Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Krisis Tawakal di Era Global

Krisis Tawakal di Era Global

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi-tawakal (inet)
ilustrasi-tawakal (inet)

dakwatuna.com – Semakin hari semakin besar tantangan yang dihadapi manusia, lahan pekerjaan yang terbatas, harga kebutuhan rumah tangga terus naik, biaya pendidikan tinggi sehingga tak sedikit orang yang putus dari sekolahnya, berobat pun mahal karena tidak semua orang mendapat jaminan dari pemerintah atau tempatnya bekerja dan tidak sedikit pula para lelaki menahan diri untuk segera menikah karena alasan ekonomi padahal usianya sudah lanjut. Ada apa gerangan!

Jika kita renungi sejenak, pelbagai masalah dunia sebenarnya ada jalan keluar, pekerjaan tidaklah sulit didapat jika seseorang mau bergerak tanpa terbatas oleh persepsi orang lain, sebagian orang mungkin beranggapan bahwa pekerjaan harus menjadi pegawai tetap di pemerintahan, lembaga atau di sebuah perusahaan dengan gaji bulanan. Sebagian yang lain mungkin mengartikan pekerjaan harus berseragam dinas layaknya para PNS, menggunakan identity card di bajunya dan juga harus berada di luar rumah.

Paradigma inilah yang menjadikan seseorang terbelenggu, tak terkecuali para perempuan, mereka membanting tulang demi kebutuhan keluarga dan kerabat, menguras pikiran layaknya kaum Adam, mencari lowongan kesana kemari, senantiasa ikut tes CPNS/BUMN/Perusahaan setiap tahunnya, tanpa sadar usia semakin lanjut seakan lupa mencari pendamping hidup atau bahkan sengaja menolak beberapa lamaran pria yang datang padanya karena masih sibuk akan urusan dunia. Ada apa gerangan!

Derasnya arus urbanisasi bisa saja membuat seseorang kehilangan jati diri, ikut terseret arus hiruk-pikuk dan ingar-bingar suasana perkotaan, tak sedikit yang laki-laki malu dengan status sosialnya sehingga memilih untuk menipu calon pasangannya dengan berpura-pura mapan, melihat dari beberapa sumber bahkan ada seorang pria mengaku sebagai pengusaha, PNS, akademisi, polisi hingga kopasus demi mendapat gadis pujaannya yang sudah memiliki status sosial di masyarakat.

Sedangkan yang perempuan terlalu selektif, sering menolak laki-laki yang datang melamar dengan kejujuran dan apa adanya, karena ia menunggu lelaki yang kelihatannya mapan. Padahal sebaliknya hutang sana sini, rental mobil kesana kemari agar terkesan kaya raya. Kalaupun memang ada yang mapan biasanya berstatuskan suami orang lain. Halah!

Memangnya ada bujang yang kaya raya, setahu saya bujang yang punya potensi menjadi kaya raya itu banyak. Tapi sayang para perempuan lebih memilih bujang yang kaya walaupun langka adanya, ibarat satwa yang hampir punah, kalaupun ada bujang kaya biasanya karena orangtuanya sudah kaya raya atau juragan tanah di kampungnya. Kenyataan ini antara realistis dan matrealistis, bedanya sangat tipis, kebanyakan perempuan mereka tidak suka disebut matrealistis.

Seseorang menjadi kaya raya karena anugerah Allah Taala setelah beberapa tahun menikah, ketika awal menikah hidupnya susah payah dengan terus berjuang menuju kelayakan dengan potensi yang dimiliki sang bujang.

Di zaman sekarang banyak orang membuat sekolah hingga universitas, dengan mudahnya lembaga-lembaga pendidikan mencetak para sarjana, jumlahnya semakin tak terhitung, bahkan saat ini sudah ada belajar via online. Mudah bukan!

Jika mudah seharusnya para sarjana berpikirnya juga mudah, bukan lantas orientasi belajar adalah pekerjaan semata, perbedaan manusia di zaman sekarang adalah pada orientasinya, dahulu orang mencari uang untuk bisa belajar, sekarang orang belajar untuk bisa mencari uang.

Jika orientasinya untuk menjadi pekerja pastinya seseorang akan kecewa karena lahan pekerjaan di negeri ini semakin hari semakin terbatas, tidak sebanding dengan jumlah para sarjana yang semakin membeludak, maka tak heran banyak orang yang memilih bekerja di luar negeri sekalipun sebagai pembantu rumah tangga atau pelayan di sebuah restoran.

Tanpa sadar banyak para sarjana berlebelkan sarjana kertas meminjam istilah Prof Rhenald Kasali, yaitu mereka yang pandai memindahkan isi buku ke dalam lembar jawaban, tetapi sayangnya mereka tidak pandai memindahkannya ke lembar kehidupan yang penuh teka teki.

