Topic
Home / Narasi Islam / Wanita / Aku Berhijab dan Merantau

Aku Berhijab dan Merantau

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (nyepsycho.wordpress.com)
Ilustrasi (nyepsycho.wordpress.com)

dakwatuna.com – “Assalamu’alaikum bu Yanti,” sapa Tanti, salah satu siswa yang telah menjadi langganan perpustakaan mini di rumah yang kedatangannya disusul oleh anak-anak lain yang dalam hitungan menit langsung memenuhi rumahku yang sempit.

“Wa’alaikumsalam warohmaullahi wabarokatuh, silahkan baca buku dulu sebelum kita belajar ba’da Ashar nanti yah,” jawabku bersambilan dengan gerakan tangan yang mengeluarkan beberapa buku dari dalam kardus yang baru aku bawa dari kota kemudian menyusunnya di atas rak kayu yang ditempel di dinding dengan siku besi.

“Wah, buku baru yah bu,” anak-anak dengan sigapnya langsung mengerumuniku, setiap mata tertuju pada buku-buku yang masih dalam proses penyusunan itu.

“Iya Alhamdulillah kita dapat tambahan koleksi buku lagi, nah ayo silahkan dipilih-dipilih,” segera anak-anak berlomba untuk mendapatkan kesempatan pertama membaca buku-buku itu.

“Eits, tapi sebelum kalian boleh memilih buku, harus jawab kuis ibu dulu, yang bisa jawab boleh pilih bukunya. Oke?”

“Oke bu,”

Aku memulai kuis dengan memberikan pertanyaan demi pertanyaan yang disambut dengan angkat tangan sambil berteriak “saya” dengan begitu meriah. Begitulah hari-hari yang belakangan mewarnai hidupku di tanah rantau ini. Adalah sebuah pulau nan ujung di bagian barat Indonesia, aku telah menghabiskan lima bulan hidupku untuk sebuah pertemuan yang aku impikan. Sejak menggeluti dunia organisasi dan volunteering sejak SMA, aku telah mendambakan untuk bertemu dengan mereka, dengan anak-anak pelosok negeri ini. Meskipun untuk sekadar berbagi cerita, mimpi dan juga asa.

Di sebuah rumah dinas yang terletak tidak jauh dari sekolah tempatku mengabdi sebagai guru SD, bersama anak-anak pesisir aku menghabiskan sisa hari yang panas sambil berbagi cerita tentang dunia mereka dan dunia di luar sana. Inilah duniaku, dunia yang aku cintai, dunia yang pada akhirnya aku temui setelah meninggalkan kehidupan kota di Makassar.

Tak ada mall, supermarket, restaurant cepat saji pun bioskop, semua keserba-adaan yang berdampingan dengan hedonisme itu seketika tergantikan oleh ke-serba-terbatasan yang akhirnya menjadi akrab dengan keseharianku. Sinyal telepon hanya ditemui di sudut jendela bagian depan rumah, sinyal internet sama sekali tidak ada, air harus mengangkut dari sungai di dalam hutan atau paling beruntung karena bisa juga dari rumah tetangga, pasar hanya terletak di kota kecamatan dan tidak ada angkutan umum untuk mencapai kota dari desaku. “Kamu sendiri yang memilih meninggalkan pekerjaan kamu yang sudah bagus dan memilih semua keserba-terbatasan itu,” cemooh kakak sulungku pada suatu ketika, setelah aku bercerita tentang keadaan di desa.

Bagiku semua itu belum ada apa-apanya, toh aku sanggup menjalani semuanya tanpa harus mengalami masa adaptasi yang sulit dan juga homesick. Yang terpenting adalah bahwa selama aku berada di sini, maka hidupku adalah di sini dan aku menikmati aktivitasku meskipun aku harus menjadi sedikit berbeda daripada orang-orang di sekitarku. Yah, aku terlihat berbeda, meski begitu aku harus bersikap seolah tak memahami maksud pandangan mata orang-orang yang tertuju ke arahku, pun perkataan atau pertanyaan dari mereka. “Ibu di rumah juga tetap pakai jilbab yah?” tanya salah seorang ibu-ibu disebuah perbincangan singkat di tepi jalan, mungkin pertanyaan itu muncul setelah melihat kepalaku tak pernah tanpa penutup. Di waktu yang lain, pertanyaan atau pernyataan lain juga pernah muncul di kala aku mencuci atau mandi di sungai, “Tidak pakai jilbab di sini tidak apa-apa karena tidak ada yang mengintip kok,” atau “Ibu kenapa berenang juga pakai kaos kaki?” serta pertanyaan dan pernyataan lain yang pada akhirnya menguap dengan sendirinya. Jawabanku pun selalu singkat saja, “Iya bu,” “Iya nak,” atau “Iya nak, karena menutup aurat adalah kewajiban setiap muslimah.”

