Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Saat Menjadi Seperti Nabi Nuh dan Asiyah

Saat Menjadi Seperti Nabi Nuh dan Asiyah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (fosta.me)
Ilustrasi (fosta.me)

dakwatuna.com – Tak seorangpun anak manusia menginginkan hidup sengsara. Semua orang menghendaki untuk bahagia dunia akhirat. Pun dengan makhluk bernama pria dan wanita saat keduanya sepakat untuk menikah dan membangun maghligai rumah tangga. Sepasang pengantin baru saling berharap, pasangannya bisa menjadi teman hidup yang ideal, bisa ikhlas menerima keterbatasan dan kelemahan masing-masing, serta dapat saling membahagiakan. Kedua mempelai saling menaruh harapan, pasangannya adalah orang shalih, yang istiqamah menetapi kebenaran, selalu bersama dalam menaati-Nya, dan senantiasa ada untuk berbagi.

Sang pengantin pasti menginginkan pernikahan yang penuh keberkahan, sakinah mawaddah warahmah, tak terpisahkan sampai kakek nenek. Sang istri menaruh harapan besar, bahwa suami pilihan akan menjadi imam, qowwam yang baik sesuai yang Allah tuntunkan. Demikian juga sang suami, sangat mendamba istrinya adalah wanita shalihah yang selalu menaati suami, menyenangkan kala dipandang dan meneduhkan kala bersua.

Tak ada seorangpun wanita yang mau memiliki suami yang ternyata laksana raja lalim. Tak ada yang menginginkan menjadi seperti Asiyah yang bersuamikan Firaun lelaki angkuh, pembangkang terhadap Tuhannya. Begitu juga lelaki, tak ada satupun yang menghendaki jika ternyata sang istri seperti istri nabi Nuh. Istri yang tak menaati suaminya, dan berani melanggar aturan Allah.

Namun inilah hidup, selalu saja ada perkecualian. Karena hidup terus berputar, ada pendosa yang kemudian bertobat. Ada pula orang shalih yang berubah haluan dan memilih berteman dengan makhluk terkutuk bernama setan. Ada ujian hidup bagi setiap manusia, baik ujian nikmat maupun musibah, untuk menyeleksi mana manusia sungguh-sungguh beriman dan mana yang hanya di dalam ucapan.

Memang ada wanita-wanita yang ditakdirkan Allah untuk menjalani episode hidup layaknya Asiyah. Kasus-kasus pemurtadan bisa menjadi contoh paling mudah dalam fakta di masyarakat. Banyak wanita yang setelah beberapa waktu menikah, ternyata sang suami berubah 180 derajat. Menyuruh istri murtad dan membangkang Allah dengan ancaman dari suami yang  amat merugikan dan mendzalimi istri. Sekalipun sang istri adalah wanita shalihah dan awalnya si suami pun tampak seperti pria baik yang sungguh-sungguh berislam.

Demikian juga, ada lelaki pilihan yang Allah takdirkan untuk memiliki istri yang ternyata jauh dari kriteria istri shalihah. Sekalipun awalnya sang istri didapati dalam majelis taklim, sempurna berhijab bahkan aktivis dakwah pula. Ada lelaki yang harus menjalani episode hidup seperti nabi Nuh. Ia bukan lelaki sembarangan, tapi lelaki shalih pilihan Allah untuk menikmati ujian musibah mempunyai istri yang tak menaatinya. Hanya lelaki kuat dan tangguh yang Allah pilih. Sebab cinta-Nya yang teramat besar pada hamba-Nya, tak mungkin membebani sang hamba dengan ujian yang melebihi batas kemampuannya. Allah memilih seorang pria untuk menjalani hidup seperti nabi Nuh karena ingin mengangkat derajatnya di hadapan-Nya.

Bukan karena ia lelaki tak baik-baik sehingga memiliki istri tak baik dan berani melakukan pelanggaran syara berulang. Bukan karena ia lelaki tak shalih sehingga Allah memberinya seorang istri yang bahkan memilih berada pada titik tak peduli dengan dosa, persis seperti istri nabi Nuh kala mendapat untaian nasihat dari sang suami. Bukan. Tapi semata takdir Allah lah yang menetapkan demikian.

