Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kembara Perjuangan

Kembara Perjuangan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Siluet Pejuang 2dakwatuna.com – Menjadi seorang aktivis muslim, memang tidaklah mudah. Karena 1000 tahun peradaban Islam memimpin dunia, dibangun bukan dengan canda dan tawa. Kadang tangis, bahkan luka. Dua hal itulah yang menjadi unsur utama senyawa pembentuk peradaban Islam. Islam yang hadir di muka bumi sejak kehadiran Rasulullah saw hingga keruntuhan turki Ustmani juga merupakan akumulasi pesona akhlak, luasnya pengetahuan, hingga kekuatan tekad yang tak pernah padam.

Mari mulai merenungi sejarah bumi Indonesia tercinta, sebelum kita berpijak ke ranah kepemimpinan dunia. Bahwa dalam konteks keindonesiaan pun, politisi muslim selalu mendapatkan tantangan yang sulit dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam. Hal itu sudah terbaca sejak hari pertama sidang BPUPKI, di mana Ki Bagus menyampaikan pidato tentang falsafah negara. Hal itu jelas diungkapkan baik oleh Soepomo maupun Soekarno, yang berpidato setelah sidang pertama. Tetapi hingga kini, dokumen otentik yang merekam pidato ki bagus itu belum ditemukan.

Apa yang dapat ditangkap dari pidato Soepomo dan Soekarno ialah, dalam pidato sebelumnya Ki Bagus telah mengemukakan pendiriannya agar Indonesia merdeka berdasarkan Islam. Pada masa kemudian, Djarnawi Hadikusumo menerbitkan sebuah risalah kecil, yang menurutnya berisi pidato Ki Bagus dalam sidang BPUPKI. Tetapi, karena naskah itu telah disunting Djarnawi sendiri, sukar memastikan keontetikannya.

Meskipun dokumen BPUPKI mengenai perdebatan tentang landasan falsafah negara itu belum lengkap, dari dokumen itu dapat diketahui adanya perbedaan pandangan yang cukup tajam antara golongan kebangsaan dan golongan Islam dalam perumusan landasan falsafah negara. Seperti terekam dalam pidato Soepomo dalam BPUPKI terdapat dua golongan, yang disebut “golongan ahli agama” atau “golongan Islam” yang menghendaki negara berdasarkan Islam dan “golongan kebangsaan” yang menghendaki “negara persatuan nasional yang memisahkan urusan keagamaan dan urusan kenegaraan”.

Soekarno yang menjadi pembicara terakhir dalam “dengar pendapat” mengenai rumusan landasan falsafah negara, tampaknya mencoba menjembatani perbedaan kedua golonga itu. Ia mengajukan lima landasan falsafah negara, yang dinamakan “Pancasila”, terdiri atas kebangsaan, internasionalisme atau demokrasi, kerakyatan, keadilan sosial, dan ketuhanan.

Jika dianalisis secara seksama, maka kedudukan hukum Islam yang diperjuangkan oleh para tokoh. Termasuk Ki Bagus Hadikusumo, dalam rancangan konstitusi Indonesia merdeka diatas, bersifat eksplisit dan mempunyai posisi yang kuat sebagai cita hukum (recht sidee). Rumusan cita hukum itu terdapat dalam naskah pembukaan UUD yang kedudukannya — jika dilihat dari sudut pandang teori Hans Kelsen dan Mawicsky – lebih tinggi dari pasal UUD, rumusan itu adalah statsfundamentalnorm atau “pokok kaidah fundamental negeri” seperti diterjemahkan oleh Notonegoro.

Begitulah kembara perjuangan para pejuang Islam di bumi Indonesia tercinta. Perdebatan, hinaan, hingga disikut lawan; sudah menjadi makanan sehari-hari. Tapi itulah perjuangan yang akhirnya menyuarakan suara Islam sebagai penduduk mayoritas. Yang membentuk masyarakat Indonesia menjadi insan berakhlak dan berpengetahuan. Tanpa cita dan asa kuat seperti itu, dakwah insan di bumi Indonesia akan semakin bias dan utopis.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Hubungan Internasional, FISIP UIN Jakarta.

Lihat Juga

Keikhlasan Dalan Kerja Dakwah

Figure
Organization