Seiring waktu, masalah penampilan yang bagi orang-orang di sekitarku adalah hal yang sangat penting, dengan sendirinya mengenyahkan perbedaan yang cukup menonjol dariku. Berjilbab sedikit tertutup di lingkungan yang di mana pakaian you can see jauh lebih laku, pada akhirnya telah berhenti menjadi sesuatu yang tidak biasa. Ada hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan, yaitu apa yang aku lakukan di desa ini. Mengabdikan waktu singkat yang aku miliki untuk berbuat yang terbaik bagi anak-anakku.

Siang hari hingga menjelang petang, rumahku selalu ramai oleh anak-anak. Syukurlah, para orang tua mempercayaiku untuk mengajarkan anak-anaknya mengaji dan les bahasa Inggris. Tidak cukup sampai di situ, tugasku sama sekali tidak cukup dengan hanya membantu kekurangan guru di SD dan memberikan les serta pelajaran mengaji bagi anak-anak, lebih dari itu, aku merasa harus menjawab salah satu kebutuhan anak-anakku yang sangat jauh dari jangkauan mereka, yaitu buku.

Buku bacaan berkualitas menjadi barang mewah yang berada di luar jangkauan, akibatnya kemampuan membaca dan menulis mereka sangat terbatas. Jangankan untuk menulis rangkuman artikel singkat, menuliskan ide mereka sendiri saja, butuh waktu lebih dari satu jam dengan hasil yang belum tentu ada satu paragraf. Sejak tiga bulan lalu, aku memutuskan untuk menjadikan rumahku bukan hanya tempat belajar, tetapi juga menjadi tempat para anak-anak untuk leluasa membaca buku-buku yang bervariasi.

Dengan membeli buku sedikit demi sedikit setiap kali berkunjung ke kota serta atas sumbangan beberapa teman, perpustakaan mini kami pun telah dapat dinikmati oleh anak-anak. Bertambah lagi satu fungsi rumah dinasku yang membuatku tidak betah jika berlama-lama meninggalkannya untuk urusan lain di kota. Ditambah lagi desah anak-anak setiap kali aku harus berangkat ke kota untuk rapat dan sebagainya, “Yah, ibu kenapa harus ke kota,” “Ibu boleh pergi tapi jangan lama-lama yah,” atau “Rapatnya di sini saja bu, tidak usah ke kota yah, yah…yah…,” dan masih banyak desahan lain yang benar-benar membuatku selalu rindu untuk cepat-cepat pulang pada mereka.

Perasaan takut dan khawatir yang pernah hinggap di hatiku, terjawab dengan sempurna. Perempuan berhijab tak perlu takut merantau, kita melakukannya karena mengharap ridha Allah, maka Ia pun akan senantiasa menuntun dan menjaga. Perempuan berhijab tak perlu risih untuk bergerak energik, kita bergerak tak keluar dari syariat. Bukankah Aisyah r.a. juga adalah wanita yang sangat enerjik, kenapa kita tidak?

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (5 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...
Perempuan berdarah bugis yang memiliki nama asli Jayanti ini memiliki impian untuk membangun sekolah Islam tak berbayar bagi anak-anak kurang mampu di daerah asalnya, kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Alumnus Unismuh Makassar serta Sekolah Guru Indonesia ini sedang menjalankan tugas sebagai pengelola School of Master Teacher Makassar, salah satu program pendidikan keguruan yang diinisiasi oleh Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa serta mengelola Kolong Ilmu, salah satu program dari Klinik Pendidikan Nusantara, sebuah Komunitas Volunteer yang berupa rumah baca, rumah belajar dan rumah kreatifitas bagi anak-anak pelosok Nusantara yang saat ini tersebar di tujuh titik di Indonesia.

Lihat Juga

(Video) Perempuan Palestina Diseret, Dipukul, Ditarik Jilbabnya Hingga Lepas

Figure
Organization