Kasus yang dialami salah seorang sahabat saya bisa diambil ibrahnya. Agar kita tidak mudah memvonis kala di sekitar kita mungkin ada lelaki baik yang memiliki istri jahat atau sebaliknya, istri shalihah tapi mempunyai suami durhaka pada Allah.

Tak ada yang salah saat sahabat saya itu memilih seorang wanita menjadi istrinya. Hati lelaki shalih itu putih, tak mungkin ada suudzon di hatinya. Apalagi wanita pilihannya adalah aktivis dakwah, yang rutin mengaji minimal setiap pekan sekali. Auratnya pun tertutup sempurna. Siapa pun tak akan menyangka jika ternyata si wanita memiliki hati dan perilaku seperti istri Abu Lahab.

Setelah menikah beberapa waktu, baru ketahuan siapa sesungguhnya sang istri. Ternyata sang istri memiliki mulut yang benar-benar tidak terjaga. Suka mencaci maki orang lain, menjuluki orang lain dengan kata-kata buruk, bahkan tetap tak bisa menahan diri untuk tidak menuduh dan melaknat orang lain dengan kalimat yang amat tidak pantas diucapkan oleh wanita muslimah.

Ternyata wanita dengan tutur kata lembut tidak menjamin baik juga kalimat yang terucap lisannya, bisa jadi sangat kasar dan mendzalimi. Sebagai pengemban dakwah, sang istri pasti tahu bahwa Allah berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) bisa jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) bisa jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujuraat: 11)

Rasulullah SAW juga bersabda: Mencaci maki pada seorang Muslim berarti fasik (melanggar agama) dan memerangi orang Muslim berarti kafir” (HR. Bukhori danMuslim).

Dalam hadits yang lain, riwayat Bukhori dan Abu Dzar ra. Rasulullah SAW bersabda: “Tiada seorang yang memaki orang lain dengan kata fasik atau kafir, melainkan kalimat itu kembali pada dirinya sendiri, jika tidak benar demikian keadaan orang yang dimaki.”

Atau kasus lain yang menimpa seorang wanita shalihah. Tak pernah menyangka ia bahwa suaminya tak jujur saat taaruf. Ternyata rumah dan harta yang dimiliki sang suami jauh hari sebelum menikah adalah dari hasil akad riba. Hutang menumpuk di bank. Tak dikira sama sekali karena sang suami pun aktif mengaji dan beramar ma’ruf nahi munkar. Ketika diingatkan dengan baik-baik bukannya berubah, tapi justru semakin hobi menambah kekayaan dengan akad yang sama. Mobil pun dibeli dengan hutang riba. Suami bukan tak tahu bahwa Allah telah berfirman, ”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275).

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276).

Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.”

Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).

Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).

Kedua kasus di atas hanyalah sebuah contoh. Fenomena yang terjadi di masyarakat lebih memprihatinkan lagi. Banyak wanita dan pria yang merasa telah salah memilih, ada yang karena ternyata pasangan berperangai kasar dan hobi selingkuh. Ada pula yang ternyata sang suami atau istri amat keras hati saat nasihat takwa diberikan, bahkan sangat keras kepala dan menantang saat diingatkan kebenaran. Bukannya berubah menjadi lebih baik, tapi justru semakin buruk.

Sebagai manusia beriman, tentu tak ada satupun yang ingin mengalami seperti kasus di atas. Oleh karena itu, sangat bijak bila memilih pasangan hidup dengan hati-hati. Apalagi kelak ia yang akan menjadi ibu atau bapak anak-anak kita. Baik laki-laki maupun wanita sama saja, yaitu menjadikan panduan untuk memilih pasangan karena agamanya sebagai pertimbangan utama.

Rasulullah bersabda, ”dinikahi wanita karena empat perkara, hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah karena ketaatannya dalam beragama, niscaya akan beruntung,”(Muttafaq’alaih).

Namun demikian, agama seseorang tidak bisa dilihat dari tampilan luar saja. Hanya atribut fisik bisa saja menipu. Carilah informasi dari orang-orang yang netral seperti tetangga atau teman kerja. Bukan dari kawan ngajinya saja karena biasanya hanya yang baik-baik saja yang terlihat. Tapi kumpulkanlah yang dzahir sebanyak mungkin, agar tidak seperti membeli kucing dalam karung yang sangat indah. Yang akan menjadi pasangan kita adalah orangnya, bukan majelis taklim atau ormas yang diikutinya. Ormas tempatnya biasa berkiprah bisa jadi bagus, tapi belum tentu dengan para pengembannya. Dua contoh kasus di atas telah membuktikan itu.