Para sarjana seyogyanya mengubah pola pikir, saat lulus bukan hanya berpikir bagaimana caranya bisa bekerja dan terikat pada rutinitas, tetapi bagaimana seseorang bisa menciptakan lapangan pekerjaan untuk dirinya dan sesama. Idealnya seorang pelajar bukan saja sebagai akademisi tapi juga sebagai praktisi.

Banyak orang takut menjadi pengangguran, padahal menganggur bisa juga menghasilkan uang jika pribadinya produktif, pandai bergaul, banyak membangun relasi, dipercaya orang lain dan berani membuka usaha apapun jenisnya, sebaliknya orang yang bekerja dengan gaji bulanan hanya bisa mengelus dada karena gajinya kadang kala tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan tak sedikit yang menjadikan surat keterangan bekerja dengan melampirkan slip gaji bulanan sebagai alat ampuh untuk bisa menghutang ke Bank, koperasi hingga ke rentenir. Alamak!

Kebanyakan dari kita lebih memilih untuk hidup dengan rutinitas yang kadang membosankan, takut untuk keluar dari lingkungan yang mengikat, terlalu berharap pada makhluk seakan melupakan Tuhan sang pemberi rezeki, banyak orang begitu mendewakan pekerjaan dan mendewakan manusia (atasan) karena takut di PHK.

Tuntutan demi tuntutan yang terus menghiasi alam bawah sadar seseorang, bisa membuat hidupnya menjadi sempit bak daun kelor, padahal bumi ini luas seluas karunia Tuhan pada manusia, maka bertebarlah di muka bumi, kalau dibahasakan dengan bahasa sehari-hari yaitu merantaulah dari tempat tinggal, keluarlah dari zona nyaman, mungkin selama ini ada orang yang memilih bertahan dan terus hidup bersama keluarga serta kerabatnya hingga terasa berat untuk meninggalkan kehangatan. Padahal fitrah manusia adalah hidup mandiri dengan berpisah dari orang-orang terdekat jika memang sudah waktunya apalagi jika sudah menikah.

Dalam sebuah ungkapan:

Semakin besar frekuensi dan kuantitas seseorang terpisah dari keluarga dan orang-orang terdekat maka semakin besar pula kualitas kecintaan antara keduanya”.

Orang yang bertawakal memiliki ketergantungan kepada Allah Taala dalam berbagai keadaan dan selalu menyandarkan segala urusan kepada-Nya, karena menurut Imam Ahmad rahimahullah tawakal adalah tidak berharap dari makhluk.

Kata tawakal dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Arab, dari padanan “Tawakkala-Yatawakkalu-Tawakkulan” yang artinya adalah pasrah atau berserah diri dan kata-kata ini berhubungan dengan perbuatan seseorang yang terjadi di masa lampau atau yang sedang dilakukan dan yang akan dilakukan di masa mendatang. Adapun subjeknya disebut dengan “mutawakkil” artinya orang yang senantiasa berserah diri atau pasrah.

Jika menjadi kata perintah maka akan berubah menjadi “tawakkal” dengan mematikan harakat di akhir atau menjadikannya sukun dalam kaidah tajwid dan mempunyai arti dalam bahasa Indonesia “bertawakalah anda”.

Sifat tawakal adalah ciri dari orang yang beriman, orang yang bertawakal pasti ia beriman dan orang yang beriman pasti ia bertawakal, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan seperti anggota tubuh manusia yang saling berhubungan satu sama lainnya.

Di antara sifat orang yang bertawakal yaitu mereka yang berdoa kepada Tuhan semesta alam dengan penuh pengharapan akan rahmat-Nya dan dengan suara yang merendah.

Mengapa kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami. (Ibrahim ayat 12)

Dengan berserah diri kepada Allah Taala bukan serta merta seseorang melepaskan nalarnya sebagai makhluk yang dikaruniakan akal sehat dan pikiran, karena ajaran Islam menunjukkan jalan kepada manusia untuk menjadi pribadi yang peka akan isu-isu yang terjadi di sekitarnya dan cerdas dalam mengambil sikap atau keputusan.

Dari Umar radiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Seandainya kamu sekalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia akan memberikan rizki kepada kalian sebagaimana Dia telah memberi rizki (kepada) burung, ia berangkat pagi-pagi dengan perut yang kosong dan pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang”. (HR. At-Tirmidzi)

Seekor burung pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan ia bisa pulang dengan perut terisi makanan di sore harinya bahkan sambil membawa bekal untuk anak-anaknya, padahal burung

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...
Dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Bandung (UNISBA) & PIMRED di www.infoisco.com (kajian dunia Islam progresif)

Lihat Juga

Turki Pemegang Kunci Penyelesaian Krisis Suriah

Figure
Organization