ini juga ditegaskan dalam firman Allah dalam surat Al-Hasyr : 18 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah di diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.”

Muhasabah yang dilakukan setiap muslim akan meringankan hisab di yaumul akhir. Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khatab mengatakan “Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab dan bersiaplah kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya didunia.”

  1. Muraqabah

Muraqabah merupakan sebuah perasaan di mana Allah senantiasa melihat dan mengawasi setiap aktivitas seorang muslim. Nilai plus tersendiri bagi setiap muslim yang bisa menghadirkan Allah di setiap aktivitas sehingga setiap aktivitasnya dapat bernilai surga. Dengan cara seperti itu setiap muslim dapat merasakan kebesaran Allah, ketentraman ketika mengingat nama-Nya dan ketika taat kepada-Nya.

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (QS. An-Nisaa’: 125)

  1. Mujahadah

Ada yang pernah berkata kepada Hasan Al Bashri “Wahai Abu Sa’id jihad apa yang paling afdhol?” Beliau menjawab “Jihadmu melawan hawa nafsumu”.

Sudah seharusnya bagi setiap muslim memerangi hawa nafsunya karena itulah yang dapat mengakibatkan setiap muslim bermalas-malasan, santai, dan terjerumus dalam syahwat.

Ustadz Abu Bakar Jabir Al-Jazairi mengatakan dalam minhajul muslim bahwa setiap muslim harus memerangi hawa nafsunya jika hawa nafsunya menyukai kehidupan santai, maka ia membuatnya lelah. Jika hawa nafsunya menginginkan syahwat, maka ia melarangnya. Jika dirinya tidak serius dalam ketaatan dan kebaikan, maka ia menghukumnya dan memarahinya, kemudian mewajibkan dirinya mengerjakan apa yang tidak ia kerjakan dengan serius, dan mengganti apa yang ia sia-siakan dan apa yang ia tinggalkan.

Oleh karena itu seorang muslim hendaknya istiqomah dalam berjuang memerangi hawa nafsunya. Mudah-mudahan ayat ini dapat menjadi penyemangat bagi kita dalam bermujahadah “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69)

Referensi: Khutbah Jumat Ust. Ghifari dengan perubahan seperlunya.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (7 votes, average: 7.71 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa pascasarjana IPB, suka membaca dan menulis. Bercita-cita menjadi dosen.

Lihat Juga

Pelajaran Etika dari Pelajaran Hidup Umar ibnu al-Khaththab

Figure
Organization