Berikut beberapa tips yang bisa dijadikan sedikit patokan saat memilih pasangan agar benar-benar terjamin agamanya bagus, untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan di kemudian hari :

  1. Carilah informasi bagaimana seseorang bersikap dan berbakti kepada kedua orang tuanya, terutama ibunya. Seorang lelaki yang biasa berbuat baik kepada kedua orangtuanya, maka ia pun cenderung memperlakukan istri dengan baik, mengasihi seperti ia mengasihi ibunya. Seorang wanita yang berbakti pada ibu bapaknya, ia akan juga mudah untuk menaati suaminya. Begitu juga sebaliknya. Logikanya adalah bagaimana ia akan menaati suaminya, sedangkan pada ibu yang melahirkannya saja tidak memuliakan bahkan menyakitinya. “Dan hendaklah kamu beribadat kepada Allah dan janganlah kamu sekutukan Dia dengan sesuatu apa jua dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapak.“ (QS. An Nisa’ : 36).

“Dan Kami wajibkan manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapanya; ibunya telah mengandungnya dengan menanggung kelemahan demi kelemahan (dari awal mengandung hingga akhir menyusunya) dan tempoh menceraikan susunya ialah dalam masa dua tahun; (dengan yang demikian) bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibubapamu; dan (ingatlah), kepada Akulah jua tempat kembali (untuk menerima balasan).” (QS. Luqman : 14)

  1. Bila calon pasangan telah memiliki harta benda, carilah informasi dengan cara elegan darimana dan bagaimana cara memperolehnya. Apakah dengan cara halal atau haram. Jangan sampai terjadi seperti contoh kasus di atas. Sebab seseorang ketika telah berani melakukan perbuatan dosa, bahkan sekecil apapun ia berani menyelisihi  Allah dan Rasulullah, maka di masa datang ia berpotensi melakukan pelanggaran syara yang lain jika tidak segera bertaubat.

Apalagi bagi seorang wanita, jangan sampai ia salah pilih suami yang menafkahi dari harta yang diperoleh dengan cara bathil, misalnya memberi makan, pakaian, dan  menaungi anak istri di rumah yang diperoleh dengan cara riba, korupsi, suap, mencuri atau cara haram lainnya. Menikah dengan lelaki miskin jauh lebih baik daripada menikah dengan pria kaya tapi berani melawan perintah Allah.

Nabi SAW bersabda, ”Tidak bergeser kaki seorang hamba sehingga ia akan ditanya tentang empat perkara (yaitu):(1) Tentang umurnya untuk apa ia habiskan? (2) Tentang ilmunya untuk apa ia amalkan? (3)Tentang hartanya darimana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan? dan  (4) Tentang badannya untuk apa ia gunakan? (HR.At-Tirmidzî).

  1. Lihatlah bagaimana pergaulannya dengan teman-temannya dan lawan jenisnya. Apakah ia termasuk orang yang menjaga kesucian diri atau justru sebaliknya sekalipun di dunia maya. Apakah ia termasuk yang biasa hidup campur baur dengan lawan jenis tanpa menggunakan batasan agama atau tidak. Orang yang biasa gaul bebas, di masa datang akan mudah berselingkuh apalagi ada setan Harut Marut yang selalu berusaha memisahkan suami istri melalui pelanggaran hukum Allah, oleh satu orang atau keduanya.
  1. Lihatlah bagaimana hubungannya dengan saudara-saudaranya dan kawan-kawannya. Apakah rukun atau sering bermasalah. Apakah di mata mereka dinilai sebagai orang yang mudah berbagi, dermawan, suka menolong atau sebaliknya, pelit, egois dan lebih mementingkan diri sendiri. Apalagi menikah tidak hanya menyatukan dua manusia, tapi juga dua keluarga dengan karakter yang bisa jadi sangat berbeda.
  1. Pertimbangkan juga sifat utama yang dimiliki. Apakah bijaksana, dewasa, penyabar, lembut hati, keras hati, angkuh atau kekanak-kanakan dan suka memperturutkan hawa nafsu serta kesenangan sendiri. Orang yang bijaksana dan dewasa lebih tenang saat menghadapi permasalahan. Memikirkan secara matang sebelum berbuat sesuatu, tentang segala resiko dan konsekuensinya. Sehingga tidak mudah menyalahkan orang lain atas pilihan perbuatan sendiri. Ini penting karena dalam rumah tangga, tidak akan luput dari berbagai permasalahan. Mengingat suami istri adalah dua orang yang mungkin banyak berbeda. Perbedaan yang seharusnya tak jadi masalah kala menyandarkan segala hal pada aturan Islam. Mengingat juga manusia adalah makhluk sosial, yang pasti akan bertetangga dan berhubungan dengan orang lain.
  1. Cari tahu bagaimana ketangguhannya dalam menghadapi ujian hidup. Agar iman tidak sekedar dalam ucapan. Misalnya bagaimana sikapnya ketika diuji Allah kehilangan barang berharga, diuji Allah dengan kepergian / kematian orang-orang yang dicintai (orang tua, saudara). Ini adalah bekal penting, sebab hidup pasti penuh ujian baik nikmat atau musibah.
  1. Namun bila kita yakin seyakin-yakinnya, percaya, tanpa sedikitpun keraguan bahwa keshalihannya, ketaatannya pada Allah adalah telah pasti, tak mungkin sang calon di masa yang akan datang memilih perbuatan melakukan pelanggaran syara dengan sengaja, maka hanya tinggal mengadu dan memohon pertolongan Allah. Dia lah sang Pemilik Hati, yang membolak-balikkan hati manusia. Dia lah yang Maha Menakdirkan. Maha Pemberi yang terbaik. Tawakaltu ‘alallah.

Namun bila ternyata, setelah upaya maksimal ditempuh namun tetap saja kecolongan, sebagai orang beriman harus ikhlas dengan takdir-Nya. Menjalani episode seperti nabi Nuh dan Asiyah bukanlah kesalahan. Justru sebagai tanda Allah sayang pada hamba-Nya. Akan ditambah kemuliaannya di hadapan Allah kala sabar menjalani. Tenanglah dan tetap berusaha memperbaiki, serta menasihati pasangan untuk menetapi jalan-Nya. Belajar untuk menerima pasangan, sekelam apapun masa lalunya. Yang penting, pasangan mau berubah menjadi lebih baik. Yang tadinya bergelimang dosa dan pelanggaran syara mau memperbaiki diri dan bertaubat serta tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Sebab Allah sangat senang dengan hamba-Nya yang bertaubat. Tempat seseorang kelak ditentukan oleh akhir hidupnya. Seseorang yang kurang sejengkal saja tempatnya di syurga, tapi ia melakukan perbuatan ahli neraka di akhir hidupnya, maka tempatnya di neraka. Sebaliknya, kurang sejengkal saja ia nyaris di neraka, tapi karena di akhir hidupnya melakukan perbuatan ahli surga, maka surgalah tempatnya.

Tetapi bila setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tak berhasil, pasangan tak kunjung juga mau berubah, tetap saja dengan perilaku yang menentang Allah dan rasul-Nya, sesungguhnya Allah Maha Tahu batas kemampuan seseorang untuk terus bertahan hidup bersama dengan pasangan yang tak takut pada Allah dan tak mau menaati-Nya. Telah dipersiapkan sebuah aturan sempurna untuk menjadi solusi kala suami istri tak lagi bisa beriringan. Kala pelanggaran syara oleh pasangan tetap saja dilakukan dan semakin menjadi. Ada jalan indah yang telah Allah bentangkan bernama cerai dan talaq. Rasulullah pun pernah mengambil jalan ini pada istri-istrinya.

Semoga setiap hamba mau memilih jalan takwa. Bertobat atas segala dosa dan pelanggaran syara di masa lalu. Tak akan pernah sekalipun mengulanginya lagi dan benar-benar dibuktikan dalam tindakan nyata. Mengisi sisa hidup untuk senantiasa menaati-Nya karena manusia tak pernah tahu kapan Izrail menjemput. Wallahu’alam.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Ibu rumah tangga. Lahir 18 September. Tinggal di Yogyakarta. Penggiat The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Divisi Kajian Parenting.

Lihat Juga

Kabinet Hasil Kudeta dan Dakwah Nabi Nuh as.

Figure
Organization